-- Ajip Rosidi*
PADA 2 September 2008 dibuka pameran lukisan Salim di Galeri Nasional, Jakarta, sebagai penghormatan kepada pelukis kita yang seumur hidupnya di Eropa, terutama Paris yang bertepatan dengan usianya genap 100 tahun pada 3 September. Dia dilahirkan di suatu daerah di Sumatra Timur, dekat Medan, pada 3 September 1908. Tidak sampai sebulan setengah kemudian, 13 Oktober 2008, Salim meninggal dunia di Paris.
Meskipun jarang orang Indonesia yang usianya mencapai seratus tahun, kematian Salim tidak banyak mendapat tempat dalam pers Indonesia. Sebagai pelukis, dia kurang dikenal di Indonesia, mungkin karena dia hampir seumur hidup tinggal di Eropa. Sejak 1951 dia mengadakan pameran karyanya di tanah air hanya tujuh kali, 1951 di Sticusa Jakarta, 1956 di Balai Budaya Jakarta dan ITB Bandung, 1974 di TIM Jakarta, 1990 di TIM Jakarta dan ITB Bandung, 2001 di Bali, 2003 di Galeri Cemara Jakarta, bertepatan dengan terbitnya buku Salim Pelukis Indonesia di Paris yang saya tulis, dan tahun 2008 di Galeri Nasional Jakarta. Salim sendiri hanya hadir dalam dua pameran, yaitu pameran tahun 1956 dan 1990. Saya pribadi pernah menyelenggarakan pameran lukisan Salim di Jepang, yaitu di Galeri Blanch di Ikeda shi, Osaka, pada 2002 sebagai pameran lukisan karya pelukis Indonesia terakhir yang saya selenggarakan secara pribadi.
Salim saya kenal pertama kali melalui kulit buku Gema Tanah Air susunan H.B. Jassin (1948). Kemudian vinyet atau reproduksi lukisannya (semuanya hitam putih) sering saya lihat dalam majalah Zenith, Siasat, Indonesia, dll. Begitu pula tulisan tentang dia yang ditulis oleh Trisno Sumardjo, Hazil Tanzil, dan Sitor Situmorang dalam majalah-majalah tersebut.
Kesempatan menyaksikan lukisan aslinya terlaksana pada 1956, ketika Salim setelah berkunjung di Indonesia selama beberapa minggu memamerkan karya-karya yang dibuatnya selama di tanah air. Pameran ini diselenggarakan oleh BMKN di Balai Budaya, Jakarta. Dalam kesempatan itu, saya tidak hanya dapat menyaksikan lukisannya, melainkan juga bertemu dengan pelukis yang waktu itu usianya hampir setengah abad, sedangkan saya baru 18 tahun. Saya menulis tinjauan tentang pameran Salim itu dalam bahasa Sunda, dimuat dalam ruangan "Dangiang" yang saya asuh dalam surat kabar Siliwangi yang terbit di Jakarta.
Perkenalan itu memanjang, karena sejak 1972, setiap kali pergi ke Eropa saya selalu menemuinya di Paris. Mula-mula di kantornya di KBRI, karena untuk beberapa lama dia bekerja sebagai staf lokal KBRI. Namun, karena bekerja di kantor itu dirasakan mengurangi kesempatan baginya untuk melukis, kemudian dia berhenti bekerja dan memusatkan perhatian dan tenaganya untuk melukis. Sebelum bekerja di KBRI juga, dia hidup hanya sebagai pelukis. Dan pergulatan untuk bertahan sebagai pelukis di kota yang dianggap sebagai "Mekah"-nya kebudayaan Barat dan menjadi gudang pelukis itu, bukanlah perjuangan yang ringan. Salim sudah mengalaminya sejak masa awal kepelukisannya, ketika dia pada musim dingin harus mengharapkan mendapat semangkuk sup panas dari tetangga yang baik hati.
Apalagi karena Salim berkeyakinan bahwa galeri itu tak ada sangkut pautnya dengan kesenian, maka dia menolak untuk menjual lukisan di galeri-galeri. Memang kalau mengadakan pameran, dia memerlukan bahkan menerima peranan galeri. Dan pada kesempatan pameran demikian dia menjual lukisan yang dipamerkan di galeri itu, tetapi dia tidak pernah memajangkan karyanya di galeri untuk dijual.
Sikap seperti itu terasa janggal apalagi bagi pelukis yang hidup di kota besar seperti Paris. Galeri dianggap sudah menjadi bagian yang sah dari kehidupan seni rupa. Di Indonesia, pelukis yang juga bersikap demikian terhadap galeri adalah Nashar. Persamaan yang lain antara Nashar dan Salim adalah keduanya sama-sama keras kepala. Mereka tidak hanya tidak peduli atas pendapat orang lain terhadap diri dan karyanya, melainkan juga tidak peduli bahwa akibat sikapnya yang keras kepala itu maka hidupnya sendiri secara relatif menderita.
Namun, dengan demikian, keduanya melukis dengan menurutkan kata hati sendiri, dan ternyata berhasil mencapai mutu tinggi dengan gayanya yang khas. Salim ketika muda pernah belajar melukis pada pelukis kubistis terkemuka Fernand Leger (1881-1955). Akan tetapi, kalau kita perhatikan lukisan-lukisannya yang sekarang, meskipun masih ada bekas-bekas pengaruh kubisme dalam membentuk citra, berlainan sekali dengan kubisme gurunya itu. Entah karya-karyanya yang awal pada 1930-an, namun dari karya-karyanya yang pernah saya lihat (yaitu karya 1940-an sampai dengan 2000-an) saya tak melihat persamaan dengan karya Leger. Yang menonjol ialah bahwa Salim melukis dengan gaya yang ditemukannya pada suatu saat yang kadang-kadang dipertahankannya untuk beberapa lama, tetapi tidak ada gaya yang secara konstan dipertahankan. Baginya, melukis adalah tantangan yang harus dihadapi pelukis ketika berhadapan dengan kanvas kosong.
Pernah ada masanya lukisan-lukisannya merupakan komposisi warna-warna cerah yang membentuk sesuatu citra, seperti yang tampak dalam karya-karya plakat yang dipamerkannya di Balai Budaya tahun 1956. Antara lain yang kelihatan dalam "Nyanyian Alam" (1957, koleksi PDS H.B. Jassin) dan "Pemandangan yang Terkenang" (1957, koleksi Toeti Heraty/Galeri Cemara). Namun, pernah pula lukisan-lukisannya merupakan komposisi garis-garis meninggi dengan sayatan ke samping yang memberikan bentuk seperti pada "Telaga" (sekitar 1970, koleksi pribadi) dan "Catalugna" (1977, koleksi Toeti Heraty/Galeri Cemara). Pernah juga tampak lebih realistis terutama ketika melukis gadis-gadis Sete.
Namun kemudian, banyak lukisannya yang merupakan bidang-bidang warna yang lebar dengan motif yang sering muncul berulang dalam berbagai lukisan seperti burung, ikan, bunga, perempuan, perahu, dan lain-lain yang kadang-kadang memberikan kesan surealistis, karena ada ikan (berenang) di tengah jalan atau wajah gadis di tengah lautan, dan semacamnya. Akan tetapi, seingat saya tak ada lukisannya yang benar-benar abstrak. Selalu ada bentuk yang menghubungkannya dengan judulnya yang sering puitis. Banyak lukisannya yang diilhami sajak-sajak penyair dunia seperti Federico Garcia Lorca (1899-1936), Fernando Pessoa (1888-1935), François de Malherbe (1556-1628), dan Eustache Deschamps (1346-1406).
Salim juga banyak membuat lukisan yang berdasarkan Cerita Seribu Satu Malam. Dia memang pencinta sastra, terutama puisi. Pada masa Perang Dunia II, dia banyak membuat hiasan untuk berbagai buku karya sastrawan terkemuka Prancis dan dunia seperti Guy de Maupassant, Henri de Montherlant, Arthur Rimbaud, Guillaume Apollinaire, Paul Verlaine, Andre Gide, John Steinbeck, dan Baba Tahir, yang hasil penjualan bukunya digunakan untuk membiayai perlawanan terhadap pendudukan Nazi Jerman. Untuk membaca puisi dalam bahasa aslinya, Salim mempelajari bahasa yang bersangkutan. Maka selain dari bahasa Prancis, Belanda, Inggris, Jerman, Spanyol, dia juga menguasai bahasa Katalan, dan lain-lain. Pada tahun-tahun akhir hayatnya dia sedang belajar bahasa Arab. Pada lukisan-lukisan yang dibuat setelah tahun 2000 ia sering menandainya dengan huruf Arab, Sin, Lam, Mim. Hanya ketika menulis titimangsa dia mengira dalam bahasa Arab angka tahun disusun dari kanan ke kiri juga!
**
KETIKA saya menyusun buku mengenai dia (kemudian terbit dengan judul Salim Pelukis Indonesia di Paris (Pustaka Jaya, Jakarta, 2002 dalam edisi bahasa Indonesia dan bahasa Prancis), ada beberapa hal yang tak mau diketahui oleh umum. Yang pertama nama orang yang mengangkatnya sebagai anak dan menyekolahkannya di Batavia dan kemudian membawanya ke negeri Belanda (sekitar 1919) dan menyekolahkannya di Amsterdam sampai Gymnasium (SMA), yaitu suami Jerman dengan istri Belanda.
Tampaknya terjadi pertengkaran antara Salim dan orang tua angkatnya ketika dia tidak lulus ujian keluar Gymnasium. Dia agaknya tidak mau mengulang ujian lagi tahun berikutnya. Dia pergi ke Paris untuk belajar melukis. Ketika orang tua angkatnya meninggal, warisannya jatuh kepada Salim (karena mereka tidak punya anak), tetapi oleh Salim seluruhnya diserahkan kepada rumah yatim piatu, padahal ketika itu hidupnya sebagai pelukis masih senen-kemis.
Yang kedua, pernikahannya yang pertama. Dia pernah menceritakan hal itu ketika diinterviu Henri Chambert-Loir untuk buku Rantau dan Renungan I, tetapi setelah interviu itu ditulis oleh Henri, dan diperlihatkan kepada Salim, dia minta kepada Henri agar bagian itu dibuang. Juga rekaman interviu itu harus dihapus.
Kepada saya juga dia pada mulanya selalu menyembunyikan Helene, wanita yang mendampinginya sampai meninggal. Setiap kali saya datang berkunjung, Salim hanya sendirian. Sampai pada suatu waktu ketika saya berkunjung lagi ke apartemennya bersama istri saya dan Jim Adhilimas, sebelum pulang saya mengajak Salim untuk makan di restoran yang letaknya tak jauh dari situ. Karena restoran itu baru buka pukul 19.00, kami terus mengobrol bersama Salim.
Kira-kira pukul 18.00 lewat, seorang wanita masuk ke apartemen itu. Dialah Helene istri Salim. Rupanya selama ini kalau saya berkunjung, Helene selalu disuruh keluar supaya tidak bertemu dengan saya. Biasanya saya pulang pukul 17.00, paling tidak sebelum pukul 18.00. Maka kami ajak Helene makan bersama. Ketika saya sudah pulang (ketika itu masih tinggal di Jepang), saya menerima surat dari Salim yang menerangkan bahwa selama ini dia tidak mau mempertemukan Helene dengan saya karena pernah ketika sedang berjalan-jalan dengan Helene bertemu dengan tiga diplomat Indonesia yang memberikan komentar bahwa "istri Pak Salim kulitnya seperti kulit babi".
Mendengar itu Salim marah dan akan memukul diplomat itu yang untung lekas melarikan diri. Sejak itu dia "menyembunyikan" istrinya terhadap orang Indonesia. Dalam suratnya, dia menyatakan kegembiraannya bahwa akhirnya saya bertemu dengan Helene. Sejak itu kalau saya berkunjung ke apartemennya, Helene tidak lagi disuruh keluar.
Salim tidak mempunyai anak, baik dari istri pertama maupun dari Helene. Selain itu, dia tidak punya saudara. Ketika pada 1931 dia pulang sebentar (sampai 1935) ke Indonesia untuk membantu Sutan Sjahrir dan Moh. Hatta dalam kegiatan partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), waktu liburan dia pergi ke Sumatra Barat menemui keluarga Tanzil (orang tua Djohan Sjahrusjah dan Hazil Tanzil yang aktif dalam PNI Baru). Dia tidak berliburan ke Sumatra Timur tempat dia dilahirkan, hal itu menunjukkan bahwa dia sudah tidak punya lagi keluarga di sana.
Sebagai pelukis di Paris, Salim tidak termasuk pelukis besar. Dia sendiri membagi pelukis yang hidup di Paris yang jumlahnya puluhan ribu orang itu ke dalam kelompok pelukis besar (grands maitres seperti Picasso, Mattisse, Braque, dan beberapa orang lagi), pelukis penting (maitres, yang jumlahnya puluhan), pelukis dikenal (petit maitres) dan pelukis hampir dikenal yang jumlahnya beberapa ratus orang. Salim sendiri menempatkan dirinya dalam kelompok itu. Selain itu, ada puluhan ribu pelukis yang belum masuk hitungan.
Sementara di Indonesia, Salim jelas lebih tua daripada Affandi, Hendra Gunawan, S. Sudjojono, dan angkatan Persagi, tetapi karena dia selalu hidup di Paris, dan jarang sekali mengadakan pameran di tanah air, namanya kurang diketahui para kolektor. Meskipun sebagian karyanya ada yang dikoleksi orang di Indonesia, kebanyakan berada di Eropa. Bagi mereka yang hendak menyusun sejarah seni rupa Indonesia, untuk menulis tentang Salim lebih teliti, perlu menelusuri lukisan-lukisannya yang tersimpan di tangan kolektor di Belanda, Prancis, Belgia, dan negara-negara Eropa lain. Niscaya hal itu bukan pekerjaan yang mudah.***
* Ajip Rosidi, budayawan.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 13 Desember 2008
No comments:
Post a Comment