Saturday, December 27, 2008

Bandung, Sastra, dan Perayaan

BAIK lupakan Komunitas Utan Kayu (KUK) dan newsletter Boemi Poetra dengan "perang" politik sastra mereka; begitu juga Sutarji Calzoem Bachri yang bersedia menerima Bakrie Award 2008 dengan tanggapan pro-kontra yang menyertainya; atau kumpulan "Jantung Lebah Ratu" karya Nirwan Dewanto dan novel Ayu Utami "Bilangan Fu" yang memenangi Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2008, atau Anugerah Pena Kencana yang untuk tahun ini hanya memilih enam puluh Puisi Indonesia Terbaik karena alasan kualitas yang dianggap menurun; juga pembentukan Asosiasi Sastra Indonesia (ASI) di Jambi dalam Pertemuan Sastrawan Indonesia 7-11 Juli 2008, Temu Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) III di Lembang Jawa Barat 4-6 November 2008, juga Jakarta International Literary Festival (JILFest) di Jakarta 11-13 Desember 2008 yang mencoba memeriksa kembali politik jaringan sastra Indonesia ke dunia internasional; Sayembara Novel DKJ 2008 yang hanya menghasilkan satu pemenang.

Tentu saja semua itu sangat penting untuk membaca perkembangan sastra Indonesia di tahun 2008. Tapi, membaca perkembangan sastra Indonesia di Bandung dan di Jawa Barat sepanjang tahun 2008 adalah hal yang juga tak kalah pentingnya. Dan ini bukan melulu karena keniscayaan bahwa dinamika sastra di Bandung dan Jawa Barat merupakan bagian dari perkembangan sastra Indonesia. Melainkan juga bersebab pada dinamika yang berlangsung di Bandung dan Jawa Barat itu sendiri. Dinamika yang sayup-sayup mengisyaratkan adanya sesuatu yang hilang di dalamnya. Sesuatu yang hilang itu bukanlah semangat atau produktivitas.

Seperti tahun 2007, pertumbuhan sastra di Bandung berlangsung dalam semangat dan produktivitas yang menggembirakan dan menjanjikan berbagai harapan. Baik semangat dalam merancang atau menyelenggarakan acara-acara sastra, terutama launching atau peluncuran buku yang ditandai dengan pembacaan karya, hingga produktivitas dalam berkarya.

Dalam produktivitas berkarya, misalnya, paling tidak, dalam sepekan e-mail suplemen Khazanah menerima tiga hingga lima file naskah, puisi atau cerpen, yang umumnya berasal dari Bandung dan Jawa Barat. Satu file naskah, terutama puisi, selalu berisi lebih dari sepuluh karya. Dan tak jarang dalam waktu yang tak lama nama yang sama akan mengirimkan beberapa karyanya yang terbaru. Semangat, kegairahan, dan produktivitas berkarya juga tampak dalam sayembara penulisan puisi se-Jawa Barat yang diadakan Disbudpar Jabar Oktober 2008 yang menerima 1.150 puisi.

**

TENTU saja ini menggembirakan, terlebih lagi, di samping nama-nama seperti Jafar Fakhrurozi, Sang Denai, Heri Maja Kelana, Ahmad Faisal Imron, Widzar Al-Ghifari, Semmy Ikra Anggara, Dian Handiana, Fadhila Ramadhona, Fina Sato, Dian Hartati, Yopi Setia Umbara; mereka kebanyakan adalah wajah-wajah baru. Dan dari keseluruhan itulah terasa betapa semangat dan produktivitas berkarya menjadi kekuatan mereka, tapi sekaligus inilah yang menjadi kelemahannya. Semangat mereka menulis terasa tidak dibarengi dengan semangat dalam sebuah ruang proses kreatif yang ketat; kesabaran dalam mengolah bentuk pengucapan atau kegelisahan dalam mengeksplorasi tema.

Tak sedikit puisi dan cerpen yang terkesan ditulis sekali jadi, mrucut begitu saja, hambar dan sekali membaca jelas masalahnya. Begitu pula yang hadir dengan bentuk-bentuk ungkapan yang "meliar-liarkan" imajinasi namun lebih sering kehilangan fokus sehingga tak jelas juntrungannya. Belum lagi keseragaman pola dan style pengucapan atau bangun suasana yang banyak ditemukan dalam puisi. Entahlah, sampai sejauh mana kiranya ruang proses kreatif semacam ini bisa dicurigai sebagai pengaruh tak langsung dari revolusi teknologi informasi yang menyediakan berbagai ruang kehadiran, seperti blog, dengan kemudahan dan kebebasannya dalam memproduksi teks. Tentu saja bukan berarti puisi dalam blog-blog itu berarti seluruhnya buruk.

Seraya memaklumi begitulah pencapaian para pendatang baru, namun satu hal yang jelas, terutama dalam konteks kepenyairan, dibandingkan dengan Lampung, Yogyakarta, dan Bali; Bandung atau Jawa Barat belum pernah mengalami generasi kepenyairan yang berjalan lamban seperti sekarang. Ironisnya, itu terjadi di tengah semangat, kegairahan, dan produktivitas berkarya yang menggebu-gebu dengan berbagai acara peluncuran buku dan keramaian pembacaan puisi.

Satu hal yang amat terasa di Bandung sepanjang 2008 ini adalah bagaimana sastra terkesan hanya jadi perayaan. Sebuah buku diluncurkan dan dirayakan dengan seremonial pembacaan karya secara bergantian oleh kawan-kawan yang sekaligus jadi penontonnya, lalu semuanya berhenti sampai di situ. Sastra akhirnya bukan lagi menjadi pergaulan teks, melainkan hanya menjadi sebuah pergaulan di tengah kerumunan yang tak pernah memperbincangkan teks.

Namun demikian tidaklah berarti bahwa tak ada perkembangan yang tak layak untuk dicatat selama 2008 ini. Dalam puisi, sejumlah karya dari generasi terbaru tampak mulai memperlihatkan perkembangan yang menarik, sebutlah, Faisal Syahreza, Ginanjar Rahardian, Langgeng Prima Anggradinata. Beberapa karya mereka mulai memperlihatkan upaya dan pergulatan keras dalam melakukan penjelajahan bentuk, meski memang di sana-sini masih terasa belum adanya pendalaman dan fokus tematik yang serba canggung serta belum mampu lepas dari keseragaman style ungkap. Sedangkan dalam cerpen, belum tampak adanya karya generasi baru yang potensial untuk melapis generasi Fina Sato dan Dian Hartati.

Mengeluarkan sastra dari sekadar jadi perayaan dan kerumunan untuk menjadikan atau mengembalikannya sebagai sebuah pergaulan teks dalam ruang perbincangan, inilah agaknya yang mesti segera dilakukan oleh berbagai komunitas sastra di Bandung. Ruang perbincangan inilah yang diandaikan bisa menjadi bagian dari proses kreatif, baik untuk mengasah teknik penulisan, apresiasi, wawasan, atau pun jalan kepenyairan. Sejumlah komunitas seperti Genk Menulis Mnemonic, Asas, Forum Lingkar Pena (FLP), dan beberapa komunitas lainnya tentu menyadari hal ini bahkan telah melakukannya. Hanya, soalnya sampai di mana kemudian efektivitasnya dan bagaimana seluruh itu dikelola. Kehadiran Majelis Sastra Bandung yang hendak mengandaikan dirinya sebagai wadah bagi ruang perbincangan sastra, tentu saja penting dan menarik sepanjang ia tidak kemudian juga terjebak menjadikan sastra sekadar perayaan dan kerumunan. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 27 Desember 2008

No comments: