Wednesday, May 21, 2008

In Memoriam: Bang Ali Sadikin, Empu Peradaban Kota

-- Bondan Winarno

DALAM masa kerja saya yang singkat sebagai Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan, beberapa kali saya berkesempatan bertemu secara pribadi dengan Bang Ali Sadikin. Pertemuan-pertemuan yang menyenangkan itu selalu mengambil tempat di rumahnya, di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat. Hanya sekali, karena alasan kesehatan, Bang Ali meminta saya datang ke rumahnya di Pondok Indah. Tetapi, pada menit-menit terakhir, sekretarisnya yang efisien menelepon dan memberitahu bahwa pertemuan akan dilangsungkan di Jalan Borobudur.

Ali Sadikin (Dok SP/Frans Harahap)

Hal itu hanya menunjukkan sikapnya yang correct terhadap orang-orang yang dijumpainya. Rumah di Jalan Borobudur adalah kediaman resmi, sementara yang di Pondok Indah merupakan kediaman pribadi. Ia selalu ingin menerima tamunya secara resmi dan hormat. Anehnya, hampir semua pertemuan saya dengan Bang Ali justru bukan atas permintaan saya. Melalui sekretarisnya, Bang Ali membuat janji untuk bertemu, tanpa menyebutkan apa maksud dan tujuan pertemuan.

Bang Ali selalu tepat waktu. Dua cangkir teh dan sepiring kue-kue khas Jakarta -paling sering otak-otak- sudah tersaji di meja. Bang Ali sendiri tidak pernah menyentuh kue-kue itu. "Saya tidak bisa lagi makan kue-kue. Gula darah saya tinggi," katanya sambil menyuguhkan kue-kue untuk tamunya. Tehnya pun tidak dibubuhi gula.

Setelah memastikan bahwa tamunya duduk dengan nyaman, Bang Ali pun mulai berbicara tentang topik yang ingin disampaikannya. Biasanya ia fokus bicara tentang satu topik bahasan saja. Paling sering ia bicara tentang pengelolaan kota. Ia juga suka bicara tentang seni.

Ia bicara tentang bagaimana dulu ia mendorong dibentuknya Lembaga Bantuan Hukum (LBH). "Padahal, setelah terbentuk justru LBH yang paling sering mendemo Gubernur DKI. Tetapi, justru itu yang saya inginkan. Sebagai Gubernur DKI, kalau tidak ada yang mengoreksi bisa berbahaya," kata Bang Ali sambil tertawa terbahak- bahak.

Ia juga memprakarsai berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Kadin Jaya, Taman Ismail Marzuki, Dewan Kesenian Jakarta, dan Institut Kesenian Jakarta. Pada tahun-tahun terakhir, Bang Ali suka duduk di samping tamunya.

"Saya semakin tuli. Tolong bicara yang keras," katanya menjelaskan. Ia juga sering mengeluhkan gangguan ginjalnya.

"Saya Masih Marinir"

Suatu senja, dalam per- jalanan pulang ke rumah, Bang Ali menelepon ke ponsel saya. "Benar itu yang Saudara Bondan tulis di Tajuk Rencana sore ini?" tanya Bang Ali dengan nada keras. Tajuk Rencana itu mengupas ancamanancaman yang sering dilakukan oleh beberapa kelompok khusus kepada Harian Suara Pembaruan.


Jenazah Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977, Ali Sadikin di rumah duka, Menteng, Jakarta, Rabu (21/5). (SP/Didit Majalolo)

Sebelum saya menjadi Pemred, mereka bahkan sempat datang berbondong-bondong ke kantor untuk menuntut dicabutnya sebuah berita yang menurut mereka telah memojokkan posisi forum itu.

"Kenapa Saudara Bondan tidak menelepon saya? Saudara tahu nomor telepon saya, bukan?" tanya Bang Ali keras.

Saya terdiam, tidak tahu harus berkata apa. "Saudara tahu, saya memang sudah pensiun. Tetapi, saya tetap Marinir. Ada banyak Marinir yang dapat saya gerakkan untuk membantu Saudara. Jangan diam-diam saja. Ini Bang Ali! Sahabatmu! Sahabat Suara Pembaruan."

Empu Peradaban Kota

Beberapa tahun kemudian, Prof Sardono W Kusumo, Rektor Institut Kesenian Jakarta, mengundang saya bergabung dengan beberapa teman lain untuk membantu memikirkan IKJ. Dalam kelompok itu ada Shanti Poesposoetjipto, Oloan Siregar, Astari Rasjid, Adhi Moersid, Wagiono Sunarto, dan lain-lain.

Dalam suatu pertemuan, tiba-tiba terpikir sesuatu di benak saya. "Bang Ali sudah semakin sepuh dan sakit. Kita harus berbuat sesuatu untuk mengakui jasa beliau bagi hidupnya seni di ibukota negara," kata saya.

"Bang Ali adalah tokoh peradaban kota," kata Sardono langsung menyetujui. "Bagaimana kalau IKJ menganugerahi gelar Doctor Honoris Causa untuk Bang Ali?" saya langsung menembak. Rapat pun ingar. Setuju! Let's move quickly. Mumpung Bang Ali masih cukup sehat untuk hadir dalam upacara itu," kata saya.

Saya sadar bahwa sebetulnya saya tidak perlu mengatakan hal itu. Semua yang hadir pada rapat itu sepakat bahwa kami memang harus bergerak ekstra cepat. Pada 25 Januari 2006, IKJ mengukuhkan Bang Ali sebagai Empu Peradaban Kota. Status badan pendidikan IKJ belum mengizinkannya untuk memberikan gelar Doctor Honoris Causa. "Empu kan malah lebih tinggi," kilah Sardono. Pikiran brilian! Kami memang tidak mau terhambat birokrasi.

Bang Ali tampak ringkih pada upacara pagi itu. Tetapi, begitu berdiri di depan corong pengeras suara, tidak ada yang dapat menghentikannya. Ia berbicara sekitar satu jam, de - ngan suara keras dan bahasa lugas tentang pengelolaan Jakarta sebagai ibukota negara. Di sana, in his full element, Bang Ali meneguhkan bahwa usia dan fisiknya yang renta tidak memenjara pikirannya. Dalam soal pengelolaan dan peradaban kota, Bang Ali tetap beringas. Bang Ali for President!" - saya sempat mendengar celetukan keras itu ketika Bang Ali mengakhiri pidatonya.

Sandyakala kemarin, ketika Sardono sibuk menyiapkan pentas "Opera Pangeran Diponegoro" di Pagelaran Kraton Yogyakarta, Bang Ali meninggalkan kita semua. Selamat jalan, Marinir Sejati! Selamat jalan, sang Pemimpin Rakyat!

* Bondan Winarno, mantan Pemred Suara Pembaruan

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 21 Mei 2008

No comments: