Saturday, May 17, 2008

Bob Dylan: Peraih Pulitzer yang Berserah pada Kekuatan Lirik

ROBERT Allen Zimmerman (67) pada masa mudanya mungkin tidak akan pernah berpikir namanya akan sebesar sekarang. Selama lima dasawarsa mendedikasikan hidupnya untuk lirik dan musik, membuat pria kelahiran 24 Mei 1941 di Duluth, Minnesota, AS ini tersohor hingga sekarang. Bahkan mungkin ketika kematian telah menyapanya, Bob Dylan, demikian dunia mengenalnya, bisa jadi akan semakin dikenang.

Lewat kekuatan lirik-lirik lagunya, Dylan telah memberikan banyak warna pada perjalanan industri musik dunia. Seratus juta keping album bahkan telah ia jual ke seluruh dunia lewat kepiawaianya merangkai kata dan nada. Lewat lirik, kibor, harmonika, dan gitar bolongnya, ia menyapa pendengarnya lewat 44 album.
Albumnya terkini, Modern Times (2006) yang antara lain merangkum tembang “Thunder on the Mountains”, “Spirit of the Water”, “Workingman’s Blues”, dan “When the Deal Goes Down” masih mengukuhkan kekuatan liriknya.

Tidak berlebihan bila seniman yang dikenal luas sebagai lirisis, pencipta lagu, musisi, penyair, mantan DJ, dan sebagian orang menganggapnya filsuf ini dianugerahi sebuah penghargaan bergengsi, yakni Pulitzer Prize 2008 beberapa waktu lalu.

Penghargaan yang lazimnya diberikan untuk kerja jurnalistik tersebut merupakan penganugerahan pertama yang diberikan kepada seorang seniman nyanyi. Hingga saat ini Dylan adalah satu-satunya seniman yang diberi kehormatan menerimanya.

Pulitzer Prize Special Citation diberikan kepadanya karena karya-karyanya memberi pengaruh yang luar biasa terhadap musik pop dan budaya Amerika berkat komposisi lirik yang menawan dan kekuatan puitis yang luar biasa.

Tinjauan Filosofis

Kekuatan itu sudah dia tunjukkan jauh-jauh hari di awal kemunculan kariernya pada era 60-an. Tembangnya seperti “Blowin’ in the Wind” dan “The Times They Are Changin’” menjadi lagu kebangsaan antiperang dan pergerakan menuntut hak-hak rakyat kebanyakan.

Lirik yang kuat sekaligus puitis Dylan galibnya berkisah tentang karut marut keadaan politik dan sosial dengan tinjauan yang sangat filosofis. Dengan sentuhan yang sastrawi pula, lirik-lirik itu menjadi mudah dan menancap dalam di benak pencintanya.

Lagu-lagunya mengacu pada genre musik-musik Amerika asli seperti folk, country, blues, gospel, rock n’ roll, dan rockabilly, hingga pengaruh musik-musik dari Inggris, Scotlandia, dan Irlandia.

Dari ketekunannya merangkai kedalaman makna kata dan membesut nada itulah penghargaan bergengsi lainnya seperti Grammy Awards, Golden Globe, dan Academy Awards, Rock and Roll Hall of Fame, Nashville Songwriters Hall of Fame, dan Songwriters Hall of Fame disematkan padanya.

Pada tahun 1999, Dylan dimasukkan oleh majalah Time dalam “100 Most Influential People of the 20th Century”. Lima tahun berselang dia menduduki ranking dua di majalah Rolling Stone sebagai “Greatest Artists of All Time”. Posisi satunya ditempati The Beatles. Itu di luar puluhan penghargaan lain dari beberapa negara yang mengapresiasi totalitasnya berserah pada kekuatan lirik yang puitis.
Seperti penghargaan Commandeur des Arts et des Lettres oleh Menteri Budaya Prancis Jack Lang (1999), The Polar Music Prize oleh The Royal Swedish Academy of Music (2000), dan The Prince of Asturias Award in Arts (2007).

Sebagaimana prosais terkemuka Indonesia, mendiang Pramudya Ananta Toer, Dylan beberapa kali dinominasikan meraih Hadiah Nobel untuk karya sastra.
Apa yang paling mempengaruhi Dylan dalam menghasilkan lirik yang puitis? “Hati dan pikiran yang bersih serta kepekaan yang terjaga,” katanya pada suatu saat.

Bagaimana menjaga dan melestarikan kepekaan di tengah keadaan dunia yang amburadul? “Rajin membaca. Membaca apa saja dan yang paling penting membaca kehidupan,” imbuhnya (Benny Benke-45)

Sumber: Suara Merdeka, Sabtu, 17 Mei 2008

No comments: