Friday, May 16, 2008

Fokus: Publik Pun Menggugat

-- Suwardiman

HINGGA tahun kesepuluh, Orde Reformasi terus menghadapi gugatan soal arah negara yang dinilai terus menjauh dari konsepsi negara kesejahteraan. Substansi dari reformasi masih menjadi wacana yang tak terdefinisikan secara jelas. Mayoritas publik pun menggugat makna perubahan yang berlangsung di Indonesia satu dekade terakhir.

Dalam jajak pendapat yang berlangsung minggu lalu, misalnya, hampir semua responden memaknai reformasi sebagai perubahan. Namun, mayoritas responden menggugat makna perubahan itu sendiri. Demokratisasi, yang ditandai dengan semakin terbukanya pintu kebebasan berpolitik masyarakat, dinilai belum mampu mendekatkan mereka pada kesejahteraan. Sebaliknya, publik merasakan situasi yang lebih payah di tengah sejumlah kebijakan negara yang dianggap mengabaikan kesusahan mereka.

Yono (40), misalnya, responden asal Surabaya ini, memaknai reformasi sebagai pintu kebebasan yang jauh lebih lebar dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Namun, Yono menggugat, kebebasan yang dimiliki seperti kehilangan maknanya di tengah situasi ekonomi yang semakin hari semakin mencekik.

”Kita lebih bebas mengekspresikan diri, tapi lebih tidak berdaya di tengah ekonomi yang lebih sulit,” katanya saat dihubungi melalui telepon.

Responden lain, Reni (69), juga berpendapat senada. Menurutnya, reformasi mestinya bermakna perbaikan secara keseluruhan, perlahan tapi pasti. Akan tetapi, dalam pandangan responden asal Jakarta itu, bangsa ini semakin kacau. ”Sudah lambat, tidak jelas pula arahnya,” kata Reni.

Ia menilai, masyarakat miskin tidak mendapat perhatian dari negara. Setiap lembaga di dalam struktur negara seolah sibuk dalam kepentingan dan tujuan masing-masing. Reni menganggap negara gagal menempatkan kepentingan rakyat sebagai tujuan utama.

Suara Yono dan Reni mewakili suara mayoritas responden yang kecewa atas jalannya reformasi di negeri ini. Sebanyak 75 persen, dari 871 responden yang terjaring dalam jajak pendapat yang diselenggarakan 6-7 Mei 2008, menyatakan kondisi kesejahteraan masyarakat saat ini jauh lebih buruk dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Setiap delapan dari sepuluh responden juga menyatakan bahwa kondisi perekonomian lebih buruk dibandingkan dengan satu dekade lalu.

Pada satu sisi, rakyat saat ini memang memiliki ruang yang lebih lapang dalam hal kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berpolitik. Namun, di sisi lain, masyarakat seolah dipaksa meraih kesejahteraan mereka secara otonom. Negara seolah lepas tangan dari tanggung jawab menjamin kesejahteraan rakyatnya. Padahal, tanggung jawab negara dalam hal ini secara jelas dan tegas dicatat dalam konstitusi.

Undang-Undang Dasar 1945 menekankan tujuan dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Peran negara di antaranya juga secara tegas disebut sebagai pelindung masyarakat yang lemah dan miskin. Pasal 34 UUD 1945 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Disebut juga dalam pasal yang sama bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Pernyataan lain disebutkan dalam Pasal 27 (Ayat 2), setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Intinya, negara seharusnya berperan sebagai alat perumus sekaligus menjamin rakyat menerima hak-hak dasar mereka.

Kesejahteraan

”Negara bingung” barangkali tepat untuk menggambarkan Indonesia saat ini. Arah kebijakan negara seolah tidak jelas mau berpihak ke mana.

Konstitusi secara tegas, melalui sejumlah pasal, mengarah kepada konsep negara kesejahteraan (welfare state). Namun, dalam realitasnya sejumlah kebijakan yang diciptakan oleh pemerintah terjebak dalam komitmen dengan agen-agen liberalisme generasi baru yang mempertuan mekanisme pasar.

Negara, dengan semua entitas yang ada di dalamnya, tak berdaya dalam cengkeraman liberalisme ekstrem yang berkembang di dunia. Mekanisme pasar menjadi penentu segalanya, termasuk nasib rakyat.

Penghapusan subsidi sejumlah bahan pokok, di antaranya subsidi atas tepung terigu, gula, jagung, bungkil kedelai, dan tepung ikan, pun dilakukan pada awal periode reformasi. Selanjutnya secara bertahap dihapus subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Selama lima tahun sejak tahun 2000 harga BBM naik sebanyak sembilan kali. Selama lima tahun itu, harga premium meningkat hampir 300 persen, sedangkan minyak tanah naik 271 persen, dan solar melejit hingga 617 persen.

Kebijakan bantuan langsung tunai (BLT), yang diharapkan menjadi solusi bagi masyarakat miskin yang terkena dampak langsung kenaikan harga BBM, terbukti tidak mampu menjawab masalah. Penerapan kebijakan yang tidak disertai kesiapan struktur dan infrastruktur mengakibatkan dana BLT tidak dapat didistribusikan secara tepat. Banyak kasus aliran dana BLT yang tidak tepat sasaran.

Minggu lalu, pemerintah mengumumkan akan menaikkan (lagi) harga BBM hingga 30 persen. Di luar argumen teoretis soal keharusan menaikkan harga BBM akibat lejitan harga minyak dunia, publik khawatir nasib mereka semakin terimpit akibat kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang sebelumnya pun sudah sulit dijangkau.

Kenaikan harga BBM berkorelasi langsung dengan kenaikan harga barang kebutuhan pokok lain, seperti beras, minyak goreng, tepung, dan kedelai. Tidak hanya harga yang meroket, akses masyarakat untuk memperoleh bahan kebutuhan pokok pun sering kali terhambat dengan kelangkaan yang terjadi di pasar.

Tak heran, separuh (50,5 persen) responden menganggap reformasi telah gagal membawa perubahan positif di bidang perekonomian. Sebanyak 19,7 persen responden lain menyebut reformasi gagal menegakkan supremasi hukum, dan 16,5 persen responden menilai reformasi gagal memperbaiki kondisi sosial dan kesejahteraan.

Nada pesimistis pun menjadi dominan saat publik ditanyakan soal masa depan bangsa. Sebanyak 53,4 persen responden menyatakan tidak yakin kondisi bangsa Indonesia akan membaik dalam waktu lima tahun ke depan. Pesimisme ini bermuara pada pendapat mayoritas (66,8 persen) responden yang menilai tidak jelasnya arah pembangunan pascareformasi.

Reformasi kelembagaan

Publik pun menilai makna demokrasi sebagai jargon reformasi. Demokrasi seolah hanya berjalan di tataran normatif. Perubahan konstitusi sebanyak empat kali, lebih banyak berkutat pada soal penguatan kelembagaan normatif. Padahal, seperti yang diungkapkan Samuel Huntington (Political Order in Changing Society, 1968), penguatan kelembagaan dalam konteks demokratisasi tidak bermakna apa-apa jika tidak dibarengi bekerjanya fungsi ideal dari lembaga-lembaga tersebut.

Demokrasi, yang secara teoretis bertujuan menyejahterakan masyarakat, belum mencapai substansinya ketika elite-elite yang menjadi motor penggerak negara ini pun lebih banyak berkutat pada pertarungan kepentingan kelompok. Pertarungan perebutan kekuasaan yang melebar hingga pada tingkat daerah. Desentralisasi melalui otonomi daerah, misalnya, disinyalir menjadi ladang pertarungan kelompok kekuatan ekonomi dan politik di daerah.

Sejumlah masalah yang terjadi menggiring revisi Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

Dampaknya terasa bagi daerah. Kapital dari pusat mengalir semakin deras ke daerah. Dalam kurun lima tahun, dana yang mengalir lebih dari dua kali lipatnya. Jika pada tahun 2001 dana perimbangan sebagai dana yang diguyurkan pemerintah pusat ke daerah mencapai Rp 81 triliun, tahun 2006 naik menjadi Rp 181 triliun.

Pemekaran dan pemilihan kepala daerah langsung menjadi komoditas politik baru bagi elite-elite lokal. Sejumlah elite nasional pun tak sungkan turun gunung bertarung di tingkat daerah.

Konflik pascapemekaran antara daerah induk dan daerah hasil pemekaran kerap terjadi. Misalnya, perebutan aset dan pendapatan daerah antara Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Konflik sama juga terjadi antara Kota Libuk Linggau dan Kabupaten Musi Rawas di Sumatera Selatan. Musi Rawas menuntut Kota Lubuk Linggau menukar guling aset-aset pemerintah kabupaten yang berada di Kota Lubuk Linggau.

Pun, ketika pemilihan kepala daerah langsung mulai diselenggarakan. Tak jarang konflik terjadi pascapenetapan hasil penghitungan suara. Bahkan, pilkada kerap dibarengi kerusuhan yang dipicu kekecewaan massa dari kelompok yang kalah. Rusuh di Kota Binjai, Sumatera Utara, dan Tuban, Jawa Timur, diwarnai aksi bentrokan antarmassa di sejumlah TPS dan perusakan kantor KPU. Dua daerah itu hanya sedikit contoh dari banyaknya problem pemilihan kepala daerah langsung. Penolakan DPRD untuk melantik calon terpilih, hingga gugatan pengadilan, kerap terjadi.

Begitulah. Selama satu dekade reformasi, negara ini masih berkutat membentuk dirinya sendiri. Dan, masyarakat dipaksa bersabar, dengan argumen usang para elite bahwa ini konsekuensi dari proses transisi. Mau sampai kapan? (Suwardiman Litbang Kompas)

Sumber: Kompas, Jumat, 16 Mei 2008

No comments: