-- Taufiq Yendra Pratama
DI daerah Riau, terdapat berbagai bentuk alat musik tradisi, seperti alat musik gambus, marwas, bebano. Alat-alat musik tersebut biasanya difungsikan untuk acara keramaian rakyat sebagai alat musik hiburan hingga pengiring pertunjukan. Selain alat-alat musik tersebut, dijumpai pula berbagai alat musik tradisional lainnya, seperti gendang panjang, rebab, rebana, kompang, gondang katobung, gendang gedombak, nafiri,sunai, tetawak (gong), dan Genggong.
Dari sekian banyak alat musik yang dijumpai di Riau, terdapat salah satu alat musik yang nyaris langka baik dari sisi jumlahnya hingga jumlah orang atau seniman yang mampu memainkannya bahkan banyak diantara masyarakat pada umumnya hingga generasi muda khususnya tidak mengenal instrumen ini. Alat musik tersebut bernama genggong.
Genggong merupakan sebuah alat musik tradisional berbentuk tipis dan kecil, memililki beberapa jenis dan dimainkan dengan beragam cara, ada yang dipetik, ditarik dan dipukul. Genggong terbuat dari pelepah pohon enau yang di ambil kulit luarnya yang keras. Ada juga yang terbuat dari tembaga dan besi.
Genggong diklarifikasikan sebagai golongan Idiofon karena sumber bunyi berasal dari batang tubuh alat musik itu sendiri. Genggong menggunakan rongga mulut sebagai resonator (rongga suara) untuk dapat menghasilkan suara berupa dengungan yang khas. Genggong juga sudah dikenal di penjuru dunia dengan nama yang bermacam-macam, di luar negeri, alat musik ini lebih dikenal dengan nama Jews Harp, di Jawa dan Sunda dikenal dengan nama Karinding, di Bali dan Jambi juga mempunyai alat musik ini dan menggunakan nama yang sama dengan yang ada di Riau yaitu genggong.
Genggong sudah ada di Riau sejak ratusan tahun yang lalu tepatnya di daerah Kampar sekitarnya, saking larisnya, dulu genggong diperjual belikan di pasar-pasar tradisional Kampar hingga kedai kumango (kedai serba ada) di daerah tersebut. Jika ditanya dari mana asal mula genggong berada, orang tua-tua menjawab bahwa genggong ini sudah ada di Kampar dari zaman datuk dari datuk mereka, ‘’karena barang ini lahir, bukanlah barang datang’’. Pernyataan ini merupakan defenisi kuat bahwa genggong sudah berada sangat lama di Riau yang khususnya terletak di kabupaten Kampar.
Nama genggong berasal dari kata ‘Gweng-gwong’ yang merupakan bunyi khas yang dihasilkan oleh alat musik itu sendiri. Genggong dulunya difungsikan oleh masyarakat sebagai alat permainan yang rata-rata dimainkan oleh kaum muda-mudi, karena konon dulunya jika hendak menyampaikan perasaan atau menggoda lawan jenis dapat disampaikan dengan alat musik ini. Dimainkan dibawah rumah atau di samping jendela kamar sang pujaan hati sambil melontarkan syair dan pantun yang merdu dan menggoda, sehingga Semakin mahir memainkannya semakin kuatlah daya tarik atau pesona dari orang yang memainkannya.
Tren genggong pada zaman dahulu berbeda jauh dengan sekarang, karena hanya sedikit dari muda-mudi yang mengenal alat musik ini, ada juga sebagian orang yang mengenal, akan tetapi mereka cendrung menyangka bahwa genggong berasal bukanlah dari Riau melainkan dari luar daerah seperti Jawa dan Bali. Mereka bisa saja berkata demikian karena seniman di Jawa maupun Bali sudah mampu memulai menghidupkan kembali trend genggong di masyarakat seperti yang berada di daerah Bandung sekitarnya. Mereka sudah memproduksi bahkan membuat komunitas atau kelompok musik genggong ini dan mereka sudah menampilkan karya-karya mereka di tengah masyarakat dan ada juga sebagian dari komunitas mereka telah muncul di siaran televisi swasta.
Ada juga sebagian seniman musik atau musisi muda di Riau yang telah membuat karya dengan menggunakan instrument ini Seperti Zalfandri Zainal alias Matrock misalnya, beliau mengapresiasikan alat musik ini dalam bentuk sebuah garapan musik pengiring tari ‘’Seligi Tajam Bertimbal’’ karya SPN Iwan Irawan Permadi yang dipentaskan di gedung Idrus Tintin pada tahun 2009 lalu. Dan ada juga seorang musisi muda bernama Anggara Satrya, dia juga telah mengapresiasikan alat musik ini ke dalam karyanya ketika menggarap musik tari masal di kabupaten Siak tahun 2008 silam. Akan tetapi itu hanya sebagian, diperlukan banyak lagi musisi-musisi yang tahu akan genggong guna menghidupkan kembali kesenian tradisi yang hampir punah ini.
Untung saja masih ada orang-orang yang peduli dengan keberadaan alat musik ini, seperti Salman Aziz misalnya, beliau adalah tokoh seniman Kampar yang sampai sekarang memproduksi alat musik ini. Beliau membuat alat musik ini bersama salah seorang gurunya yang bernama Datuk Senaro, guru beliau adalah seorang kepala suku atau ninik mamak di Kabupaten Kampar. Beliau tinggal di Desa Tanjung, Kecamatan Bangkinang Seberang. Masih adanya pengrajin dan seniman yang mampu memproduksi alat musik ini, masih ada sedikit harapan untuk mempertahankan agar alat musik ini tidak punah dalam waktu mendatang.
Kenyataannya sekarang ini genggong sudah hampir tidak dimainkan lagi oleh kaum muda-mudi. Faktor zaman yang sudah maju dan mereka cendrung mengenyampingkan hal-hal yang berbau tradisi. Kebanyakan muda-mudi cendrung terpesona pada zaman serba canggih sehingga hampir melupakan tradisi yang ada di tanah mereka sendiri, dan ada juga faktor lain yang membuat genggong ini jarang dimainkan oleh kaum muda-mudi. Mungkin bisa saja fungsi dari genggong itu sendiri yang dianggap tabu oleh masyarakat, dikarenakan genggong dulunya digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan percintaan, merayu, dan sebagainya.
Akan tetapi hal-hal seperti ini bisa saja di alihkan ke suatu yang lebih positif, contohnya dengan dengan mengalih fungsikan genggong sebagai suatu media seni pertunjukan. Akan tetapi hal ini tidak terlepas dari dukungan Pemerintah dan para seniman Riau khususnya. Jika kita tidak menyadari kenyataan ini, dimungkinkan suatu ketika kesenian tradisi genggong khususnya akan luput dari pandangan masyarakat bahkan bisa hilang sama sekali. n
Taufiq Yendra Pratama, lahir di Bangkinang, 5 November 1990. Saat ini menuntut ilmu di FKIP Sendratasik, Universitas Islam Riau (UIR) dan tergabung di komunitas Blacan Aromatic.
Sumber: Riau Pos, 14 Juli 2013
DI daerah Riau, terdapat berbagai bentuk alat musik tradisi, seperti alat musik gambus, marwas, bebano. Alat-alat musik tersebut biasanya difungsikan untuk acara keramaian rakyat sebagai alat musik hiburan hingga pengiring pertunjukan. Selain alat-alat musik tersebut, dijumpai pula berbagai alat musik tradisional lainnya, seperti gendang panjang, rebab, rebana, kompang, gondang katobung, gendang gedombak, nafiri,sunai, tetawak (gong), dan Genggong.
Dari sekian banyak alat musik yang dijumpai di Riau, terdapat salah satu alat musik yang nyaris langka baik dari sisi jumlahnya hingga jumlah orang atau seniman yang mampu memainkannya bahkan banyak diantara masyarakat pada umumnya hingga generasi muda khususnya tidak mengenal instrumen ini. Alat musik tersebut bernama genggong.
Genggong merupakan sebuah alat musik tradisional berbentuk tipis dan kecil, memililki beberapa jenis dan dimainkan dengan beragam cara, ada yang dipetik, ditarik dan dipukul. Genggong terbuat dari pelepah pohon enau yang di ambil kulit luarnya yang keras. Ada juga yang terbuat dari tembaga dan besi.
Genggong diklarifikasikan sebagai golongan Idiofon karena sumber bunyi berasal dari batang tubuh alat musik itu sendiri. Genggong menggunakan rongga mulut sebagai resonator (rongga suara) untuk dapat menghasilkan suara berupa dengungan yang khas. Genggong juga sudah dikenal di penjuru dunia dengan nama yang bermacam-macam, di luar negeri, alat musik ini lebih dikenal dengan nama Jews Harp, di Jawa dan Sunda dikenal dengan nama Karinding, di Bali dan Jambi juga mempunyai alat musik ini dan menggunakan nama yang sama dengan yang ada di Riau yaitu genggong.
Genggong sudah ada di Riau sejak ratusan tahun yang lalu tepatnya di daerah Kampar sekitarnya, saking larisnya, dulu genggong diperjual belikan di pasar-pasar tradisional Kampar hingga kedai kumango (kedai serba ada) di daerah tersebut. Jika ditanya dari mana asal mula genggong berada, orang tua-tua menjawab bahwa genggong ini sudah ada di Kampar dari zaman datuk dari datuk mereka, ‘’karena barang ini lahir, bukanlah barang datang’’. Pernyataan ini merupakan defenisi kuat bahwa genggong sudah berada sangat lama di Riau yang khususnya terletak di kabupaten Kampar.
Nama genggong berasal dari kata ‘Gweng-gwong’ yang merupakan bunyi khas yang dihasilkan oleh alat musik itu sendiri. Genggong dulunya difungsikan oleh masyarakat sebagai alat permainan yang rata-rata dimainkan oleh kaum muda-mudi, karena konon dulunya jika hendak menyampaikan perasaan atau menggoda lawan jenis dapat disampaikan dengan alat musik ini. Dimainkan dibawah rumah atau di samping jendela kamar sang pujaan hati sambil melontarkan syair dan pantun yang merdu dan menggoda, sehingga Semakin mahir memainkannya semakin kuatlah daya tarik atau pesona dari orang yang memainkannya.
Tren genggong pada zaman dahulu berbeda jauh dengan sekarang, karena hanya sedikit dari muda-mudi yang mengenal alat musik ini, ada juga sebagian orang yang mengenal, akan tetapi mereka cendrung menyangka bahwa genggong berasal bukanlah dari Riau melainkan dari luar daerah seperti Jawa dan Bali. Mereka bisa saja berkata demikian karena seniman di Jawa maupun Bali sudah mampu memulai menghidupkan kembali trend genggong di masyarakat seperti yang berada di daerah Bandung sekitarnya. Mereka sudah memproduksi bahkan membuat komunitas atau kelompok musik genggong ini dan mereka sudah menampilkan karya-karya mereka di tengah masyarakat dan ada juga sebagian dari komunitas mereka telah muncul di siaran televisi swasta.
Ada juga sebagian seniman musik atau musisi muda di Riau yang telah membuat karya dengan menggunakan instrument ini Seperti Zalfandri Zainal alias Matrock misalnya, beliau mengapresiasikan alat musik ini dalam bentuk sebuah garapan musik pengiring tari ‘’Seligi Tajam Bertimbal’’ karya SPN Iwan Irawan Permadi yang dipentaskan di gedung Idrus Tintin pada tahun 2009 lalu. Dan ada juga seorang musisi muda bernama Anggara Satrya, dia juga telah mengapresiasikan alat musik ini ke dalam karyanya ketika menggarap musik tari masal di kabupaten Siak tahun 2008 silam. Akan tetapi itu hanya sebagian, diperlukan banyak lagi musisi-musisi yang tahu akan genggong guna menghidupkan kembali kesenian tradisi yang hampir punah ini.
Untung saja masih ada orang-orang yang peduli dengan keberadaan alat musik ini, seperti Salman Aziz misalnya, beliau adalah tokoh seniman Kampar yang sampai sekarang memproduksi alat musik ini. Beliau membuat alat musik ini bersama salah seorang gurunya yang bernama Datuk Senaro, guru beliau adalah seorang kepala suku atau ninik mamak di Kabupaten Kampar. Beliau tinggal di Desa Tanjung, Kecamatan Bangkinang Seberang. Masih adanya pengrajin dan seniman yang mampu memproduksi alat musik ini, masih ada sedikit harapan untuk mempertahankan agar alat musik ini tidak punah dalam waktu mendatang.
Kenyataannya sekarang ini genggong sudah hampir tidak dimainkan lagi oleh kaum muda-mudi. Faktor zaman yang sudah maju dan mereka cendrung mengenyampingkan hal-hal yang berbau tradisi. Kebanyakan muda-mudi cendrung terpesona pada zaman serba canggih sehingga hampir melupakan tradisi yang ada di tanah mereka sendiri, dan ada juga faktor lain yang membuat genggong ini jarang dimainkan oleh kaum muda-mudi. Mungkin bisa saja fungsi dari genggong itu sendiri yang dianggap tabu oleh masyarakat, dikarenakan genggong dulunya digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan percintaan, merayu, dan sebagainya.
Akan tetapi hal-hal seperti ini bisa saja di alihkan ke suatu yang lebih positif, contohnya dengan dengan mengalih fungsikan genggong sebagai suatu media seni pertunjukan. Akan tetapi hal ini tidak terlepas dari dukungan Pemerintah dan para seniman Riau khususnya. Jika kita tidak menyadari kenyataan ini, dimungkinkan suatu ketika kesenian tradisi genggong khususnya akan luput dari pandangan masyarakat bahkan bisa hilang sama sekali. n
Taufiq Yendra Pratama, lahir di Bangkinang, 5 November 1990. Saat ini menuntut ilmu di FKIP Sendratasik, Universitas Islam Riau (UIR) dan tergabung di komunitas Blacan Aromatic.
Sumber: Riau Pos, 14 Juli 2013
No comments:
Post a Comment