Saturday, May 03, 2008

Opini: Masalah Utama Bahasa Indonesia

-- P Ari Subagyo*

”Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Melajoe”.

RUMUSAN itulah yang semula diajukan Muhammad Yamin sebagai ikrar ketiga Sumpah Pemuda. Yamin juga menyodorkan alternatif lain sebagai bahasa persatuan, yakni bahasa Jawa karena penuturnya terbanyak.

Namun, Sanusi Pane tidak sependapat. Menurut dia, bahasa persatuan bagi nusa dan bangsa Indonesia haruslah bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu atau bahasa Jawa.

Peristiwa itu terjadi pada hari terakhir Kerapatan Besar (Kongres) Pemuda I, 30 April-2 Mei 1926, di Batavia. Nama ”bahasa Indonesia” untuk pertama kali disebut dan diperdebatkan. Jadi, pada 2 Mei 1926 itulah bahasa Indonesia lahir.

Tanggal 2 Mei telanjur identik dengan Hari Pendidikan Nasional. Momen untuk berefleksi sekaligus menghargai jasa Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa dan Menteri Pendidikan pertama negeri ini, yang lahir 2 Mei 1889.

Jika keberadaan bahasa Indonesia dihitung sejak 2 Mei 1926, berarti usianya telah 82 tahun. Sudahkah bahasa Indonesia menjadi pemersatu bangsa? Apakah sebenarnya masalah utama bahasa Indonesia?

Komunitas yang terbayang

Ungkapan klasik ”bahasa menunjukkan bangsa” mengisyaratkan pentingnya bahasa sebagai salah satu identitas kebangsaan. Ditempuh berbagai upaya menyinonimkan bahasa dengan bangsa. Deutsch dalam artikel The Trend of European Nationalism: The Language Aspect (1968) mencatat perkembangan full-fledged national languages (bahasa-bahasa nasional yang berkibar penuh) di Eropa. Pada tahun 950 hanya berjumlah 6, tahun 1250 menjadi 17, lalu 30 pada abad ke-19. Pada tahun 1937 tercatat 53 dan terus meningkat hingga beberapa waktu kemudian.

Di belahan lain dunia terjadi hal serupa. Jumlah bahasa nasional bertambah seiring berdirinya negara-negara kebangsaan baru, menyusul dekolonisasi di kelima benua. Usaha menyinonimkan negara-bangsa-bahasa Indonesia merupakan bagian dari fase sejarah itu.

Bahasa persatuan menjadi penting karena—menurut Anderson (Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalism, 1991)—bangsa (nation) hanya komunitas yang terbayang (imagined community). Dalam bangsa terkecil sekalipun, para warganya tidak akan pernah saling kenal, saling jumpa, dan saling cakap.

Namun, mereka tersatukan sebagai bangsa karena pikiran mereka menghidupi imajinasi tentang kesatuan. Di situlah bahasa berperan. Tidak hanya secara simbolik, tetapi terlebih secara mental, yakni membangun kesadaran bersama di benak semua warga komunitas bangsa.

Dengan segala keterbatasannya, bahasa Indonesia—yang bersumber utama bahasa Melayu—telah berhasil menjadi pengikat simbolik dan mental imagined community bernama ”bangsa Indonesia” yang penuh keragaman. Sungguh anugerah besar. Sutan Takdir Alisjahbana (1981) menyebutnya ”mukjizat abad ini”.

Sungguh cerdas dan bijaksana langkah para pendiri bangsa sebab memilih bahasa (Indonesia) sebagai penyatu ”komunitas imajiner” Indonesia. Sebuah bangsa memang dapat disatukan dengan pengikat simbolik lain, misalnya etnisitas atau agama. Namun, bahasa telah terbukti lebih netral dibandingkan dengan keduanya. Alih-alih menjadi pemersatu, etnisitas dan agama justru berpotensi memicu konflik antarwarga bangsa.

Masalah utama

Bahasa Indonesia terbukti telah berperan sebagai bahasa persatuan. Apalagi setelah UUD 1945 juga mencanangkannya sebagai bahasa resmi negara. Bahasa Indonesia makin luas digunakan dan diajarkan. Terlepas mutu pemakaiannya yang secara rerata belum baik, kedudukannya sebagai bahasa persatuan semakin kokoh.

Masalah utama bahasa Indonesia tidak menyangkut perannya sebagai bahasa persatuan, tetapi terletak pada sifatnya yang begitu terbuka. Keterbukaan itu, di satu sisi, merupakan konsekuensi logis akibat terbatasnya peristilahan bahasa Indonesia, terutama dalam bidang ilmu dan teknologi. Maklum, bangsa ini bukan sang empunya ilmu dan teknologi. Padahal, kata Julian Huxley (1957), ilmu dan teknologi ibarat the religion without revelation (agama tanpa wahyu).

Saat Poerwadarminta meluncurkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1953), jumlah lema tercatat 23.000-an. Pada tahun 1976, Pusat Bahasa menerbitkan kamus serupa dengan tambahan 1.000-an kata baru. Artinya, selama 23 tahun hanya bertambah 1.000-an kata.

Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) bertambah luar biasa, dari 24.000-an menjadi 62.000-an kata. Berkat kerja sama dengan Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei berhasil dibuat 340.000-an istilah berbagai bidang ilmu. Pusat Bahasa juga berhasil menambah 250.000-an kata baru. Jadi, sudah ada 590.000-an kata berbagai bidang ilmu dan kata umum berjumlah 78.000-an.

Kata-kata baru itu—agar tidak terasing dari komunikasi keilmuan antarbangsa—mayoritas berupa naturalisasi. Penulisan dan/atau pengucapannya diselaraskan dengan kaidah bahasa Indonesia, tetapi sosoknya sebagai kata bahasa asing masih jelas. Tak ayal jika Alif Danya Munsyi (2003)—atau Remy Silado—menyatakan, 9 dari 10 kata bahasa Indonesia adalah asing.

Di pihak lain, keterbukaan telah memicu ketaksetiaan bangsa ini atas bahasa nasionalnya. Ketaksetiaan berwujud penggunaan bahasa campur aduk dalam iklan, nama perusahaan, pengumuman, dan acara-acara televisi yang terlalu melayani selera pasar.

Namun, para pembuat iklan, pemilik perusahaan, dan pengelola acara-acara televisi mungkin akan berkilah. Kecerobohan mereka tidak membahayakan masyarakat, kecuali hanya meresahkan para tata bahasawan normatif. Akibat tindakan para koruptor dan penjarah kekayaan negeri ini—entah berstatus anggota legislatif, gubernur, bupati, petinggi polisi, atau apa pun—jauh lebih menyengsarakan rakyat. Padahal, bahasa Indonesia mereka baik dan benar, logis dan kaya argumentasi.

Agaknya Yamin harus mengubah usulannya menjadi, ”Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa kebenaran”.

* P Ari Subagyo, Dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 3 Mei 2008

No comments: