Friday, December 12, 2008

Opini: Bangsa yang Primitif

-- Nia Kurniawati*

DALAM catatan sejarah, terdapat pembagian zaman prasejarah dan sejarah yang dibedakan terutama oleh berbagai bentuk peradaban; antara manusia primitif dan modern. Ada satu masa ketika manusia tidak beradab, nomaden, dan tidak berpakaian.

Model masyarakat macam ini masih tersisa di berbagai daerah pedalaman di Indonesia dan juga di negara lain. Suku-suku yang tinggal di pedalaman, misalnya, mereka nyaman dengan kehidupan yang "serbaalami", mengenakan pakaian seadanya atau bahkan tidak berpakaian. Mereka menggantungkan hidup pada hewan buruan atau hasil ladang dan tidak begitu peduli hiruk-pikuk kehidupan modern. Kehidupan modern bahkan kini telah membawa manusia dapat berlibur di luar angkasa dengan fasilitas teknologi canggih.

Meskipun kebanyakan kita mengetahui keberadaan mereka, baik dari buku pengetahuan ataupun tayangan film dokumenter, ketika harus berhadapan langsung dengan manusia "setengah purba" di era gadget freak ini tetap saja ada perasaan jengah dan iba. Pola kehidupan mereka yang mungkin dapat disebut tidak layak jika diukur ukuran kelayakan hidup manusia modern, baik dari segi ekonomi, pendidikan ataupun sosial--mungkin sebagian kita akan menyebut mereka sebagai manusia primitif.

Namun, apa benar hanya mereka yang tinggal di pedalaman yang masih dapat kita sebut sebagai manusia primitif?

Hal kasatmata yang membuat kita menyebut suku-suku terasing itu primitif tentunya cara mereka berpakaian, berperilaku, dan berpikir. Mereka tidak risi mempertontonkan sebagian besar bahkan seluruh bagian tubuh mereka di depan orang lain. Sebab, bagi mereka tidak ada yang salah dengan cara mereka berpakaian.

Bagi mereka, tidak ada norma yang dilanggar ketika berhadapan dan beraktivitas tanpa sehelai busana yang menutupi tubuh mereka. Sebab, mereka mungkin hanya perlu menutupi sebagian kecil organ vital karena semua orang di lingkungan mereka berpakaian sama. Bahkan, jika ada yang berpakaian lengkap mungkin menjadi pelanggaran adat atau norma yang mereka percayai.

Begitupun dengan perilaku keseharian mereka; tidak harus repot-repot memikirkan tingkat inflasi, krisis global, suku bunga bank atau kurs rupiah. Selama dapat berburu hewan dan memetik hasil hutan atau ladang, mereka sudah merasa nyaman.

Tidak ada kerisauan akan tingkat intelegensi atau pendidikan anak-anak mereka. Toh, anak-anak mereka pun nantinya tidak akan berkutat dengan jaringan komputer atau bursa saham. Anak-anak mereka kemungkinan meneruskan pola kehidupan yang begitu-begitu saja. Tidak heran jika mereka tetap menjadi penganut animisme.

***

Tampaknya bukan hanya suku-suku terasing itu yang dapat dikatakan sebagai manusia primitif. Manusia-manusia modern di sekitar kita pun banyak yang dapat dikatakan sebagai manusia primitif.

Ada hal yang menggelitik ketika beberapa waktu lalu satu acara reality show di satu stasiun televisi swasta terpaksa harus berhenti tayang. Muncul pernyataan dari seorang komedian kondang, jika pelarangan tayangan tadi dan sejenisnya dibiarkan, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang primitif.

Untuk sekadar informasi, reality show tadi biasanya ditayangkan pada prime time karena memang memiliki rating tinggi. Acara tersebut terpaksa berhenti tayang setelah beberapa kali mendapat peringatan karena dinilai melanggar beberapa norma kesusilaan.

Selain itu, materi yang ditayangkan dinilai sangat tidak layak tayang ketika acara ini mengundang seorang mantan kanibal yang kini berubah terkenal bak selebriti dan juga menampilkan manusia pemakan bangkai.

Jika tindakan pelarangan tayangan yang mengeksploitasi perilaku hidup kanibal dianggap akan membuat bangsa ini primitif, muncul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan bangsa primitif itu sendiri?

Jika kita menentukan tolok ukur yang membedakan manusia primitif dan modern adalah cara berpakaian, berperilaku, dan berpikir saja, ternyata bangsa kita sebagian besar masih dihuni manusia primitif. Salah jika mengatakan pelarangan tayangan semacam reality show tadi akan membuat bangsa ini primitif. Sebab, sesungguhnya sebagian besar tayangan televisi dan bahkan perilaku manusia yang menghuni bangsa ini ternyata masih sangat primitif atau lebih tepatnya telah kembali menjadi primitif.

Tengoklah cara berpakaian masyarakat di sekitar kita. Kini orang-orang tidak lagi merasa risi atau malu berpakaian setengah telanjang di depan umum bak penduduk suku-suku terasing tadi. Berbagai hal yang selayaknya membedakan antara manusia dan hewan seperti perilaku seksual, pernikahan atau perikemanusiaan kini tidak lagi penting. Telinga kita sudah terbiasa mendengar kasus kehamilan di luar pernikahan, seks bebas, aborsi, inses, pembunuhan mutilasi atau bahkan hal yang tidak dilakukan induk binatang sekalipun, ibu yang tega membunuh anak kandung sendiri.

Lalu jika kita merelasikan masyarakat primitif yang sebagian besar menganut animisme dengan berbagai ritual yang sering tidak masuk akal, tidak sulit menemukan sebagian dari kita yang kini telah merasa sebagai masyarakat modern, tapi ternyata masih berpola pikir primitif. Harusnya kita malu ketika melihat tayangan iklan dukun online yang sama sekali tidak rasional karena artinya masih ada yang memercayai ramalan manusia berdasar kitab mistik kuno leluhur atas masa depan seseorang.

Atau ketika ada masyarakat yang sudah bersentuhan dengan teknologi tapi masih memercayai hal-hal mistik atau klenik dan lebih memercayai juru kunci dan para normal dibanding dengan ahli geologi.

Jika ada yang merasa khawatir bangsa kita akan menjadi bangsa yang primitif dengan adanya berbagai peraturan yang berusaha membatasi perilaku hewani sebagian masyarakat kita, rasanya kekhawatiran itu tidak tepat dan sudah sangat terlambat. Kini, bangsa yang besar ini memang telah menjadi bangsa yang primitif dengan berbagai tingkah polah manusia prasejarah, bahkan lebih primitif dibanding dengan manusia zaman prasejarah sekalipun.

Atau jika meminjam istilah jahiliah modern, bangsa kita mungkin telah menjadi bangsa primitif moderen. Artinya, bangsa yang hidup dengan fasilitas modern, tapi berperilaku amat primitif. n

* Nia Kurniawati, Pengajar Politeknik Negeri Lampung

Sumber: Lampung Post, Jumat, 12 Desember 2008

No comments: