HUJAN baru saja reda setelah 2 jam lebih menderas Kota Bogor, Jawa Barat. Enam puluh peserta yang ikut Pelatihan Peningkatan Kompetensi Wartawan Kebudayaan Se-Indonesia baru saja selesai mengikuti berbagai aktivitas, malam itu.
Di dalam sebuah ruangan, pemateri Romo Mudji Sutrisno bergegas merapikan perlengkapan mengajar. Ia baru saja selesai membahas topik estetika dan filsafat di hadapan para peserta.
“Dalam setiap langkah, kita harus memiliki sebuah titik hening. Bila kita maju ke depan adalah hobi, mundur ke belakang adalah profesi, bergerak ke kiri adalah keluarga, dan ke kanan adalah sosial. Jangan meninggalkan titik hening,” tuturnya sebelum mengakhiri pembahasan, awal pekan ini.
Pada Pelatihan Peningkatan Kompetensi Wartawan Kebudayaan yang berlangsung pada 18-25 Juli itu setiap teori yang diajarkan kepada peserta ternyata membekas. Para peserta langsung mengaplikasikan ke dalam sebuah pertunjukan seni panggung seperti teater dan pembacaan puisi secara spontan.
Peserta Bambang Riyanto asal Medan, Sumatra Utara, terlihat meresapi teori-teori yang diajarkan. Ia bersama M Hanafi Holle (Maluku), Jabar Abdullah (Jawa Timur), dan panitia membacakan karya-karya puisi dengan penuh ekspresi. “Saya memang mengidolakan WS Rendra sehingga berapi-api saat baca puisi,” cetus Bambang.
Pada kompetensi itu, setiap pemateri seperti Mudji, Asmudjo Jono Irianto, Sal Murgiyanto, Bre Redana, Wahyu Wibowo, hingga Willy Hangguman memiliki ciri khas tersendiri di hadapan peserta.
Romo Mudji, misalnya, menghadirkan beberapa contoh karya seni untuk menggambarkan arti estetika kepada para peserta. “Keindahan itu selalu melekat dalam karya seni. Untuk abstrak, itu seperti tangga nada, do re mi fa so la si do. Pelukis Bali melukis abstrak, tetapi mereka juga menguasai realis dan naturalis,” jelasnya, serius.
Ruang imajinatif
Terlepas dari pembacaan puisi hingga pentas teater secara spontan yang diadakan peserta, ada hal menarik lainnya yang diulas dalam kompetensi tersebut. Asmudjo cukup jeli dalam menghadirkan berbagai kajian seni rupa.
Ia menyuguhkan berbagai karya-karya seniman Barat hingga Timur. Kajian terhadap karya seniman-seniman Barat memang membuat sebagian peserta yang awam akan seni rupa tak begitu antusias.
Namun, Asmudjo tak kehilangan akal. Dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung itu mencoba mengajar dengan pendekatan yang lebih santai. “Kalau tak mengerti, jangan menulis,” cetusnya saat menjawab pertanyaan peserta.
Berbagai kajian seniman Barat ia hadirkan. Misalnya, Piet Mondrian, Pablo Picasso, Jackson Pollock, Wassily Kandinsky, Mark Rothko, Kazimir Malevick, hingga Damian Hirst. Lalu, seniman Timur seperti Heri Dono, Entang Wiharso, Handiwirman, I Nyoman Masriadi, Titarubi, dan Tisna Sanjaya. “Karya pelukis Indonesia yang paling termahal ialah karya Masriani. Karyanya laku terjual hingga Rp10 miliar,” ungkap Asmudjo.
Terlepas dari nama-nama besar tersebut, ada sebuah persoalan mendasar. Masih banyak seniman yang hidup dalam pengubuan. Mereka begitu asyik berkarya sehingga lupa pada persoalan di sekitarnya, menjadi antisosial sehingga membuat mereka kerap dipandang sebelah mata.
Lewat kompetensi yang digelar sepekan itu, ada hal baru yang didapati hampir sebagian besar peserta. Terutama, yang berasal dari daerah di luar Pulau Jawa. Pameran lukisan kontemporer hingga pentas teater memang dirasa masih minim.
“Nonton teater pun setahun sekali. Itu hanya pas waktu perayaan acara keagamaan. Kami di Papua memang masih awam dengan teater, khususnya kontemporer,” ujar Nethy Dharma Somba, peserta asal Jayapura, Papua. Penerapan teori lewat pentas seni menjadi sebuah paradigma yang diagungkan kaum akademisi. Namun, itu tak menjamin. Banyak pula seniman-seniman di kota besar yang menanjak dari jalur autodidak. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 28 Juli 2013
Di dalam sebuah ruangan, pemateri Romo Mudji Sutrisno bergegas merapikan perlengkapan mengajar. Ia baru saja selesai membahas topik estetika dan filsafat di hadapan para peserta.
“Dalam setiap langkah, kita harus memiliki sebuah titik hening. Bila kita maju ke depan adalah hobi, mundur ke belakang adalah profesi, bergerak ke kiri adalah keluarga, dan ke kanan adalah sosial. Jangan meninggalkan titik hening,” tuturnya sebelum mengakhiri pembahasan, awal pekan ini.
Pada Pelatihan Peningkatan Kompetensi Wartawan Kebudayaan yang berlangsung pada 18-25 Juli itu setiap teori yang diajarkan kepada peserta ternyata membekas. Para peserta langsung mengaplikasikan ke dalam sebuah pertunjukan seni panggung seperti teater dan pembacaan puisi secara spontan.
Peserta Bambang Riyanto asal Medan, Sumatra Utara, terlihat meresapi teori-teori yang diajarkan. Ia bersama M Hanafi Holle (Maluku), Jabar Abdullah (Jawa Timur), dan panitia membacakan karya-karya puisi dengan penuh ekspresi. “Saya memang mengidolakan WS Rendra sehingga berapi-api saat baca puisi,” cetus Bambang.
Pada kompetensi itu, setiap pemateri seperti Mudji, Asmudjo Jono Irianto, Sal Murgiyanto, Bre Redana, Wahyu Wibowo, hingga Willy Hangguman memiliki ciri khas tersendiri di hadapan peserta.
Romo Mudji, misalnya, menghadirkan beberapa contoh karya seni untuk menggambarkan arti estetika kepada para peserta. “Keindahan itu selalu melekat dalam karya seni. Untuk abstrak, itu seperti tangga nada, do re mi fa so la si do. Pelukis Bali melukis abstrak, tetapi mereka juga menguasai realis dan naturalis,” jelasnya, serius.
Ruang imajinatif
Terlepas dari pembacaan puisi hingga pentas teater secara spontan yang diadakan peserta, ada hal menarik lainnya yang diulas dalam kompetensi tersebut. Asmudjo cukup jeli dalam menghadirkan berbagai kajian seni rupa.
Ia menyuguhkan berbagai karya-karya seniman Barat hingga Timur. Kajian terhadap karya seniman-seniman Barat memang membuat sebagian peserta yang awam akan seni rupa tak begitu antusias.
Namun, Asmudjo tak kehilangan akal. Dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung itu mencoba mengajar dengan pendekatan yang lebih santai. “Kalau tak mengerti, jangan menulis,” cetusnya saat menjawab pertanyaan peserta.
Berbagai kajian seniman Barat ia hadirkan. Misalnya, Piet Mondrian, Pablo Picasso, Jackson Pollock, Wassily Kandinsky, Mark Rothko, Kazimir Malevick, hingga Damian Hirst. Lalu, seniman Timur seperti Heri Dono, Entang Wiharso, Handiwirman, I Nyoman Masriadi, Titarubi, dan Tisna Sanjaya. “Karya pelukis Indonesia yang paling termahal ialah karya Masriani. Karyanya laku terjual hingga Rp10 miliar,” ungkap Asmudjo.
Terlepas dari nama-nama besar tersebut, ada sebuah persoalan mendasar. Masih banyak seniman yang hidup dalam pengubuan. Mereka begitu asyik berkarya sehingga lupa pada persoalan di sekitarnya, menjadi antisosial sehingga membuat mereka kerap dipandang sebelah mata.
Lewat kompetensi yang digelar sepekan itu, ada hal baru yang didapati hampir sebagian besar peserta. Terutama, yang berasal dari daerah di luar Pulau Jawa. Pameran lukisan kontemporer hingga pentas teater memang dirasa masih minim.
“Nonton teater pun setahun sekali. Itu hanya pas waktu perayaan acara keagamaan. Kami di Papua memang masih awam dengan teater, khususnya kontemporer,” ujar Nethy Dharma Somba, peserta asal Jayapura, Papua. Penerapan teori lewat pentas seni menjadi sebuah paradigma yang diagungkan kaum akademisi. Namun, itu tak menjamin. Banyak pula seniman-seniman di kota besar yang menanjak dari jalur autodidak. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 28 Juli 2013
No comments:
Post a Comment