Saturday, May 10, 2008

Mengenang Chairil, Sebuah Perkenalan

-- Nelson Alwi*

AKU berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,/ Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?/ Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:/ Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

Demikian sajak pendek Malam di Pegunungan karya Chairil Anwar. Pertama membaca membersit tanya: beginikah sajak? Sementara salah seorang kakak -yang kemudian saya yakini lumayan lugas mengapresiasi sajak tapi tak sempat jadi penyair- yang kebetulan memperhatikan bertanya, "Apa yang kamu pikirkan, he?"

"Ini," sahut saya. "Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan ini."

"Memang kenapa?"

"Yeah, gimana, ya," kata saya sambil menggaruk kepala yang sebetulnya tidak gatal," lucu!" sembur saya akhirnya.

"Coba bayangkan, bagaimana jika sekiranya kamu yang berkejaran dengan bayangan," kata kakak pula.

"Itu perbuatan yang sia-sia," gerutu saya. "Kita akan penat sendiri. Bayangan itu toh bersatu dengan kita, paling tidak pada telapak kaki."

"Nah itu dia," ujar kakak. "Lewat sajak penyair mempersonofikasikan dirinya sebagai anak kecil yang asyik sendiri dengan pekerjaan yang bagi kebanyakan orang dewasa tak ada faedahnya. Padahal di balik semua itu, sebenarnya penyair bermaksud menyorot sekaligus menertawakan manusia dan kehidupan atas dasar ketakberdayaannya."

Saya terperangah. Bingung! Banyak yang terasa namun tidak tahu harus ngomong atau mempertanyakan apa!?

Dan itu peristiwa 41 tahun yang lalu, tatkala saya masih di bangku Kelas V Sekolah Dasar.

Ya, waktu memang terus menggelinding tanpa kompromi. Kini tahun 2008. Dan Chairil ternyata seorang tokoh yang begitu memasyarakat. Ia tidak hanya dikenal di lingkungan sastrawan dan seniman tok, melainkan juga di kalangan pelajar, mahasiswa, pegawai, politikus, prajurit dan lain sebagainya. Bahkan, lepas dari apa yang menjadi topik pembicaraan mengenai Chairil, di terminal angkot atau di tempat mangkalnya pemuda putus sekolah dan kaum preman(isme), sering mengumandang nama besar penyair itu. Tanpa canggung-canggung mereka turut serta melewakan Chairil sembari -kadang-kadang- dengan suara lantang mendeklamasikan bait atau larik Aku-nya yang masyhur lagi menakjubkan. Konon, peristiwa semacam itu berlangsung sejak dulu (hingga sekarang) dan, mungkin (!?) buat masa datang.

Chairil, putra pasangan Toelus (asal Taeh, Payakumbuh) dan Saleha (asal Koto Gadang, Bukittinggi), lahir di Medan pada 26 Juli 1922. Masa kanak-kanaknya yang getir sangat mempengaruhi perkembangan jiwanya. Banyak orang menganggap ia berperilaku urakan dan susah dimengerti. Tapi Asrul Sani, yang kerap "menemani" Chairil mencuri buku, pernah mengklaim, Chairil tidak selalu bertindak seleboran. Di samping segala kenaifannya, ia punya kepribadian serta komitmen yang kuat untuk mencapai kemajuan dan kemerdekaan. Tidak jarang ia tampil begitu parlente: dengan setelan rapi, berdasi dan pakai sepatu mengkilap, ia bertamu atau bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan maupun pemimpin-pemimpin bangsa dalam diskusi atau resepsi.

Pendidikan Chairil hanya sampai kelas II Mulo (setara SMP). Tapi selama bersekolah ia telah berkenalan dengan kesusastraan Barat. Ia tertarik membaca karya-karya Slauerhoff, Ter Braak, Du Perron, Marsman dan, kemudian Nietzsche, Rilke serta bapak estetika ekspresionisme Benedetto Croce. Alkisah, Chairil fasih beberapa bahasa asing seperti bahasa Belanda, Inggris dan Jerman.

Berhenti dari Mulo Chairil hijrah ke Jakarta. Dan pada Juli 1943 ia menggebrak kota itu dengan sajak-sajak berikut pandangannya tentang seni-budaya. Ia ingin mengerjakan sesuatu yang besar, dan itu ia pertaruhkan sepenuhnya buat kesusastraan.

Sekali berarti/ Sesudah itu mati, tulis Chairil dalam sajak berjudul Diponegoro.

Sedang lewat sajak Rumahku ia pun bertegas-tegas, Rumahku dari unggun-timbun sajak/ Kaca jernih dari luar segala nampak// Kulari dari gedong lebar halaman/ Aku tersesat tak dapat jalan// Kemah kudirikan ketika senjakala/ Di pagi terbang entah kemana// Rumahku dari unggun-timbun sajak/ Di sini aku berbini dan beranak// Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang/ Aku tidak lagi meraih petang/ Biar berleleran kata manis madu/ Jika menagih yang satu.

Dan sebenarnyalah apa yang ia canangkan. Kehadirannya telah membawa perubahan spektakuler di kancah sastra Indonesia. Dengan alirannya yang ekspresionistis dan sifatnya yang individualistis-revolusioner, ia berhasil mendobrak jagat perpuisian sebelumnya.

Kini Chairil telah tiada. Ia meninggal pada 28 April 1949, dan berkubur di TPU Karet. Adapun penyebab kematiannya ialah penyakit Typhus. Namun selain itu, konon, sudah cukup lama ia mengidap sakit paru-paru -yang menaun.

Chairil mengamanatkan 70 buah sajak asli, 4 saduran dan 10 terjemahan ditambah 6 prosa asli serta 4 terjemahan. Dan sebagian besar dikumpulkan dalam buku "Koleksi Sajak 1942-1949" Aku Ini Binatang Jalang yang bersumber dari Deru Campur Debu, Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus, antologi (bersama Rivai Apin dan Asrul Sani) Tiga Menguak Takdir, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 serta Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang.

Memang tidak tergolong banyak karya Chairil ditilik dari kurun waktu kepenulisannya. Tetapi aspek-aspek yang terkandung dalam sajak-sajak maupun prosa-prosanya diakui sarat dengan hakikat hidup dan kehidupan: rasa cinta yang menukik, jiwa kepahlawanan yang bergelora, pikiran-pikiran serta sikap budaya yang -kiranya- relevan sampai saat ini. Karenanya, tak heran kalau kebanyakan buah pena Chairil diterjemahkan orang ke bahasa asing, seperti ke bahasa Inggris dan Jerman.

"Karenanya, tak heran pula kalau saban tahun para seniman sengaja berkumpul buat mengenangkan Chairil," ujar Mochtar Lubis -ketika saya mendampingi Pak dan Bu Mochtar- dalam perjalanan Padang-Bukittinggi beberapa tahun sebelum beliau wafat. Dan di sela tawa serta senyum khas pengarang roman seangkatan Chairil Anwar itu saya pun menimpali, "Acara mengenang, jika tidak mempergunjingkan sudah barang tentu membacakan terutama sajak-sajak Chairil, lazimnya terselenggara pada tanggal kematiannya."

Singkat cerita, banyak sudah orang ngomong tentang Chairil. Namun satu hal yang tak bisa dibantah, HB Jassin adalah figur yang paling sering membicarakan penyair legendaris itu; tidak cuma mengenai karya-karyanya tetapi juga menyangkut sepak-terjang maupun tingkah-laku si penyandang gelar "Binatang Jalang" itu.

Akan halnya saya, menjelang 28 April tahun ini, diam-diam membebaskan ingatan saya mengembara ke berbagai "pertemuan" dengan Chairil. Dan itu sudah barang tentu berbaur dan berproses dalam rentang waktu yang menghasilkan "kekinian" saya. Kekinian yang melahirkan pengertian-pengertian tentang (ke)hidup(an) dan (ke)manusia(an) yang dilengkapi Yang Mahakuasa seperangkat unsur lahir-batin berikut suasana yang menggerakkan saya untuk ikut nimbrung memperbincangkan Chairil serta beberapa sajaknya.

Dan, setelah kemerdekaan berpendapat menyangkut karya seni dianggap sah dan dijamin halal, maka saya ingin menyatakan bahwa Malam di Pegunungan -begitu pun sajak-sajak lainnya- lebih afdal bila dinikmati dan dirasakan ketimbang dijabarkan atau dikonkretkan. Tetapi, apakah yang dinikmati dan dirasakan sewaktu serta sesudah membaca sajak (Chairil) bisa memberikan "sesuatu" kepada saya? Inilah masalahnya! Maka, agaknya, di sinilah saya harus bermain. ***

* Nelson Alwi, pencinta sastra budaya, tinggal di Padang.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 10 Mei 2008

No comments: