Wednesday, May 21, 2008

Budaya Jalan Kaki Hilang, Bangunan Tua Terabaikan

KEBERADAAN bangunan tua di tengah kota saat ini cenderung terabaikan. Secara sederhana, sempitnya ruang bagi pejalan kaki membatasi kesempatan masyarakat untuk menikmati keindahan bangunan tua yang umumnya terletak di tepi jalan itu. Terkait hal itu, perencanaan tata kota seharusnya diarahkan kepada kepekaan terhadap sejumlah aset bersejarah kota.

"Dalam kultur ketika jalan kaki itu tidak menjadi budaya, bangunan tua tiba-tiba kehilangan valuenya. Wah, nggak ada yang lihat, nggak ada bedanya ada bangunan tua atau bangunan baru. Orang naik mobil semuanya," ujar arsitek sekaligus dewan pimpinan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), Bambang Eryudhawan dalam diskusi tentang pelestarian budaya di Museum Bank Indonesia Jakarta, Rabu (14/5).

Yudha, demikian panggilannya, mengungkapkan pembangunan kota harus mampu mendorong apresiasi masyarakat terhadap bangunan tua. Apresiasi itu hanya muncul saat masyarakat menyadari keberadaan salah satu pusaka budaya itu di sekitar mereka.

Menurutnya, sebuah kota harus dibangun dengan mengakomodasi kepentingan pemilik kendaraan dan pejalan kaki. Sejumlah kota di dunia, tuturnya, saat ini justru terkenal karena adanya fasilitas memadai bagi pejalan kaki.

"Gimana kita mau lihat bangunan tua karena fokusnya dari rumah, mau ke kantor naik mobil, mau ke mal naik mobil lagi, ngga ada kesempatan untuk jalan kaki," tandasnya. Lebih lanjut, Yudha mengatakan pelestarian bangunan tua semestinya juga mempertimbangkan karakteristik kota. Kota adalah objek yang selalu berkembang. Perencanaan pembangunannya harus memperhatikan kebutuhan masyarakat, termasuk ketika memugar sebuah bangunan tua.

"Hotel Savoy Homan Bandung, awalnya bangunannya kecil bagus, sesuai kebutuhan orang yang naik kuda. Tiba-tiba tahun dua puluhan sudah nggak cukup lagi, sudah banyak turis luar, macam-macam, dari Eropa, Amerika datang, dibongkar, bangunan bagusnya, tapi diganti dengan bangunan yang sekarang," tambahnya.

Senada dengan itu, konservator senior Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Hubertus Sadirin, mengakui pelestarian bangunan tua dalam konteks kota tidak boleh melupakan unsur pemanfaatan. Bangunan tua juga digunakan sesuai kebutuhan masyarakat atas bangunan tersebut. [NCW/N-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 21 Mei 2008

No comments: