-- Tjahjono Widarmanto*
MEMPRESENTASIKAN citra Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar bisa melalui berbagai pintu, di antaranya melalui medan sosial budaya. Memperkenalkan dan mengangkat citra dan martabat Indonesia bisa dilakukan melalui upaya kerja sama di bidang`sosial budaya, termasuk di dalamnya seni sastra. Melalui sastra Indonesia, masyarakat dunia dapat mengenal lebih dekat dan lebih utuh citra Indonesia.
Indonesia adalah narasi besar. Narasi besar yang membutuhkan ikon-ikon tertentu. Salah satu ikon itu adalah ibu kota negara, yaitu Jakarta. Dan, Jakarta mampu mempresentasikan citra Indonesia itu. Jakarta memiliki arti yang penting karena merupakan miniatur Indonesia yang dapat digunakan sebagai pintu masuk bagi masyarakat internasional, masyarakat dunia, untuk lebih dekat mengenal ke-Indonesiaan dengan berbagai kekayaan etniknya.
Sastra dan sastrawan merupakan sebuah alat yang ampuh dan efektif untuk memperkenalkan dan mempublikasikan Jakarta (sekaligus Indonesia) ke masyarakat dunia. Hal inilah yang melandasi diadakannya sebuah festival bertajuk Jakarta International Literary Festival (JILFest) yang dilaksanakan 11-14 Desember 2008 di Hotel Batavia, Jakarta.
Selain itu, sebagai ibu kota negara, Jakarta sudah memiliki berbagai iven kesenian yang berskala internasional, di bidang musik, film, dan seni pertunjukan. Namun, sejauh ini belum memiliki festival sastra yang berskala internasional. Beberapa kota di negara lain, seperti Berlin, Kuala Lumpur, Sidney, dan Rotterdam, telah mempunyai festival sastra yang sangat bergengsi yang bisa berfungsi ganda. Yaitu mendorong kreativitas para sastrawan melalui pertukaran informasi sekaligus menjadi ajang pencitraan sebuah bangsa. Untuk mengisi ruang yang kosong itulah, JILFest digagas.
Bentuk kegiatan JILFest adalah lomba penulisan cerpen berlatar Jakarta, pertemuan sastrawan internasional, seminar sastra internasional, pertunjukkan sastra, bazar buku, workshop penulisan cerpen dan puisi, serta wisata budaya. Lomba menulis cerpen berlatar Jakarta diikuti 380 peserta dari pelosok tanah air. Kali ini dimenangi cerpen berjudul Selendang Cokek untuk Ayuni karya Floreance Sahertian (Sidoarja). Kemudian disusul Pieter Akan Mati Hari Ini karya Deny Prabowo (Depok, Jabar), Pelangi Nusantara karya Sigid W. (Palembang), Klinik Putih di Ujung Rel Kota Tua karya Thowaf Zuharon (Jakarta), V Lelaki Tua Di Bangku Taman karya Irene Rahmawati (Kebumen), dan Kereta Nyanyian karya Akidah Gauzillah (Jakarta).
Pertemuan sastrawan internasional dan seminar sastra internasional diproyeksikan untuk membuka wacana-wacana baru tentang perkembangan sastra dunia, sekaligus melihat gambaran wajah sastra Indonesia dalam konstelasi sastra dunia. Untuk meneropong dua hal tersebut, seminar mengambil tema Sastra Indonesia dalam Konstelasi Sastra Dunia; dengan tema kecil Sastra Indonesia di Mata Dunia, Prospek Penerbitan Sastra Indonesia di Mancanegara, dan Politik Nobel Sastra. Seminar tersebut menghadirkan pembicara Prof Dr Koh Yung Hun (Korea), Prof Dr Mikihiro Moriyama (Jepang), Prof Dr Budi Darma, Prof Dr Abdul Hadi W.M., Putu Wijaya (Indonesia), Prof Dr Henry Chambert-Louir (Prancis), Dr Steven Danarek (Swedia), Dr Katrin Bandel (Jerman), Dr Maria Emilia Irmler (Portugal), dan Jamal Tukimin MA (Singapura). Adapun 100 peserta aktif (undangan) dari dalam dan luar negeri mewakili berbagai kawasan yang representatif dalam melihat perkembangan wacana sastra dunia sekarang dan mengamati perkembangan sastra Indonesia.
Prof Dr Koh Yung Hun mempresentasikan beberapa karya sastra Indonesia yang diterjemahkan dalam bahasa Korea serta upaya-upaya yang ditempuh di masa mendatang. Bagi Prof Koh, upaya penerjemahan sastra sebuah bangsa amat penting untuk melihat pemikiran dan latar belakang budayanya. Peranan sastrawan tidak dapat diabaikan karena merekalah yang merefleksikan kembali berbagai pergulatan, ide, fenomena sosial budayanya melalui karya sastra. Sastrawan memiliki peran penting karena merefleksikan kembali keseluruhan hidup yang dihayati, emosi, budi, baik individual maupun sosial.
Sementara Dr Maria Emillia Irmler mengatakan, posisi sastrawan penting bagi kelangsungan sebuah bangsa karena sastrawan pada hakikatnya hidup pada dua dunia, yaitu dunia realitas dan bukan realitas sehingga menciptakan sebuah realitas baru. Sastrawan memiliki kemampuan untuk meneropong masa depan lebih dari politikus, wartawan atau apa pun.
Sedangkan, menurut Prof Budi Darma, sastrawan harus mengikuti tuntutan zaman. Sastrawan harus membangun kekuatan diri sendiri agar dapat menghasilkan karya yang berkarakteristik. Dalam menuju percaturan sastra dunia, sastra Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari kondisi ekonomi, sosial, budaya, teknologi, kekuatan militer yang juga turut memberi peran mengangkat citra sastra Indonesia di mata dunia. Budi Darma mencontohkan, artis Bunga Citra Lestari andaikan dilahirkan di Amerika, dengan kondisi dan kemampuan seperti saat ini, tentu keadaannya akan berbeda.
Budi Darma menjelaskan, kondisi sastra dunia, termasuk yang memperoleh Nobel Sastra, saat ini sedang menurun mutunya. Karya para penerima Nobel sastra akhir-akhir juga banyak mendapat kritik karena karya mereka sebenarnya tidak layak mendapatkan hadiah sebesar itu. Kondisi seperti ini sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh para sastrawan dari dunia ketiga, termasuk Indonesia.
Untuk memosisikan sastra Indonesia dalam konstelasi sastra dunia, Katrin Bandel menunjukkan pentingnya politik sastra, namun tidak boleh mengorbankan komunitas lain dalam sastra Indoneisa, apalagi mengorbankan citra bangsa Indonesia. di mata dunia. Agaknya, Katrin melihat ada komunitas yang melaksanakan politik sastra yang tidak sehat.
Berkait soal politik sastra, Abdul Hadi W.M. menunjukkan pentingnya politik pengajaran sastra Indonesia di sekolah. Pada konteks seperti yang diutarakan Abdul Hadi inilah JILfest juga mengadakanan workshop penulisan dan pertunjukan sastra bagi dosen, guru, mahasiswa, dan siswa dengan menghadirkan narasumber Suminto A. Sayuti, Agus R. Sarjono, M. Shoim Anwar, Helvy Tiana Rosa, Tan Liu Ie, dan Ane B. Neh.
Di bagian lain, Putu Wijaya mengatakan, untuk menuju kancah sastra dunia, sastra Indonesia harus memanfaatkan berbagai cara dan fasilitas dari sisi positif sehingga menimbulkan dampak positif bagi semua pihak. Penerjemahan sastra Indonesia ke berbagai bahasa tampaknya sesuatu yang mendesak untuk dilakukan.
Sedangkan Henry Chambert (Prancis) dan Stefan danarek (Swedia) membeberkan, diperlukan upaya yang sangat keras bagi masyarakat sastra Indonesia untuk menuju ke Nobel Sastra dan bukan semata-mata mengandalkan karya sastra saja namun diperlukan berbagai strategi lain seperti penerjemahan dan diplomasi budaya. Hal itu tampak pada kasus Pramoedya Ananta Tour yang meski sudah masuk nominator Nobel selama dua puluh enam kali, namun karena tidak disertai dengan upaya-upaya lain, Pramoedya akhirnya tetap terpental.
Sejak diberikan pada 1901, sudah 103 sastrawan yang memperoleh Nobel. Meski begitu, penerima Nobel masih didominasi sastrawan dari Eropa. Sastrawan yang berbahasa non-Eropa yang memperoleh baru enam orang, yakni dari Bengali, Jepang, Ibrahi, Arab, Tiongha, dan Turki. Kentara sekali bahwa bukan Indonesia saja yang tidak ada di peta itu, melainkan seluruh Asia Tenggara dan kebanyakan Asia. Sebuah kenyataan dapat pula ditunjukkan bahwa dari sekian banyak penerima hadiah Nobel Sastra, hanya ada dua orang muslim, yaitu Naguib Mahfouz (Mesir) dan Orham Pamuk (Turki).
Memang diperlukan usaha sangat keras bagi sastrawan Indonesia menuju pentas sastra dunia. Politik kebudayaan yang dicanangkan pemerintah hingga saat ini masih belum menunjukkan arah yang jelas. Pemerintah baru menyentuh pada seni tradisi untuk mengangkat citra negara. Itu pun baru sebatas promosi wisata. Seni budaya Indonesia secara menyeluruhlah yang mampu dijadikan ikon negara ini. Dan, itu bukan tugas yang ringan. Sastra, meski awalnya merupakan ekspresi pribadi, pada akhirnya juga bersentuhan dengan citra negara. (*)
* Tjahjono Widarmanto, Penulis adalah peserta JILFest 2008, tinggal di Ngawi.
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 14 Desember 2008
No comments:
Post a Comment