Friday, May 16, 2008

Fokus: Merawat Harapan Demokrasi

-- M Hernowo


KE mana pun pergi, Ruyati (59) selalu membawa bungkusan plastik berisi kartu tanda penduduk dan catatan identitas Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, atas nama Eten Karyana, anak sulungnya yang meninggal karena terbakar di Klender Plaza, Jakarta Timur, pada 14 Mei 1998.

Bungkusan ini menjadi sumber kekuatan saya untuk terus berjuang mencari keadilan bagi Eten,” kata warga Kampung Jembatan, Kelurahan Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, ini pada Rabu (14/5).

Penyelesaian sejumlah kasus hak asasi manusia (HAM) masa lalu, seperti kerusuhan Mei 1998 yang menewaskan Eten, memang menjadi pekerjaan rumah yang belum juga terselesaikan hingga 10 tahun usia reformasi di Indonesia. Pemerintah agaknya belum juga menemukan cara menyelesaikan berbagai kasus masa lalu tersebut. Pemerintah masih sulit memilih alternatif penyelesaian yang harus diambil, apakah mengajukan ke pengadilan, melupakan saja kasus itu, atau memaafkan para pelakunya.

Membawa mereka yang diduga melanggar HAM ke pengadilan disinyalir dapat memunculkan perlawanan. Khususnya dari militer, yang akhirnya bisa menimbulkan gangguan stabilitas. Namun, meminta melupakan berbagai peristiwa itu juga akan menimbulkan berbagai tuntutan dari komunitas korban, yang akhirnya juga mengganggu kehidupan politik. Adapun memberi maaf tanpa adanya pengungkapan kebenaran bertentangan dengan nilai keadilan bagi korban. Pemaafan seperti itu juga tidak memberikan pembelajaran bagi perjalanan bangsa.

Terlepas dari tiga alternatif di atas, menurut Samuel P Huntington, penulis buku The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, ada hal lain yang perlu dilakukan oleh negara yang sedang berada dalam transisi demokrasi seperti Indonesia, yaitu menjaga stabilitas pemerintahan demokrasi. Stabilitas perlu dijaga karena pemerintahan demokratis yang gagal mengendalikan keadaan hingga menyebabkan kekacauan, atau gagal memberikan kesejahteraan, dapat menimbulkan kerinduan masyarakat pada masa lalu, yang dalam konteks Indonesia berarti otoritarianisme Orde Baru.

Sinyalemen Huntington ini perlu dicermati, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang makin sulit dan banyaknya orang miskin. Bahkan, Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga 30 persen yang sekarang tengah diwacanakan berpotensi membuat orang miskin bertambah 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah orang miskin se-Indonesia 16,85 persen dari total populasi atau sekitar 36,8 juta jiwa (Kompas, 8/5).

Ironisnya, di tengah warga miskin yang jumlahnya diduga bertambah, biaya kebutuhan dasar lain seperti pendidikan justru makin mahal. Untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) saja bisa Rp 100 juta. Artinya, untuk memasukkan seseorang ke PTN dibutuhkan 1.000 kupon bantuan langsung tunai (BLT), yang setiap lembar nilainya Rp 100.000.

Penjagaan stabilitas pemerintahan demokrasi makin penting karena belakangan ini juga sudah ada sejumlah kegelisahan yang berkaitan (meski mungkin tidak langsung) dengan demokratisasi. Misalnya keluhan bahwa demokrasi di Indonesia masih prosedural. Bahkan, Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla saat menutup rapimnas partainya pada 25 November 2007 berkata, ”Demokrasi hanya cara dan bukan tujuan.”

Demokrasi tetap terbaik

Dalam survei nasional tahun 2007-2008 tentang Satu Dekade Reformasi, Pusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Demos mencatat, pertumbuhan demokrasi di Indonesia selama 10 tahun terakhir amat baik. Demokrasi telah menjadi kerangka kerja politik dan ada perbaikan dalam manajemen pemerintahan seperti penegakan hukum, kepatuhan para pejabat kepada hukum, dan antikorupsi.

Namun, dibandingkan dengan hasil survei yang sama pada 2003/2004, menurut Demos, ada sejumlah penurunan, terutama dalam hal representasi. ”Semakin banyak rakyat yang bertanya tentang efektivitas DPR dan partai politik dalam memperjuangkan kepentingan mereka,” kata Nur Iman Subono, Kepala Divisi Penelitian Demos.

Penurunan representasi, menurut Iman, terjadi karena sejumlah elite politik telah membajak kekuasaan yang mereka peroleh untuk kepentingan sendiri. Selain itu, prosedur demokrasi juga telah dipakai oleh mereka yang sering disebut antidemokrasi atau kekuatan lama untuk menyelamatkan diri.

Lemahnya representasi ini telah menimbulkan kekecewaan pada rakyat. ”Namun, elite politik melihat kekecewaan rakyat ini dari sudut lain, yaitu akibat demokratisasi yang tak efektif sehingga mengganggu pertumbuhan ekonomi. Padahal, yang sebenarnya terjadi, elite politik yang korupsi dan memikirkan dirinya sendiri yang membuat ekonomi buruk sehingga rakyat makin menderita dan frustrasi,” ucap Iman.

Dalam konteks ini, perbaikan representasi menjadi mutlak dibutuhkan untuk menjaga stabilitas pemerintahan demokrasi di Indonesia. Cara-cara pembenahan seperti mengontrol ketat para wakil rakyat atau membangun sistem kepartaian yang lebih sehat perlu lebih diintensifkan.

Di tengah representasi yang kurang maksimal itu, Tamrin Amal Tomagola—sosiolog dari Universitas Indonesia—melihat bahwa desentralisasi merupakan bagian dari prestasi kita di bidang politik selama reformasi. Prestasi lainnya adalah kebebasan pers dan lepasnya TNI dari kehidupan sosial politik.

Selain menjaga stabilisasi pemerintahan, desentralisasi juga dinilai telah memunculkan pemimpin baru dan kontrol yang kuat terhadap pemerintahan di daerah. ”Memang ada sejumlah kasus dalam pilkada atau desentralisasi di sejumlah daerah, tetapi yang berjalan baik jumlahnya lebih banyak,” tuturnya.

Penilaian serupa juga datang dari Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan. ”Desentralisasi telah memperpendek rentang antara input dan output dalam proses demokrasi. Mereka yang memenangi pilkada akan langsung diminta memenuhi janjinya. Ini baik bagi demokrasi,” katanya.

Bahkan, desentralisasi membuat Anies optimistis melihat demokratisasi di Indonesia. ”Masa depan Indonesia ada di daerah. Melihat kondisi sebagian besar daerah, kita tidak perlu pesimis dengan demokratisasi. Ada banyak harapan yang harus dilihat dalam sikap optimis,” ucapnya.

Semakin amburadul

Bagaimana pandangan pelaku dan tokoh (mahasiswa) di balik kelahiran bayi reformasi itu sendiri? Bagi Syafiq Alielha, bisa bicara dan runtuhnya otoritarianisme menjadi satu-satunya hasil reformasi yang bisa dibanggakan, karena perkembangan di bidang lain justru lebih parah dibandingkan dengan sebelum reformasi.

”Memang reformasi membuat otoritarianisme runtuh. Itu menjadi satu-satunya hal yang bisa kita banggakan. Tetapi bidang lain lebih parah,” kata Syafiq, pelaku dan tokoh mahasiswa 1998.

Pendapat itu diperkuat Lodi Paat, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta. ”Kita memang bisa bebas bicara sekarang ini. Itu beda dengan masa lalu, tetapi kan kita perlu lebih dari sekadar bisa omong,” katanya.

Syafiq maupun Lodi sependapat, perkembangan di sektor lain justru makin amburadul.

”Yang kami khawatirkan, mereka kemudian cuma omong saja. Mereka bisa bersuara, tetapi tidak bermakna,” kata Lodi.

Hal itu bisa pula diartikan sebagai lunturnya nilai kebersamaan dan keberagaman yang menjadi landasan utama Indonesia. Makna reformasi menjadi kian tak terasa ketika perjuangan berkembang ke arah mengutamakan kepentingan sendiri atau kelompok. ”Pendidikan sangat mahal,” sambung Syafiq.

Lodi menambahkan, amburadulnya bidang pendidikan tidak hanya di sektor biaya, melainkan hampir di semua sektor. Ia memberi contoh kasus yang sedang menimpa beberapa sekolah percontohan. ”Ketika ada yang melaporkan bahwa di sekolah itu terjadi korupsi, si pelapor malah dijadikan tersangka. Hal seperti itu sekarang ini bisa terjadi,” ujar Lodi.

Karena itu, mereka menekankan perlunya merenungkan kembali makna reformasi yang telah diupayakan dengan mengorbankan darah dan nyawa. Langkah itu harus diimbangi dengan semakin melibatkan komunitas terdekat, terutama orang tua dan guru. Khususnya guru, karena guru tidak hanya bertugas mengajar, tetapi sekaligus mendidik. Di sana, melalui komunitas-komunitas terdekat yang ada, harapan dan optimisme masih bisa disemai di tengah karut-marut reformasi hari ini.

Dalam bentuk yang lain, Ruyati telah menunjukkan cara membina harapan, yaitu dengan membawa bungkus plastik berisi identitas anaknya, (almarhum) Eten Karyana. (RIE)

Sumber: Kompas, Jumat, 16 Mei 2008

No comments: