Saturday, May 03, 2008

Teroka: Monster dalam Terali Teknologi

-- Saifur Rohman*

DALAM sebuah perjalanan melintasi benua menggunakan pesawat udara, saya tiba-tiba tersadar berada di dalam sebuah balon yang terbuat dari rakitan teknologi paling rumit dan desain rasio paling efisien di setiap milimeter. Bola itu meluncur dengan kecepatan 800 kilometer per jam menuju suatu tempat dengan titik koordinat yang telah disepakati di ujung daratan benua sana. Ini adalah nama lain dari sebuah penjara.

Penjara teknologi itu bisa digambarkan sepintas berikut ini: sebuah sandaran punggung kursi yang didesain melalui uji coba yang panjang. Dilengkapi dengan sandaran tangan yang berisi head set dan remote control. Di depan mata telah terpasang baki makan yang sewaktu-waktu bisa dibuka horizontal. Di kanan-kiri kita hanyalah tontonan tentang rumitnya desain teknologi. Melesetnya satu fungsi di dalam penjara itu jelas akan memengaruhi desain seluruhnya. Karena pesawat tidak bisa parkir sebentar saat berjalan bila ada penyimpangan, taruhannya jelas: nyawa.

Situasi itulah yang barangkali membuat Jurgen Habermas menulis esai panjang yang telah menjadi klasik bertajuk ”Technick und Wissenchaft als Ideologie” (”Teknologi dan Ilmu sebagai Ideologi”, 1980). Dia secara jelas menindaklanjuti ungkapan Herbert Marcuse yang menyatakan bahwa ”teknologi sebagai hasil produksi material telah merancang lahirnya sebuah dunia” (terjemahan Indonesia, 1990:26).

Bagi Habermas, rancangan itu nyatanya bukan sebuah dunia lain yang tidak terjangkau oleh setiap manusia, melainkan telah melibatkan (dan menjadikan) setiap manusia sebagai korban yang berada di dalamnya. Ini disebut lebenswelt (pandangan hidup). Manusia berpikir dan bertindak melalui teknologi. Jadi teknologi itu tidak hanya mencipta penjara bagi tubuh manusia, tetapi juga telah membangun instalasi penjara di wilayah kesadarannya.

Ketika ponsel tidak bisa berfungsi di dalam penjara yang meluncur, sementara pada saat yang sama pikiran manusia terus mengembara, penjara itu menemukan bentuknya dalam sebuah laptop.

Manusia monster

Penjara itu menemukan istilah lain, yakni sebagai perwujudan nilai-nilai baru dalam sebuah dunia teknologi. Dari sudut pandang antropologi, teknologi dengan demikian bukan berdiri sebagai satu subsisistem peralatan dalam sebuah sistem besar yang bernama kebudayaan. Ingatlah bahwa Koentjaraningrat membagi kebudayaan terdiri atas agama, kebiasaan, ilmu, bahasa, seni, pekerjaan, dan teknologi.

Teknologi telah menjadi seperangkat sistem adat istiadat. Laptop telah menjadi sebuah kebiasaan, norma, atau tradisi masyarakat baru. Dengan demikian, siapa pun yang tidak memanfaatkannya adalah orang yang berada di luar norma, uncivilized, atau orang-orang yang berpikir liar (savage mind, demikian rumusan Levi-Strauss ).

Disadari atau tidak, manusia telah menjadi semacam monster saat berhadapan sekaligus berada di balik terali penjara teknologi.

Monster adalah sejenis makhluk menakutkan, cacat, tanpa perasaan, dan telah kehilangan normalitasnya sebagai makhluk hidup. Monster itu memiliki pekerjaan menanti pesan singkat di layar telepon seluler, mengharap e-mail masuk ke dalam kotak inbox, mendapatkan pesan di blog-blog yang telah diciptakan.

Dalam kehidupan nyata, manusia dalam satu kali 24 jam tidak bisa melepaskan ponsel dari tangan mereka. Bila kesepian telah datang karena pesan tak juga diterima kita akan mengirim pesan ke angka dan aksara yang tertera di layar serat optik. Deretan angka dan huruf-huruf itu mewakili sosok hidup di suatu tempat dan waktu. Kepada angka-aksara itu kita menyatakan diri bahwa kita butuh teman untuk mencurahkan hati. Manusia pun semakin meneguhkan dirinya sebagai monster penunggu di dalam terali serat optik.

Di mana aku?

Di manakah nilai-nilai kesadaran yang aktual sebagai aku? Pada masa lalu pertanyaan itu dijawab Martin Heidegger dalam Being and Time (1960:23): kesadaran itu dikungkungi mesin ketik. Keberadaan manusia tereduksi ke dalam keterampilan tangan manusia yang mengayunkan jemari menyusun kata-kata. Kesadaran hanyalah susunan huruf (1980:76) yang menyatakan, kesadaran selalu luput dari wilayah simbol dan penandaan karena hanya tampil sekali sebagai ”penampakan” (monstrousity) dalam sebuah kehadiran.

Pada masa kini, ketika manusia telah berubah menjadi monster, penampakan itu telah dilenyapkan dan kesadaran aktual manusia kian dihancurkan. Kesadaran aktual adalah kehadiran hic et nunc (kini dan di sini). Kata ”kini” berarti lamanya perasaan dan ”di sini” merujuk pada ruang tempat tubuh berada. Sebagai monster, ruang ke-di sini-an kerap kali tinggal dalam sebuah layar LCD. Adapun kekinian hanyalah waktu menanti pengiriman dan penerimaan simbol-simbol.

Sang monster telah dilenyapkan dari perasaan-perasaan manusiawi, seperti spontanitas dalam sebuah pertemuan. Keterikatan manusia berdasarkan perasaan atau keberakaran (gemeinschaten), juga keakraban antarindividu dalam momen adat-tradisi, berangsur lenyap. Menjadi sesuatu yang dianggap buang-buang waktu.

* Saifur Rohman, Kandidat Doktor Ilmu Filsafat UGM, Penulis Buku Matinya Ilmu (Rumah Kata, 2008)

Sumber: Kompas, Sabtu, 3 Mei 2008

No comments: