-- Benny Arnas
SAYA merampungkan novel Jurai (GPU, Maret 2013) dalam sekali pembacaan. Guntur Alam berkisah dengan lancar. Gaya dan bahasa penceritaannya, walaupun tidak sekuat pada cerpen-cerpennya, masih berkarakter. Tanpa mengurangi kebahagiaan yang mengerubungi saya usai membacanya, saya merasa dejavu dengan motif ceritanya.
Entah bagaimana, bakda kesuksesan tetralogi Laskar Pelangi yang (katanya?) merupakan novelisasi kisah hidup penulisnya, saya selalu khawatir membaca novel-novel laris. Saya khawatir akan menemukan Laskar Pelangi dalam bahasa dan karakter yang berbeda. Kekhawatiran saya cukup beralasan. Saya kerap (untuk tidak mengatakan ?selalu?) menemukan motif cerita yang sama?kemiskinan, kesulitan mengakses pendidikan, kisah cinta sebagai plot sekunder, dan berakhir dengan kesuksesan?dalam beberapa novel laris setelah Laskar Pelangi.
Saya yakin, Laskar Pelangi bukan novel pertama yang mengolah/menjual motif/produk yang sama, tapi kesuksesannya di pasaran, mau tidak mau, diakui atau tidak, telah "menyulut" penulis lain untuk mengolah/menjual hal serupa. Baik dengan menovelisasi kisah hidup si penulis, tokoh terkenal, maupun karakter rekaan. Kecenderungan inilah yang ditemukan?sekadar menyebut beberapa judul -- pada trilogi Negeri 5 Menara (Ahmad Fuadi), 9 Summer 10 Autumn dan Ibuk (Iwan Setiawan), trilogi Sepatu Dahlan (Khrisna Pabichara), dan Anak Sejuta Bintang (Akmal Nasery Basral).
Pada novel-novel yang tampaknya bernasib baik di pasaran tersebut, kekhawatiran saya selalu terbukti. Kekhawatiran yang tidak semestinya terjadi (tentu saja karena ia sangat subjektif). Saya selalu gagal menutup telinga dari gelombang persuasif yang meneriakkan kelebihan novel-novel yang membuat perasaan kecewa, cemburu, dan bangga bersitabrak dalam pikiran: kecewa karena lagi-lagi saya menemukan motif ala Laskar Pelangi di sana, cemburu dengan keberhasilan karya-karya itu menggaet hati pembaca, dan bangga karena masih banyak orang yang membeli buku.
Adalah terlalu naif apabila saya tidak mampu mencungkil hikmah dari kenyataan itu: bahwa sebagian (besar) para pembaca (pembeli) buku Indonesia saat ini menyukai cerita yang seperti itu. Salah? Tentu saja tidak. Namun, saya bukan bagian mainstream pembaca seperti itu. Celakanya lagi, saya yakin selera bacaan saya tidak buruk.
Singkat risalah, saya ingin membaca buku (novel) yang menyuguhkan tema utama yang lain, yang tidak mainstream, yang tidak stereotipikal Laskar Pelangi tapi mendongak secara kualitas. Memang, novel-novel semacam itu masih bisa saya temui walaupun tidak banyak dan biasanya kurang laris, tapi yang selalu berhasil menggoda saya justru novel-novel mainstream. Ah, ini memang salah (selera) saya!
Ketika hendak membaca Jurai, saya berdoa semoga novel setebal 298 halaman itu mampu menyuguhkan sesuatu yang lain dari "para pendahulunya?. Tentu keinginan ini bukan semata karena saya dan Guntur Alam sama-sama lahir di Sumatera Selatan, melainkan karena cerpen-cerpennya di pelbagai surat kabar menyuguhkan kecerlangannya dalam menggarap tema yang tidak mainstream dengan bahasa yang berkarakter.
Jurai menjadikan tokoh Emak, seorang janda empat anak, sebagai pusara cerita. Mata dan perasaan Catuk, anak lelaki yang tengah duduk di kelas lima SD yang merupakan anak bungsu Emak, menjadi penceritanya. Emak berjuang menyekolahkan anak-anaknya agar mereka tidak meradang sepertinya; dikelabui sang suami sebab ia tak bisa membaca. Ini bukan perkara mudah karena Emak adalah seorang janda yang bekerja seorang diri sebagai tukang sadap karet sebelum kemudian menjadi penjual sayur antarkampung, memiliki penghasilan pas-pasan. Belum lagi adat (Muara Enim, Sumsel) kala itu yang menabukan anak perempuan sekolah tinggi (Dan Emak memiliki tiga anak perempuan!).
Lalu tiba-tiba dejavu itu menghampiri saya:
(Selain Emak) Catuk adalah tokoh utama novel yang hidup berkekurangan, bersekolah dengan sepatu butut, menjalin cinta monyet dengan siswi dari SD lain yang bernama Dewi, hingga akhirnya Emak mampu ?memenangkan? pertarungan demi harga diri dan martabat keluarganya. O ya, Catuk memiliki beberapa teman dekat di sekolah, Catuk juga tumbuh dalam kultur Melayu yang kuat, dan ? o o, tiba-tiba saya kembali membuka halaman awal: Jurai dipersembahkan Guntur Alam untuk tiga kakak perempuannya yang ternyata memiliki kesamaan nama dengan ketiga kakak perempuan Catuk. Saya tidak suka dengan kebetulan. Oleh karena itu, saya pun memaknai kesamaan nama-nama itu bukan sebagai kebetulan. Implikasinya: saya meyakini bahwa?sebagian besar kisah dalam Jurai adalah novelisasi kisah hidup penulisnya. Catuk adalah Guntur Alam!
Gunung es kebahagiaan saya perlahan mencair. Tiba-tiba saya teringat Andrea Hirata. Teringat Laskar Pelangi.
Benny Arnas, cerpenis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Juli 2013
SAYA merampungkan novel Jurai (GPU, Maret 2013) dalam sekali pembacaan. Guntur Alam berkisah dengan lancar. Gaya dan bahasa penceritaannya, walaupun tidak sekuat pada cerpen-cerpennya, masih berkarakter. Tanpa mengurangi kebahagiaan yang mengerubungi saya usai membacanya, saya merasa dejavu dengan motif ceritanya.
Entah bagaimana, bakda kesuksesan tetralogi Laskar Pelangi yang (katanya?) merupakan novelisasi kisah hidup penulisnya, saya selalu khawatir membaca novel-novel laris. Saya khawatir akan menemukan Laskar Pelangi dalam bahasa dan karakter yang berbeda. Kekhawatiran saya cukup beralasan. Saya kerap (untuk tidak mengatakan ?selalu?) menemukan motif cerita yang sama?kemiskinan, kesulitan mengakses pendidikan, kisah cinta sebagai plot sekunder, dan berakhir dengan kesuksesan?dalam beberapa novel laris setelah Laskar Pelangi.
Saya yakin, Laskar Pelangi bukan novel pertama yang mengolah/menjual motif/produk yang sama, tapi kesuksesannya di pasaran, mau tidak mau, diakui atau tidak, telah "menyulut" penulis lain untuk mengolah/menjual hal serupa. Baik dengan menovelisasi kisah hidup si penulis, tokoh terkenal, maupun karakter rekaan. Kecenderungan inilah yang ditemukan?sekadar menyebut beberapa judul -- pada trilogi Negeri 5 Menara (Ahmad Fuadi), 9 Summer 10 Autumn dan Ibuk (Iwan Setiawan), trilogi Sepatu Dahlan (Khrisna Pabichara), dan Anak Sejuta Bintang (Akmal Nasery Basral).
Pada novel-novel yang tampaknya bernasib baik di pasaran tersebut, kekhawatiran saya selalu terbukti. Kekhawatiran yang tidak semestinya terjadi (tentu saja karena ia sangat subjektif). Saya selalu gagal menutup telinga dari gelombang persuasif yang meneriakkan kelebihan novel-novel yang membuat perasaan kecewa, cemburu, dan bangga bersitabrak dalam pikiran: kecewa karena lagi-lagi saya menemukan motif ala Laskar Pelangi di sana, cemburu dengan keberhasilan karya-karya itu menggaet hati pembaca, dan bangga karena masih banyak orang yang membeli buku.
Adalah terlalu naif apabila saya tidak mampu mencungkil hikmah dari kenyataan itu: bahwa sebagian (besar) para pembaca (pembeli) buku Indonesia saat ini menyukai cerita yang seperti itu. Salah? Tentu saja tidak. Namun, saya bukan bagian mainstream pembaca seperti itu. Celakanya lagi, saya yakin selera bacaan saya tidak buruk.
Singkat risalah, saya ingin membaca buku (novel) yang menyuguhkan tema utama yang lain, yang tidak mainstream, yang tidak stereotipikal Laskar Pelangi tapi mendongak secara kualitas. Memang, novel-novel semacam itu masih bisa saya temui walaupun tidak banyak dan biasanya kurang laris, tapi yang selalu berhasil menggoda saya justru novel-novel mainstream. Ah, ini memang salah (selera) saya!
Ketika hendak membaca Jurai, saya berdoa semoga novel setebal 298 halaman itu mampu menyuguhkan sesuatu yang lain dari "para pendahulunya?. Tentu keinginan ini bukan semata karena saya dan Guntur Alam sama-sama lahir di Sumatera Selatan, melainkan karena cerpen-cerpennya di pelbagai surat kabar menyuguhkan kecerlangannya dalam menggarap tema yang tidak mainstream dengan bahasa yang berkarakter.
Jurai menjadikan tokoh Emak, seorang janda empat anak, sebagai pusara cerita. Mata dan perasaan Catuk, anak lelaki yang tengah duduk di kelas lima SD yang merupakan anak bungsu Emak, menjadi penceritanya. Emak berjuang menyekolahkan anak-anaknya agar mereka tidak meradang sepertinya; dikelabui sang suami sebab ia tak bisa membaca. Ini bukan perkara mudah karena Emak adalah seorang janda yang bekerja seorang diri sebagai tukang sadap karet sebelum kemudian menjadi penjual sayur antarkampung, memiliki penghasilan pas-pasan. Belum lagi adat (Muara Enim, Sumsel) kala itu yang menabukan anak perempuan sekolah tinggi (Dan Emak memiliki tiga anak perempuan!).
Lalu tiba-tiba dejavu itu menghampiri saya:
(Selain Emak) Catuk adalah tokoh utama novel yang hidup berkekurangan, bersekolah dengan sepatu butut, menjalin cinta monyet dengan siswi dari SD lain yang bernama Dewi, hingga akhirnya Emak mampu ?memenangkan? pertarungan demi harga diri dan martabat keluarganya. O ya, Catuk memiliki beberapa teman dekat di sekolah, Catuk juga tumbuh dalam kultur Melayu yang kuat, dan ? o o, tiba-tiba saya kembali membuka halaman awal: Jurai dipersembahkan Guntur Alam untuk tiga kakak perempuannya yang ternyata memiliki kesamaan nama dengan ketiga kakak perempuan Catuk. Saya tidak suka dengan kebetulan. Oleh karena itu, saya pun memaknai kesamaan nama-nama itu bukan sebagai kebetulan. Implikasinya: saya meyakini bahwa?sebagian besar kisah dalam Jurai adalah novelisasi kisah hidup penulisnya. Catuk adalah Guntur Alam!
Gunung es kebahagiaan saya perlahan mencair. Tiba-tiba saya teringat Andrea Hirata. Teringat Laskar Pelangi.
Benny Arnas, cerpenis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Juli 2013
No comments:
Post a Comment