Monday, December 08, 2008

Apresiasi: Gumam Lirih Perlawanan Puisi

* Catatan Antologi Puisi Ahda Imran: 'Penunggang Kuda Negeri Malam'

-- Alex R. Nainggolan

JIKA seorang penyair menulis sajak-sajak sosial, barangkali sudah biasa. Realitas telanjang tentang carut-marut kehidupan, kebobrokan, kesewenangan, penindasan, kekalahan masyarakat lemah, sudah banyak kita dapati dalam berbagai kumpulan sajak.

Di deretan penyair yang menulis sajak-sajak sosial itu, kita mencatat beberapa nama: W.S. Rendra, Taufiq Ismail, Wiji Thukul, Agus R. Sarjono, dsb. Sebagian besar sajak yang ditulis para penyair tersebut dengan ligat menelantarkan kita pada potret kondisi masyarakat; potret yang memang dihadapkan pada kita secara face to face. Ibarat kita becermin, sebagian besar sajak itu memang terasa, bila kejadian-kejadian tersebut memang (sedang) berlangsung. Atau barangkali kita sendiri yang sedang mengalami.

Tapi, Ahda Imran lain. Membaca antologi puisi terbarunya Penunggang Kuda Negeri Malam (Akar Indonesia, Mei 2008), saya seperti diajak bertamasya pada sebuah fantasi "aneh". Rangkaian kata yang ditulisnya lebih "liar", dengan imajinasi tak terbendung. Mulanya, saya tak ingin terlibat lebih jauh untuk membaca, tetapi suasana yang dibangun dalam sajaknya begitu menggoda. Seperti menyeru saya tetap setia menekuni baris-baris sajak selanjutnya.

Tiba-tiba, saya teringat ucapan seorang penyair jika puisi memang ibarat sebuah setrum yang menyentak tubuh. Dengan sekejap buluh kata-kata itu menelusup ke rongga dada. Dan saya tergetar.

Apakah ini sekadar perasaan sentimental saya saja? Saya tak tahu. Mungkin, tak berlebihan jika Haidar Bagir menulis dalam kata pengantar Catatan Pinggir 6 Goenawan Mohammad--dengan mengutip sabda Heidegger-- "jika...wacana berpikir yang asli adalah puisi...melalui puisi, kita menjadi sadar bagaimana bahasa, dalam berbicara, mengimbau segenap unsur (dunia)..."

Bahasa dalam citraan puisi terasa lebih meyakinkan. Kata-kata dengan sendirinya dapat bergerak, menjangkau seluruh pengalaman penyair melalui imajinasi yang dipungutnya. Untuk itu, Ahda, saya kira memang piawai mengolahnya.

Sajak-sajak yang ditulis Ahda seperti suasana keseharian. Meskipun jalinan kalimat yang dibentuknya terlebih dahulu dibubuhi, dipermak, di-make up oleh imajinasi penuh cekam. Justru dari tali-temali itu, sajak-sajaknya lebih banyak "berbicara". Menyentuh setiap sisi purba kehidupan, yang ternyata tidak melulu baik tetapi dipenuhi muslihat. Ia membangun suasana yang baru dari realitas, berbeda dengan sajak-sajak para penyair lain yang memunyai tema kritik sosial.

Obsesi Kata

Membaca kumpulan puisi Ahda, saya seperti tergeliat, betapa puisi memang dapat menjangkau segala hal yang serba-tak niscaya, remeh-temeh, terpinggirkan, tak mungkin, juga gelap. Kata-kata dalam puisi Ahda seperti gumam lirih, yang tak pernah selesai sebenarnya. Ia membangkitkan semua energi. Rangkaian imajinasi yang terangkum, barangkali hampir sama dengan sajak-sajak yang ditulis Indra Tjahjadi; dipenuhi kecemasan sekaligus berurusan dengan ketakutan.

Bagaimana bisa membayangkan peristiwa semacam ini: Ada selalu malam ketika anakku/bertanya tentang para leluhur, dan kota/yang melayang-layang itu. Selalu tak pernah/ada yang sanggup kukisahkan, selain membakar/seluruh pohon yang tumbuh di punggungnya,/lalu membuat upacara persembahan. Menanak/air sungai bercampur sisik ular,/dan diam-diam//menuangkannya ke mulut cucuku/ (Sajak Silsilah) atau Setiap hari engkau bergerak,/menyelinap ke balik bajuku, menghisap/tulang sumsum dan kelaminku, menjadi kata-kata,/yang membuatku lebih riang dari hanya sekadar/menjadi seorang lelaki. Bahkan ketika akhirnya//engkau meninggalkanku (Sajak Setiap Hari).

***

Yang saya catat ketika membaca kumpulan puisi Ahda ialah keterpukauan dia pada suatu hal, terutama benda. Begitu kata terasa menjadi sebuah obsesi bagi dirinya; semacam rambut, angin, anjing bermata satu, handphone (telepon genggam), sisik, ular, sungai, parlemen, nama-nama, orang-orang. Pun sebagian besar sajaknya hanya ditutup dengan sebaris kalimat. Hanya beberapa sajak yang tidak.

Obsesi kata ini akhirnya menyisakan pengulangan dalam sajak-sajak selanjutnya. Yang memang jika direnungkan terkesan berhubungan. Atau memang ini merupakan ciri khas sajak-sajak Ahda?

Yang jelas, Ahda dalam sebagian besar sajaknya lebih terasa sebagai puisi gumam. Namun, ia berusaha melawan kenyataan-kenyataan yang pahit. Semua imajinasi dalam puisinya bersinggungan dengan pernyataan-pernyataan perlawanan, yang sebenarnya tak juga pernah selesai. Simak saja dalam Grande Peur: Bernapas di tengah pasar ketika harga-harga/berteriak seperti penguasa yang kejam. Koran/di tanganku terjatuh, menyimpan dirinya dalam tangisan/kata-kata tumbuh bersama peluru, juga para penculik,/penimbun minyak goreng dan slang-slang infus demam/berdarah//...yang ditutup dengan:Inilah negeri dengan keajaiban yang tak selesai,/menyimpan dirinya menjadi kenangan yang menyeramkan,/seperti gelap yang mengepung Blitar dan Kemusuk//

Rangkaian sejarah kelam yang pernah terlintas di negeri ini terasa masuk ke dalamnya. Dan itu tak luput dicatat Ahda. Ia menggenapi semua keputusasaan yang singgah di tengah masyarakat. Gumam puisinya seperti menebarkan ketakutan yang dingin. Kesendirian bergabung di setiap jalinan kalimat puisinya. Kesunyian sebagai penyaksi yang merekam segenap ketakutan tersebut. Rasa takut yang seperti menyemut dan ia seperti ditikam kesunyian yang melangut.

Namun, Ahda seperti ingin merampasnya dalam puisi. Simak saja Kutulis Lagi Sebuah Puisi: Kutulis lagi sebuah puisi/mungkin untukmu, mungkin juga bukan/dalam tubuhmu kata-kata adalah waktu, irama/yang cemas dan bimbang, janji yang tak beranjak/pergi. Tidak bersama siapapun, aku telah berada/di lubuk malam. Ingatanku padamu menjadi air/yang menetes dari jemari tangan. Banyak hari/yang tak bisa lagi kuingat sebagai apa pun/.

Hal tersebut terulang lagi pada Sajak Seharian:Pagi. Seseorang yang entah/siapa menangis di handphone, dan membuat/tulang punggungku retak. Seseorang lain/datang mengirim pesan, mengikat kedua/tangan dan kakiku, menghanyutkan/tubuhku ke sungai//

Si penyair seperti membangun dunianya sendiri. Dengan berpura-pura tak peduli pada serbuan kesendirian ketika menatap atau berhadapan dengan peristiwa. Ia menjelma jadi penyaksi yang hidup dalam sajak-sajaknya. Mengurai kesepian itu agar tidak lagi mengoyak-oyak dirinya. Satu hal yang mengingatkan saya juga pada Chairil Anwar. Ia berusaha menghardik pada kesepian tersebut: Mampus kau!

Dan aroma kesunyian itu menerawang kembali dalam Aku Menulis:Ketika malam menarik senja/dengan kasar/ketika hujan tak sampai/ke sungai/ketika ikan-ikan yang menggelepar/ditinggalkan// Aku menulis dengan tangan/yang sakit./Orang-orang terus bicara,/seperti ada tikus dalam mulutnya/setiap malam, mereka mencuri/sebatang pohon dari tubuh anakku/setiap pagi, mereka membuat/komplotan-komplotan baru// Aku menulis dengan tangan/yang sakit. Langit kering dan kaki-kaki/jembatan mengelupak. Kota penuh bendera,/suara telepon genggam, dan anak-anak muda/yang menginjak-injak potret presiden//

Hanya satu yang agak mengganggu dalam kumpulan puisi ini, sajak Di Pintu Angin tercetak dua kali, pada halaman 17 dan 34. Dan keduanya sajak itu sama isi maupun tipografinya.

Terlepas dari itu, saya kira Ahda telah menyuguhkan suatu gaya puisi yang baru dalam khazanah kita. Perasan kata-kata dalam puisinya--dengan ingar-bingar imajinasi puitiknya--seperti menghidupkan kesadaran diri kita dari lubuk yang terdalam. Jauh ke palung dada. Terasa benar, begitu "sakit" ketika penyair ini menulis puisi, bahkan untuk satu buah puisi sekalipun.

* Alex R. Nainggolan, penyair, tinggal di Jakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Desember 2008

No comments: