-- Darmaningtyas*
KORPORATISASI secara sederhana dapat diartikan sebagai perusahaan besar yang memisahkan antarkepemilikan saham dengan manajemen.
Sedangkan korporatisasi pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah proses pembentukan korporasi di dalam dunia pendidikan. Bentuk korporasi pendidikan yang dimaksudkan di sini memang tidak persis seratus persen sama dengan korporasi dalam dunia bisnis, yang aktivitas utamanya mencari keuntungan bagi para pemilik saham dan manajemen, tapi langkah-langkah, tahapan, prosedur, maupun hasil akhir yang ingin dicapai itu sama persis, yaitu penciptaan standardisasi dan efisiensi guna mencapai produk unggulan.
Proses ke arah pembentukan korporasi dalam pendidikan itu dilakukan secara sistematis dan legal. Sistematis dimulai dengan memperkenalkan istilah-istilah korporasi ke dalam khazanah pendidikan sehingga menghegemoni masyarakat sekolahan, sedangkan legal diberikan payung hukumnya, baik dalam bentuk peraturan presiden, peraturan pemerintah, maupun undang-undang, dan yang terakhir adalah Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang baru disahkan, 17 Desember 2008.
Awal proses
Awal proses pembentukan korporasi dalam dunia pendidikan itu dimulai dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan dan kemudian diikuti dengan PP No 152-155 Tahun 2000 tentang pembentukan UI, UGM, IPB, dan ITB menjadi PT Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Perubahan status dari PTN menjadi BHMN memiliki implikasi luas terhadap perubahan peran institusi pendidikan tersebut, yang menjadi sangat komersial dan pabrikan. Perguruan tinggi, khususnya universitas, bukan lagi sebagai wahana untuk pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan mencari kebenaran, tapi sekadar institusi legal yang punya kedudukan hukum di masyarakat untuk melakukan pungutan-pungutan yang amat mahal dan mencekik.
Istilah baru
Beberapa istilah baru, seperti Majelis Wali Amanah (MWA), tata kelola, Dewan Audit, Organ Audit, Dewan Pengawas, penjaminan mutu, layanan prima, usaha komersial, investasi, investasi dalam bentuk portofolio, ketenagaan, keuntungan, sisa keuntungan, kekayaan, kekayaan dan pendapatan, pemisahan kekayaan, transparansi, akuntabilitas, dan tanggung gugat, volume pendapatan, aktiva, pasiva, penggabungan, pembubaran, dan pailit, adalah istilah yang sebelumnya tidak pernah dikenal di dunia pendidikan, termasuk dalam UU No 4/1950 tentang Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah serta UU No 2/1989 dan UU No 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun, sejak keluarnya PP No 61/1999 dan PP No 152- 155 Tahun 2000, istilah-istilah tersebut menjadi sangat akrab dan semakin melembaga lagi setelah DPR mengesahkan RUU BHP menjadi UU BHP. UU BHP memang UU tentang korporasi pendidikan karena yang diatur hanya mengenai masalah tata kelola, kekayaan, pemisahan kekayaan, ketenagaan, pendanaan, tata cara investasi, serta mekanisme pembubaran dan pailit dari badan hukum pendidikan.
Istilah-istilah yang digunakan dalam bab dan pasal dalam UU BHP ini adalah istilah yang biasa digunakan di dalam korporasi, bukan di dalam dunia pendidikan. Maka wajar bila UU BHP lebih cocok mengatur tentang sebuah korporasi, bukan mengatur pendidikan yang visinya mencerdaskan bangsa dan misinya sosial. Sebab, UU BHP justru secara resmi mengatur aktivitas bisnis bagi BHP (Pasal 43). Ini bertentangan dengan pasal di depan yang menyatakan BHP sifatnya nirlaba.
Penyederhanaan masalah
Berdasarkan istilah-istilah yang dipakai dalam UU BHP itulah yang membuat kami menolak RUU BHP untuk disahkan menjadi UU karena sama saja mendorong pendidikan menjadi korporasi. Sebab, berangkat dari istilah-istilah itulah, maka ketika UU itu diimplementasikan, implementasinya tidak akan jauh berbeda. Bila dalam UU BHP tidak dikenal lagi istilah ”sekolah” dan ”guru” karena digantikan dengan istilah ”badan hukum pendidikan” dan tenaga pendidik, maka dalam implementasinya nanti tidak ada istilah ”sekolah” dan ”guru”. Padahal, kata ”sekolah” dan ”guru” memiliki makna sosiologis dan filosofis yang lebih luas daripada kata ”badan hukum pendidikan” dan ”tenaga pendidik”. Sebaliknya, karena dalam pasal-pasal UU BHP itu adalah Badan Audit, Badan Usaha Komersial, Pemisahan Kekayaan, Investasi, dan sebagainya, maka yang akan terjadi di lapangan ya seperti itu. Akhirnya, ketika UU BHP dilaksanakan, tidak menjawab persoalan pendidikan nasional sama sekali, tapi hanya menjawab masalah tata kelola. Padahal, tata kelola itu hanya sarana untuk mencapai tujuan pendidikan.
Tugas pokok lembaga pendidikan formal untuk melakukan pengajaran dan pendidikan justru terabaikan karena penyelenggara justru sibuk dengan urusan tata kelola yang teknis-administratif-manajerial, termasuk mengurusi masalah pemisahan kekayaan antara pemerintah dan BHP atau antara pendiri dan BHPM (sekolah-sekolah swasta). Atau sibuk mengembangkan bisnis melalui investasi. UU BHP memang mereduksi pendidikan hanya pada masalah tata kelola, dan tata kelola pun lebih fokus pada pendanaan saja, terutama bagi-bagi peran antara pemerintah dan masyarakat. Pelaksanaan UU BHP akan mengeliminir pelaksanaan pendidikan gratis karena tidak ada pasal yang mengatur tentang masalah tersebut (kecuali pendidikan dasar) serta akan menjadikan nasib guru makin tidak jelas, kecuali sebagai buruh kontrak saja.
UU BHP juga mengabaikan hak anak-anak miskin dan bodoh—yang notabene populasinya di masyarakat mencapai 40 persen sendiri—karena yang diatur hanya beasiswa untuk yang miskin tapi pintar dan bersekolah di sekolah-sekolah negeri. Lantas, siapa yang membiayai pendidikan anak-anak miskin dan bodoh tersebut? Sungguh tragis apabila masalah pendidikan hanya disederhanakan pada masalah tata kelola.
”Judicial review”
Disahkannya RUU BHP menjadi UU sebetulnya merupakan lonceng kematian bagi pendidikan nasional karena negara tidak lagi melindungi hak-hak warganya untuk memperoleh akses pendidikan secara gratis dan bermutu. Untuk itu, sebelum UU BHP diterapkan, ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk melawan keberadaan UU BHP, yaitu, pertama, melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan kedua pembangkangan sipil (civil disobedience) dengan tidak mau menjalankan UU tersebut karena kita sudah memiliki UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang disusun dengan menimbulkan kontroversi. Judicial review agar dapat mempunyai kekuatan mencari kebenaran mutlak harus dilakukan bersama-sama di antara kelompok yang menolak RUU BHP, baik itu di perguruan tinggi, yayasan, aktivis LSM, mahasiswa, dan sebagainya. Mereka harus mau membuang ego sektoralnya guna membangun aliansi yang kuat untuk menolak UU BHP.
Semoga para hakim di Mahkamah Konstitusi masih diterangi oleh cahaya kebenaran sehingga dapat melihat bahwa UU BHP menyimpang dari semangat Pancasila dan UUD 1945.
* Darmaningtyas, Aktivis Pendidikan yang Anti-UU BHP
Sumber: Kompas, Senin, 22 Desember 2008
1 comment:
terima kasih yaa, literature nya sangat membantu :)
Post a Comment