Saturday, May 31, 2008

Seminar "Reposisi Museum Indonesia": Paradigma Museum Sudah Berubah

[JAKARTA] Di zaman seperti saat ini, museum bukan hanya untuk menyimpan barang-barang antik saja. Kalau museum tidak melakukan inovasi-inovasi dan tetap monoton, jangan salahkan kalau masyarakat akan semakin enggan menginjakkan kakinya ke bangunan bernama museum itu.

Paradigma museum sudah berubah seiring dengan perkembangan zaman serta semakin luasnya cakrawala seseorang dalam berpikir. Di era milenium saat ini, museum juga bisa menjadi misi pendidikan dan ilmu pengetahuan dengan memberikan informasi ke masyarakat luas.

"Museum jangan hanya menyimpan benda-benda antik saja. Museum juga harus bisa memberikan informasi yang sedetail-detailnya tentang benda-benda antik tersebut. Museum itu adalah tempatnya identitas bangsa. Dengan museum, kita tidak bicara lagi soal koleksi. Museum harus bisa memberikan manfaat bagi masyarakat dan bukan sekadar menjadi tempat penyimpanan benda-benda langka. Museum harus menjadi lembaga kebudayaan yang melayani masyarakat," kata Prof. Dr Nurhadi Magetsati, Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia seusai memberikan pemaparannya dalam seminar yang bertajuk Reposisi Museum Indonesia di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, Kamis (29/5).

Menurut dia, perubahan paradigma ini juga akan berdampak pada para pelakunya, yaitu para profesional di bidang permuseuman. Katanya, museum saat ini dituntut memiliki profesional baru sebagai peneliti koleksi sehingga peneliti inilah yang menggantikan fungsi kurator. Selain pada sumber daya manusia (SDM), perubahan paradigma juga berdampak pada manajemen museum, yaitu manajemen yang lebih menekankan pada manajemen koleksi dan komunikasi.

"Yang jelas, konsep manajemen memori kultural merupakan konsep kunci dalam mengaktualisasikan museologi (kajian atau studi tentang museum). Konsep kuncinya adalah preservasi, penelitian, dan komunikasi," ujar dia.

Preservasi, sebagaimana yang tertuang dalam makalahnya, mencakup pengertian pemeliharaan fisik maupun administrasi dari koleksi. Sementara penelitian mengacu pada penelitian terhadap warisan budaya. Sedangkan komunikasi mencakup kegiatan penyebaran hasil penelitian berupa ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bentuk pameran, program-program pendidikan, kegiatan, dan publikasi.

Peran Strategis

Selain Nurhadi Magetsari, pembicara lainnya dalam seminar sehari yang diikuti oleh hampir seluruh pengelola museum di Indonesia ini, adalah Ir Yuwono Sri Suwito, Ketua Dewan Kebudayaan DI Yogyakarta.

Yuwono menjelaskan, museum bukan tempat untuk menyimpan barang-barang kuno, barang-barang bekas yang tidak berfungsi, tetapi, museum dengan segala koleksi yang dimiliki merupakan wahana pembelajaran kepada manusia atau sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Museum mempunyai peran strategis sebagai sarana pendidikan, sebagai tempat untuk mencari kebenaran sejarah dan ilmu pengetahuan, dan sebagai tujuan wisata. Yang jelas, orang yang datang ke museum itu tidak hanya to see (melihat) atau to buy (membeli), tetapi juga to do (mengerjakan sesuatu)," ujar dia.

Berkaitan dengan dunia pariwisata, menurutnya, museum dikategorikan sebagai objek dan daya tarik wisata budaya. Daya tarik wisata budaya ini dapat dipilah menurut sasarannya yaitu pertama, kebudayaan yang hidup contohnya sajian kesenian, upacara adat, peragaan busana, dan lain-lain.

Kemudian kedua, warisan budaya masa lalu khususnya yang bersifat tangible seperti keris, benda-benda pusaka lainnya yang mudah dipindah. Sedangkan ketiga, bentang alam budaya (cultural landscape) seperti Gunung Tangkuban Perahu beserta legenda yang melekat pada gunung tersebut, dan lain sebagainya.

Pembicara lainnya, Dr. Daud Aris Tanudirdjo, MA, Dosen FIB Universitas Gajah Mada, dalam makalahnya yang berjudul Menuju Kebangkitan Permuseuman Indonesia; Reposisi Museum Di Indonesia, berkeyakinan bahwa menjelang memasuki era milenium ketiga, tahun 2002 lalu, museum merupakan salah satu tempat berkumpul manusia yang penting dalam milenium baru. Kalimat ini dia ambil berdasarkan buku Megatrends 2000 karangan Naisbitt dan Aburdene (1990).

Menurut dia, untuk dapat melakukan penataan kembali permuseuman di Indonesia, tentu diperlukan adanya rujukan yang tepat. Kata dia, hampir semua orang setuju bahwa museum adalah tempat pendidikan.

"Saya kira di Indonesia pun sudah ada kesadaran seperti itu sejak lama. Namun, kenyataannya, ternyata lebih banyak museum kita yang tidak benar-benar mengemban fungsi ini. Karena itu, barangkali, kinilah saatnya museum-museum di Indonesia lebih memantapkan posisinya sebagai tempat pendidikan, Musem harus mampu menjadi mitra para pendidik, baik siswa, guru, orangtua, maupun masyarakat pada umumnya," kata dia. [F-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 31 Mei 2008

No comments: