Friday, May 16, 2008

Fokus: Ke Mana Arah Kita Melangkah?

-- Josie Susilo Hardianto

BUS jurusan Semarang-Solo melaju dalam gelap. Angin yang berembus dari arah Gunung Ungaran menyelusup di sela-sela jendela bus yang terbuka, dingin menusuk.

Lelah wajah-wajah pekerja yang pulang kemalaman berkelebat, seiring lalu sorot lampu jalan yang dilewati. Dua pengamen jalanan menyanyikan lagu-lagu reformasi mengiringi puisi yang dilantunkan teman mereka. ”Mari rebut kekuasaan, satukan gumam. Revolusi!” serunya. Lalu, mereka—sambil terus bernyanyi—mengangsurkan kantong plastik bekas bungkus permen kepada penumpang.

Di depan Pasar Karangjati mereka turun. Kini giliran seorang anak kecil, sekitar tujuh tahun umurnya. Kepada setiap penumpang ia membagikan amplop putih dengan tulisan. ”Mohon Bantuan. Untuk Makan dan Sisanya Ditabung, Terima kasih…”.

Lalu, seperti pengamen sebelumnya, ia pun bernyanyi. Apa saja. Sambung-menyambung dalam gumamnya yang tidak begitu jelas. Belum selesai lagu ”Wonder Women” punya Wulan Jameela, ia lalu menyanyi tembang Jawa, ”Suwe Ora Jamu”.

Belasan tahun silam, gugatan para pengamen itu bisa jadi malapetaka bagi mereka. Tekanan pemerintah begitu kuat.

Saat ini, setelah sepuluh tahun rezim otoriter di Indonesia runtuh, digantikan oleh reformasi yang bercita-cita membangun Indonesia sebagai negara yang demokratis, orang seolah bisa berkata apa saja. Dalam satu survei yang digelar oleh Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Demos, awal bulan ini, disebutkan bahwa demokrasi yang saat ini berjalan di Indonesia masih goyah. ”Politik masih didominasi oleh kaum elite,” kata Syafa’atun Kariadi, Koordinator Tim Peneliti Demos.

Hanya saja, di sisi lain, survei itu juga menemukan adanya indikasi perbaikan. Antara lain dalam berbagai bentuk peraturan dan regulasi yang diperlukan untuk mendorong demokrasi, khususnya yang berkaitan dengan perangkat operasional pemerintahan. Demos menyebutkan, independensi pemerintah dari kelompok kepentingan yang kuat dan adanya kapasitas untuk menghapuskan korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan, kepatuhan pejabat pemerintah dan pejabat publik terhadap hukum memperlihatkan perkembangan positif.

”Namun, catatannya, itu berangkat dari kondisi yang begitu buruk,” ungkap Syafa’atun dalam diskusi terbuka, beberapa waktu lalu.

Yang juga menarik adalah setelah rezim otoritarian runtuh pada 1998, bangunan komunitas nasional yang sentralistik Orde Baru tidak lantas hancur menjadi separatisme atau konflik yang meluas. Perbaikan yang terjadi itu ternyata tidak begitu saja diikuti oleh membaiknya wajah demokrasi di Indonesia.

Dalam survei mereka, Demos menemukan aspek-aspek kebebasan fundamental justru merosot. Bagi Demos, kondisi itu malah mengkhawatirkan. Dari survei itu ditemukan, misalnya, indeks kebebasan beragama dan berkeyakinan, menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan pada survei tahun 2007 menunjuk angka 66 persen. Padahal sebelumnya dalam survei tahun 2004 untuk perangkat itu diperoleh angka indeks 74 persen.

Hal serupa juga terjadi pada perangkat demokrasi lainnya, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, dan berorganisasi yang menunjukkan 74 persen pada survei tahun 2004 dan kemudian turun menjadi 60 persen pada survei tahun 2007.

Radikalisasi ekonomi

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat I Gusti Agung Putri Astrid Kartika mengatakan, ketidakkokohan demokrasi di Indonesia antara lain juga disebabkan oleh belum adanya paradigma yang sama tentang demokrasi. Lebih parah lagi, tuturnya, proses demokratisasi di Indonesia disabotase oleh aneka kebijakan ekonomi.

Ada radikalisasi reformasi ekonomi yang, menurut Agung Putri, justru membuat Indonesia tergopoh-gopoh. ”Ada privatisasi badan-badan yang dulu dikelola pemerintah seperti Bulog,” kata Agung Putri.

Proses pelepasan pada arus mekanisme pasar seperti itu pun ternyata menyeruak masuk dan terjadi pada lapangan politik. Bahkan kebijakan-kebijakan politik saat ini, dalam pandangan Agung Putri, telah mengabdi pada kebijakan ekonomi dan tunduk pada mekanisme pasar.

Lapangan politik menjadi lapangan jual-beli kekuasaan. Jika dalam proses pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung ditemukan indikasi politik uang, Agung Putri melihatnya tidak sekadar sebagai sebuah kecurangan politik semata. Kenyataan tersebut justru menampakkan bahwa pemilihan kepada daerah adalah fenomena ekonomi.

Kondisi itu menjadikan arena politik tidak lagi sebagai forum aspirasi, tetapi forum jual-beli kekuasaan. Tidak mengherankan jika kemudian, setelah pilkada digelar dan pemimpin daerah diperoleh, ternyata pembangunan yang dijanjikan tidak kunjung datang.

Menyikapi hal itu, bukan radikalisasi reformasi ekonomi yang dijalankan, melainkan reformasi hukum dan pemerintahan yang menjadi dasar bagi pelayanan publiklah yang seharusnya dikembangkan.

Kesejahteraan

Sayangnya, saat ini dunia politik di Indonesia tampaknya tidak memainkan posisi sejatinya sebagai sebuah sarana penyejahteraan rakyat. Data statistik dan laporan yang dimiliki pemerintah sering tidak berbuah pada perubahan lebih baik. Hingga saat ini masih kerap diberitakan tentang kesulitan penyelenggaraan proses pendidikan di sejumlah pelosok Nusantara, anak kesulitan memperoleh buku dan bimbingan guru, tetapi di sisi lain ada seragamisasi standar ujian.

Belum lagi terkait soal kebijakan impor beras dan rencana menaikkan harga bahan bakar minyak di tengah-tengah kondisi ekonomi warga yang kian sulit. Semua itu seolah menampakkan ketidakberdayaan politik terhadap mekanisme pasar.

Salah satu pendiri Boedi Oetomo, Dr Soetomo, dalam buku Kenang-Kenangan Dr Soetomo menuliskan, ”Kalau kita akan muliakan bangsa dan nusa, baiklah kita menyempurnakan terlebih dulu mereka yang berjuta-juta di desa-desa itu. Selama mereka belum hidup sempurna, belumlah kita berhak menamakan diri kita sebagai anak Indonesia.”

Kepada merekalah, tutur Dr Soetomo, para cerdik cendekia dan elite kekuasaan sebenarnya berutang. ”Tahukah Anda, kalau Anda kelak mendapat gelar dokter, sarjana hukum dan lainnya, dan kemudian hidup bersenang-senang, itu karena merekalah yang mengadakan,” kata Soetomo (Kenang-Kenangan Dokter Soetomo, Sinar Harapan, Jakarta, 1984).

Berkaca dari gagasan Dr Soetomo, setidaknya pemerintah dapat membangun kembali orientasi kebijakan politik dalam negeri yang berbasis kerakyatan. Apalagi pada titik itu pulalah alasan adanya sebuah negara.

Sumber: Kompas, Jumat, 16 Mei 2008

No comments: