-- Lintang Rowe
Buku kedua penulis muda Jessica Huwae hadir dengan sejumlah kejutan, yakni bahasa yang lebih matang dan ending yang sebagian besar tidak terduga.
TUJUH tahun absen agaknya kian mematangkan gaya penulisan Jessica. Gaya bertutur dan dialognya lebih matang jika dibandingkan dengan buku pertama Soulmate.com yang masuk genre metropop.
Buku keduanya, Skenario Remang-Remang, menyuguhkan 14 cerita pendek yang hampir seluruhnya meninggalkan kesan dark, gloomy. Cerita yang digali lebih mendalam, mengolah fase kepahitan hidup, pengkhianatan, patah hati, ramuan cinta dan politik, kesepian, kondisi sosial, cinta anak dan ayah, dan masih banyak lagi.
Jessica mengemas kepahitan dalam alur cerita yang mengalir dan bahasa cukup enak. Di beberapa cerita, penulis muda berdarah Ambon-Medan itu memunculkan penjabaran dengan kalimat dan dialog pendek memikat serta langsung mengena. Namun, beberapa cerita lain menggunakan kalimat panjang dengan beberapa anak kalimat yang dipisahkan dengan garis. Hal itu tidak mengurangi rasa, tapi membuat saya merindukan kalimat-kalimat pendek menohok khas Jessica.
Dari 14 cerita yang disuguhkan, dua cerita berjudul Mencintai Elisa dan Pelajaran Patah Hati mengingatkan saya pada novel Raumanen karya Marianne Katoppo. Kematian, penyesalan, dan kesepian dengan unsur kejutan di bagian ending. Dua kisah itu mengingatkan saya pada sosok Monang dan Raumanen dalam novel Raumanen.
Ruang imajinasi
Beberapa cerita pendek karya Jessica memberi ruang kepada pembaca untuk menafsirkan sendiri kelanjutan dan akhir dari kisah yang dituturkan. Sepertinya Jessica sengaja memberi ruang imajinasi di buku keduanya ini.
Ke-14 cerita di Skenario Remang-Remang juga memberi ruang bagi pembaca untuk memilih dan mendiskusikan cerita favorit. Maggie Tiojakin, penulis kumpulan cerpen Homecoming dan Balada Ching Ching, serta novel Winter Dream mengumumkan cerita favoritnya. “Saya paling suka cerita Resep Rahasia Tante Meilan. Ada ramuan cinta, perjuangan, dan misteri,” kata dia dalam acara peluncuran Skenario Remang-Remang, beberapa waktu lalu.
Beberapa undangan yang hadir dalam acara tersebut menyebutkan kisah favorit Mencintai Elisa, Nostalgia Rasa, dan lain-lain. Saya sendiri menyukai cerita Menjemput Bapak, Galila, dan Satu Hari dalam Hidup Aidan.
Menjemput Bapak berkisah tentang perselingkuhan seorang ayah dan kemarahan sang putri yang merasa dikhianati dan tidak bisa memahami kesabaran ibunya. Kemarahan itu memengaruhi pemikiran dan hidupnya, mendesak mencari cara dan jalan keluar untuk sebuah kata: maaf.
Galila juga bercerita tentang ketidaksetiaan suami, tetapi dengan reaksi dan efek berbeda dari istri dan sang anak yang diakhiri dengan kalimat cantik tapi pahit dan menohok dari sang penulis, “Tidak banyak yang berubah dalam hitungan satu tahun, sungguh, kecuali Galila menjadi anak pertama di kampungnya yang tidak memiliki nama belakang.”
Satu Hari dalam Hidup Aidan berkisah tentang problem sosial yang belakangan kian sering diberitakan di media cetak dan nasional. Satu persoalan yang membuat khawatir para orangtua. Jessica menuliskan dengan alur yang baik, dengan bahasa yang mampu menciutkan hati.
Pada akhirnya, saya menunggu buku ketiga Jessica. Menunggu untuk melihat kejutan selanjutnya. Menunggu dengan percaya bahwa penulis muda ini bisa menggali lebih matang lagi, karakter dan kedalaman bahasa di buku selanjutnya. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 Juli 2013
Buku kedua penulis muda Jessica Huwae hadir dengan sejumlah kejutan, yakni bahasa yang lebih matang dan ending yang sebagian besar tidak terduga.
TUJUH tahun absen agaknya kian mematangkan gaya penulisan Jessica. Gaya bertutur dan dialognya lebih matang jika dibandingkan dengan buku pertama Soulmate.com yang masuk genre metropop.
Buku keduanya, Skenario Remang-Remang, menyuguhkan 14 cerita pendek yang hampir seluruhnya meninggalkan kesan dark, gloomy. Cerita yang digali lebih mendalam, mengolah fase kepahitan hidup, pengkhianatan, patah hati, ramuan cinta dan politik, kesepian, kondisi sosial, cinta anak dan ayah, dan masih banyak lagi.
Jessica mengemas kepahitan dalam alur cerita yang mengalir dan bahasa cukup enak. Di beberapa cerita, penulis muda berdarah Ambon-Medan itu memunculkan penjabaran dengan kalimat dan dialog pendek memikat serta langsung mengena. Namun, beberapa cerita lain menggunakan kalimat panjang dengan beberapa anak kalimat yang dipisahkan dengan garis. Hal itu tidak mengurangi rasa, tapi membuat saya merindukan kalimat-kalimat pendek menohok khas Jessica.
Dari 14 cerita yang disuguhkan, dua cerita berjudul Mencintai Elisa dan Pelajaran Patah Hati mengingatkan saya pada novel Raumanen karya Marianne Katoppo. Kematian, penyesalan, dan kesepian dengan unsur kejutan di bagian ending. Dua kisah itu mengingatkan saya pada sosok Monang dan Raumanen dalam novel Raumanen.
Ruang imajinasi
Beberapa cerita pendek karya Jessica memberi ruang kepada pembaca untuk menafsirkan sendiri kelanjutan dan akhir dari kisah yang dituturkan. Sepertinya Jessica sengaja memberi ruang imajinasi di buku keduanya ini.
Ke-14 cerita di Skenario Remang-Remang juga memberi ruang bagi pembaca untuk memilih dan mendiskusikan cerita favorit. Maggie Tiojakin, penulis kumpulan cerpen Homecoming dan Balada Ching Ching, serta novel Winter Dream mengumumkan cerita favoritnya. “Saya paling suka cerita Resep Rahasia Tante Meilan. Ada ramuan cinta, perjuangan, dan misteri,” kata dia dalam acara peluncuran Skenario Remang-Remang, beberapa waktu lalu.
Beberapa undangan yang hadir dalam acara tersebut menyebutkan kisah favorit Mencintai Elisa, Nostalgia Rasa, dan lain-lain. Saya sendiri menyukai cerita Menjemput Bapak, Galila, dan Satu Hari dalam Hidup Aidan.
Menjemput Bapak berkisah tentang perselingkuhan seorang ayah dan kemarahan sang putri yang merasa dikhianati dan tidak bisa memahami kesabaran ibunya. Kemarahan itu memengaruhi pemikiran dan hidupnya, mendesak mencari cara dan jalan keluar untuk sebuah kata: maaf.
Galila juga bercerita tentang ketidaksetiaan suami, tetapi dengan reaksi dan efek berbeda dari istri dan sang anak yang diakhiri dengan kalimat cantik tapi pahit dan menohok dari sang penulis, “Tidak banyak yang berubah dalam hitungan satu tahun, sungguh, kecuali Galila menjadi anak pertama di kampungnya yang tidak memiliki nama belakang.”
Satu Hari dalam Hidup Aidan berkisah tentang problem sosial yang belakangan kian sering diberitakan di media cetak dan nasional. Satu persoalan yang membuat khawatir para orangtua. Jessica menuliskan dengan alur yang baik, dengan bahasa yang mampu menciutkan hati.
Pada akhirnya, saya menunggu buku ketiga Jessica. Menunggu untuk melihat kejutan selanjutnya. Menunggu dengan percaya bahwa penulis muda ini bisa menggali lebih matang lagi, karakter dan kedalaman bahasa di buku selanjutnya. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 Juli 2013
No comments:
Post a Comment