Sunday, December 07, 2008

Pembunuhan Sultan dan Sisir George Bush dalam Sastra Kita

-- Linda Christanty

TAHUN ini, tepat 10 tahun Ayu Utami menulis Saman, novel yang dianggap memberi tafsir baru terhadap tubuh perempuan, seks, dan seksualitas dalam sastra kita.

Dalam Saman, untuk pertama kalinya perempuan bebas bicara tentang hal terdekat dengan diri mereka dan sekaligus telah lama diceraikan dari mereka, yaitu tentang tubuh mereka sendiri. Dan tubuh ibaratkan bahasa ibu, bukan sekadar teks. Tetapi, suatu hari negara dan agama ikut mengatur penggunaannya.

Orde Baru mengarang cerita tentang sejumlah perempuan merayakan pesta di lapangan Halim. Mereka menyayat kemaluan para jenderal dengan silet, lalu menari telanjang di atas tubuh-tubuh sekarat itu. Seks dan ketelanjangan jadi berbahaya, kotor, kelam, dan subversif bila dilakukan perempuan. Itulah pesan moral Orde Baru.

Cerita tersebut bagian dari pembenaran politik untuk memusnahkan sekitar tiga juta orang yang dituduh anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia, antara tahun 1965 sampai 1967, di berbagai daerah.

Para ulama juga punya alasan tersendiri. Perempuan baik-baik harus membungkus tubuh dengan rapi. Sebab tubuh perempuan bisa menjanjikan neraka, menjerumuskan laki-laki ke dalam selingkuh dan niat memperkosa. Seks semata-mata saluran prokreasi, bukan komunikasi.

Wacana tubuh dalam Saman seketika jadi tindakan politis. Ia tak dituduh subversif oleh pemerintahan Soeharto, tetapi orang-orang yang mengatasnamakan agama terus mendesakkan sebuah undang-undang untuk memenjarakan tubuh itu kembali.

Namun, lima tahun ini belakangan euforia tentang tubuh menyurut. Orang-orang mungkin sadar, setelah bahasa ibu mereka perlu belajar bahasa lain untuk mengenal dunia yang lebih luas dan lebih rumit dari yang dibayangkan.

Pembaca sastra mulai kritis. Para penulis tak hanya sekadar menulis. Mereka harus melakukan eksplorasi bentuk, tema, dan bahasa. Sebab musuh terbesar mereka adalah pengulangan, rumus yang mudah diterka, dan stagnasi.

Tahun ini, tak ada keriuhan dalam sastra. Tak ada novel penting dan menarik dibaca.

Stagnasi

Sepuluh tahun setelah Saman terbit, Ayu Utami meluncurkan Bilangan Fu pada Juni lalu. Ia menulis ulang, antara lain kisah Sangkuriang, Nyi Ratu Kidul, Tuyul, Dewi Durga, dan Drupadi dalam novel setebal 513 halaman itu. Tanpa kehadiran tokoh Yuda, Parang Jati, dan Marja, novel tersebut akan menjelma kumpulan dongeng dan takhayul Jawa.

Ayu juga menceritakan kembali peristiwa pembunuhan dukun santet atau penjarahan toko-toko Tionghoa yang sudah kita ketahui dari koran, radio, internet, dan televisi. Upaya si penulis memberi makna lain atas dongeng dan peristiwa tadi malah jadi khotbah.

Bilangan Fu bahkan bisa disunting setengahnya dan menjadi novel hantu yang menarik dengan memilih kisah Sebul, makhluk berwajah serigala dan bertubuh perempuan, sebagai pusat cerita. Kemudian biarkan pembaca menemukan sendiri di mana letak spiritualismenya secara kritis. Novel ini juga mengandung sejumlah kecerobohan berbahasa, semantik maupun sintaksis. Pembentukan kata serapan juga terasa janggal, hal kecil yang mengganggu (handphone—handpon).

Cerpen dan puisi

Namun, jangan berkecil hati. Cerita pendek dan puisi terbaik hadir di tahun ini. Tak banyak, tetapi penting disimak.

Bacalah cerpen ”Pengantar Singkat untuk Pembunuhan Sultan Nurrudin” yang ditulis Azhari di Koran Tempo, 12 Oktober 2008. Kejutan, tegangan, humor, teka-teki, dan petualangan membuatnya terasa segar

Bagian pertama dibuka dengan adegan di istana. Di situ hadir Si Ujud, kepala mata-mata sultan, dan anggota perkumpulan rahasia Kura-Kura Berjanggut yang dipimpin perempuan bernama Ainul Mardiyah. Mereka diam-diam bersekutu untuk membunuh sultan dengan taktik menjual mutiara bertuah.

Dulu Si Ujud anggota armada penangkap perompak. Bertahun-tahun ia mengecoh pengejaran perompak Kastilia dengan mencecerkan racikan kelapa parut dan cabe yang dibakar, di mana-mana. Di tengah pelarian ia bertemu Ainul, perempuan yang direkrut sebagai anggota Kura-Kura Berjanggut setelah susah-payah mencari Tuhan, yang memiliki penyakit kudis di tubuh. Tuhan Ainul ternyata Si Buduk, salah seorang pemimpin tertinggi perkumpulan Kura-Kura Berjanggut.

AS Laksana juga memiliki kemahiran macam ini. Rumus mujarabnya sama: memparodikan sejarah dan mengejek kekuasaan secara jenaka. Dalam ”Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut”, ia mengisahkan kota yang hancur dibombardir meriam gara-gara semburan ludah pribumi hinggap di jidat nakhoda Portugis, Murjangkung. Ludah tersebut menjangkau benteng Murjangkung yang jaraknya puluhan kilometer berkat ilmu kesaktian si peludah. Cerpen ini dimuat Koran Tempo, 27 November 2008.

Bagaimana dengan puisi? Penyair Joko Pinurbo, dalam sebuah perbincangan kami, berujar bahwa masa depan puisi kita suram. Penyair bagai kehabisan ide kreatif. Pola berulang. Epigonisme masih terjadi.

Namun, simak sajak-sajak Nirwan Dewanto. Ia memberi nyawa, sikap, dan gerak pada benda-benda. Subjek liriknya juga bukan perenung, tetapi petarung dan kawan yang sinis. Sebut saja sajak ”Garam”. Subjek lirik di situ berterima kasih kepada lautan, tukang jagal, asparaga, juru museum, kentang bakar, Prairie du Chien, susu masam, dan peluh lautan yang sebagian berkorban untuk keberadaannya sebagai garam dengan nada menantang. Sajak ini dimuat Kompas, 2 Maret 2008 dan di antologi Jantung Lebah Ratu.

Akhirnya kita sampai pada Afrizal Malna. Dulu saya tak berminat pada sajak-sajaknya. Seperti ada lubang gelap di situ. Barangkali disengaja. Barangkali akibat kegagalan berbahasa.

Belum lama ini saya membaca buku puisinya, Teman-Temanku dari Atap Bahasa.

Ia mengkritik militerisme sebagai dirinya sendiri dalam ”Guru dan Murid Dilarang Masuk ke Dalam Sekolah yang Terbakar”: Aku tak percaya pada tanganku sendiri pagi ini telah membakar ratusan sekolah di kotaku sendiri, sekolah untuk anak-anakku sendiri….

Sajaknya berbeda dengan sajak-sajak Wiji Thukul, dengan subjek lirik yang selalu melawan negara, majikan, atau tentara yang semena-mena.

Coba simak ”Chavez untuk Rambut yang Tak Mau Disisir”. Subjek liriknya menyebut Bush sebagai teman yang ia hadiahi sisir setiap ulang tahun. Tetapi, sisir itu selalu patah. Negeri Bush dikatakannya tumbuh laksana anak kecil yang takut dengan sisir orang lain, untuk menggambarkan paranoia pemerintah Amerika terhadap dunia luar, sehingga ”untuk membeli rokok ke warung sebelah saja, kau harus membawa pistol”.

Di bait keempat puisi ini sindiran keras subjek lirik berselubung bujukan: Bush, jangan marah. Aku tidak pernah mengatakan bahwa kamu adalah setan dengan rambut yang tak mau disisir.

Saya percaya bahwa saya bisa memahami sajak-sajak Afrizal bukan karena ia semakin mudah, tetapi karena pengalaman hidup saya kini berdekatan dengan sajak-sajak itu.

Meskipun hanya empat nama yang bersinar di tahun ini, kesusastraan kita justru mengisyaratkan masa depan yang lebih baik, unik, segar, dan bermutu. Mudah-mudahan, kelak tak ada lagi teman yang menulis di Facebook tentang kejemuannya terhadap sastra Indonesia dan mengumumkan putus hubungan dengannya.

* Linda Christanty, Menulis kumpulan cerita pendek Kuda Terbang Maria Pinto (2004), memimpin sindikasi media Aceh Feature, dan tinggal di Banda Aceh

Sumber: Kompas, Minggu, 7 Desember 2008

1 comment:

Sabiq said...

nice blog.. :D