Tuesday, May 27, 2008

Arung Sejarah Bahari: Pusat Rempah yang Kian Lekang oleh Zaman

-- Nawa Tunggal

Sejarah kerap mengungkung pemahaman hanya pada kenangan masa lalu tentang kejayaan atau tragedi atas peperangan, disertai tantangan hafalan merunut angka dari tahun ke tahun. Bagi Vindro Salamor (21), mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, tidak demikian halnya.

Sebanyak 94 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia mengikuti Arung Sejarah Bahari III, akhir April 2008, ke wilayah provinsi muda Maluku Utara. Para mahasiswa terlihat di atas kapal Halsel Expres dari Pulau Bacan menuju Pulau Tidore. (KOMPAS/NAWA TUNGGAL)

Saat mengikuti kegiatan Arung Sejarah Bahari (Ajari) III atas prakarsa sinergi program antara Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan Departemen Pendidikan Nasional, gagasan kesejarahan Vindro ingin menembus soal integrasi Maluku baru ke depan.

Ajari untuk ketiga kalinya itu digelar dengan tema ”Membangun Kembali Peradaban Bahari dengan Menjelajahi Pusat Perdagangan Rempah-rempah Nusantara” di Ternate, Bacan, Tidore, dan Jailolo yang masuk wilayah provinsi muda Maluku Utara.

Sebanyak 94 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia terpilih melalui mekanisme seleksi di tingkat perguruan tinggi masing-masing.

Salah satu materi seleksi berupa gagasan mahasiswa mengenai kesejarahan Maluku Utara yang dituangkan ke dalam suatu makalah. Seperti Vindro, menuangkan gagasannya ke dalam makalah berjudul Sasi sebagai Bentuk Konservasi Lokal dan Bentuk Integrasi Bangsa Menuju Maluku Baru.

Vindro kebetulan pula memenangi penilaian para peserta dan dewan juri sebagai Raja Bahari Ajari III. Ia berpasangan dengan mahasiswi Regina Rosa Beryllinda sebagai Ratu Bahari Ajari III dari Universitas Indonesia. Penilaian dewan juri salah satunya mempertimbangkan intelektualitas, baik dalam wawancara maupun gagasan yang ditulis ke dalam makalah.

Kearifan lokal

Gagasan Vindro berangkat dari tradisi atau kearifan lokal Maluku yang kini mulai surut, yaitu ”sasi”. Sasi itu sebuah pranata hukum sosial berisi larangan. Ada sasi darat, ada pula sasi laut. Larangan diwujudkan ke dalam tanda seperti anyaman daun kelapa, papan kayu, dan sebagainya.

Suatu misal, pemimpin adat meletakkan tanda larangan di suatu kawasan pantai yang diberi tanda-tanda batasnya (waktu tutup sasi). Sebelum sasi dinyatakan dibuka, siapa pun dilarang memetik ikan di wilayah itu, misalnya untuk pertimbangan supaya tidak mengganggu waktu berpijah induk-induk ikan.

Begitu pula, di darat ada waktu tutup sasi sebelum masa panen, dilarang memetik komoditas yang disasi. Menurut Vindro, wawasan mengenai ikan berpijah atau masa panen komoditas di darat merupakan kekayaan tersendiri.

Itu sebagai wawasan ekologikal yang sekarang jarang diperhatikan lagi. Bisa saja setiap orang memetik ikan tanpa memedulikan kelestariannya.

Vindro memetik makna sasi dari sejarah Maluku itu untuk meraih hikmah kedaulatan masyarakat lokal dan konservasi kekayaan alam lokal menuju Maluku baru.

Gagal diskusi

Ajari III diselenggarakan pada 20-25 April 2008. Dari hari ke hari, penjelajahan tempat yang dinamakan pusat rempah-rempah Nusantara cukup membingungkan karena yang dikunjungi berupa peninggalan jejak bangsa Spanyol, Portugis, dan Belanda di Ternate, Tidore, dan Bacan.

Juga jejak-jejak kerajaan berupa istana maupun makam raja-raja Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Tak satu pun kondisi rempah-rempah di pusatnya itu bisa tersaji secara nyata. Misalnya, rencana mengunjungi Cengkeh Afo, yaitu istilah untuk pohon cengkeh yang diyakini tertua dan terletak di lereng Gunung Gamalama, Ternate, dibatalkan.

Berdasarkan data yang ada, Cengkeh Afo kini diperkirakan berumur 398 tahun. Ketinggian pohonnya mencapai 36,6 meter dengan garis tengah batang terbesar mencapai 4,26 meter.

Alhasil, penjelajahan Ajari III tak lain mengakrabi benteng-benteng konflik Spanyol, Portugis, dan Belanda di Ternate, Tidore, atau Bacan. Cerita konflik itu mudah ditemui dari berbagai buku sejarah.

Sebelumnya, tim panitia yang diketuai Triana Wulandari dari Direktorat Geografi Sejarah Departemen kebudayaan dan Pariwisata sudah menyusun cara strategis untuk memperkaya pemahaman peserta mengenai keberadaan pusat rempah-rempah Nusantara tersebut. Caranya, mengantarkan peserta untuk diskusi dengan materi 10 makalah terpilih yang dibuat 10 peserta Ajari III.

Rencananya, diskusi digelar di sela-sela perjalanan, seperti ketika berada di atas kapal dari Ternate menuju Bacan yang memakan waktu enam jam. Tetapi, diskusi itu gagal. Sebanyak 15 peserta dari Ternate dan Tidore memprotes mekanisme pemilihan 10 makalah itu.

Sedikit kekacauan terjadi pada hari kedua di atas kapal Halsel Expres itu dalam perjalanan dari Ternate menuju Bacan. Sebanyak 15 mahasiswa Ternate-Tidore walk out alias keluar dari forum diskusi di atas kapal milik Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan itu.

Para mahasiswa Ternate dan Tidore itu sebelumnya menuntut 10 makalah terpilih dibatalkan. Begitu pula, nominasi untuk pemakalah terbaik turut dibatalkan. Para peserta sempat bersitegang.

Akhirnya, ketegangan luruh dan diselesaikan peserta sendiri dengan kesepakatan tidak ada lagi diskusi dengan materi 10 makalah terpilih.

Revitalisasi Ternate-Tidore

Sisi menarik lain dari Ajari III adalah diselenggarakannya beberapa diskusi yang mendorong revitalisasi Ternate-Tidore dari beberapa narasumber yang ahli di bidangnya.

Seperti arkeolog Bambang Budi Utomo dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menyebutkan, sejarah telah mencatat Maluku sebagai satu-satunya asal cengkeh di dunia. Namun, perdagangan cengkeh sudah menyebar ke berbagai belahan bumi, termasuk China dan Eropa, ribuan tahun silam.

Sumber tertulis Romawi pada tahun 75 Masehi dari Plinius Major, menurut Bambang, menyebutkan adanya garyophyllon (nama tumbuhan yang hanya dapat tumbuh di hutan sakti India). Namun, ilmuwan Rouffaer kemudian menyatakan dugaannya bahwa garyophyllon itu cengkeh. Asalnya, dari Maluku.

Sementara itu, sumber Dinasti Han di Tiongkok pada abad III sebelum Masehi menyebutkan, ada kewajiban bagi para petinggi kekaisaran Tiongkok untuk mengulum cengkeh ketika menghadap kaisar. Cengkeh memang dikenal bermanfaat sebagai pengharum mulut.

Dengan kesuburan tanahnya, Ternate dan Tidore di Maluku Utara sempat mendunia dengan hasil utama rempah-rempah, seperti cengkeh, pala, kemiri, dan lada. Tetapi, kenangan itu akan lekang oleh zaman dengan ditandai berkecamuknya kehidupan sosial-politik wilayah itu sekarang, seperti dari adanya konflik berlarut-larut pasca-Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Maluku Utara.

Sumber: Kompas, Selasa, 27 Mei 2008

No comments: