-- Desi Sommalia Gustina
DANARTO bilang sastra sebenarnya alat untuk menerima dan memberikan pencerahan. Pernyataan ini tidaklah mengada, karena pada hakekatnya karya sastra merupakan cermin dari realitas kehidupan masyarakat. Banyak pengarang menulis karya sastra beranjak dari realitas yang ada di sekitarnya. Sori Siregar misalnya, dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa cerpen ‘’Anugerah’’ (Horison, Agustus 1973) ditulis setelah membaca sebuah berita dalam surat kabar Inggris tentang kejahatan kelompok pemuda yang dikenal dengan nama Scotch Gang. Orang-orang miskin dan gelandangan selalu menjadi sasaran mereka. Setelah membaca berita itu, Sori Siregar mulai mengamati gelandangan yang sering kelihatan di stasiun Charing Cross, London. Memperhatikan tingkah laku gelandangan tersebut menenggak minuman keras dan berjalan tersaruk-saruk. Hingga kemudian jadilah cerpen ‘’Anugerah’’ tersebut.
Hal yang sama juga dilakukan oleh cerpenis Julius R Siyaranamual, pada salah satu tulisannya yang pernah saya baca, Julius R Siyaranamual bertutur bahwa cerpen-cerpennya yang pertama ia kirim ke Horison dan Ragi Buana lebih merupakan pengungkapan kembali apa yang ia alami atau yang ia dengar semasa masih kanak-kanak. Dalam cerpen ‘’Malam Kemarau’’ (Horison, Desember 1966), Julius R Siyaranamual melukiskan kekerasan hidup dari sekelompok pengembala sapi atau tepatnya pengantar hewan dari pedalaman ke pelabuhan. Sementara, dalam cerpen ‘’Bulan Mati’’ (Horison, April 1967) ia menulis mengenai pertarungan magis yang banyak terjadi di daerah-daerah di Indonesia, terutama di Timor. Begitu juga dengan cerpennya ‘’Larut Malam’’ (Horison, Juli 1968), ia mencoba mengungkapkan pertentangan nilai-nilai dalam kehidupan tradisional.
Selain dua nama tersebut masih terdapat sejumlah pengarang lainnya. Di antaranya, Hary B Kori’un, dengan kumpulan cerpennya Tunggu Aku di Sungai Duku. Kumpulan Cerpen setebal 112 halaman ini, yang diterbitkan oleh Palagan Press (Pekanbaru, 2012), dibuka dengan cerpen berjudul ‘’Penjara’’. Cerpen ini menghadirkan potret hukum yang masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Menjadikan uang sebagai raja untuk membeli hukum itu sendiri. Seperti yang tergambar pada potongan kalimat dari cerpen ‘’Penjara’’ tersebut: ‘’Polisi, jaksa, hakim, dan wartawan itu tiba-tiba bisa tidur dengan nyenyak setelah pengusaha perkebunan menanyakan rekening bank mereka...’’ (Kori’un, 2012:5).
Selain itu, cerpen ‘’Penjara’’ ini juga menyoroti kasus salah tangkap, dialami oleh tokoh ‘’Aku’’. Tokoh ‘’Aku’’ dipaksa mengakui perbuatan yang tidak ia lakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Misalnya ketika interogasi diiringi dengan mencopot beberapa kuku kaki, menyulut kemaluan dengan rokok dan lainnya. Arogansi aparat tersebut dialami oleh tokoh ‘’Aku’’ dalam cerpen ini meskipun sebenarnya ia tidak bersalah. Hal ini terlihat pada salah satu petikan dialog berikut ini: ‘’Maria, polisi, jaksa, dan hakim boleh memenjara diriku, tetapi seumur hidup aku tak akan mengakui sesuatu yang tak pernah kulakukan.’’ (Kori’un, 2012:4).
Cerpen ‘’Penjara’’ ini juga mencoba mengangkat sisi lain dari penjara, yakni gambaran mengenai orang-orang yang berada dalam penjara, tetapi bisa leluasa keluar masuk penjara tanpa ketahuan. Hal ini seperti terlihat dari kutipan kalimat berikut: ‘’Sekali lagi kukatakan padamu, penjara ini tak bisa memenjara pikiran dan hatiku, karena aku masih sering keluar di tengah malam. Ketika semua tahanan dan sipir tertidur, diam-diam aku menyelinap lewat sebuah lorong rahasia yang kutemukan beberapa bulan yang lalu. Lubang lorong itu tidak besar, hanya sebesar tubuhku, dan aku bisa leluasa keluar masuk tanpa ketahuan siapapun...’’ (Kori’un, 2012:5).
Melalui penggalan kalimat tersebut terlihat betapa penjara tak sepenuhnya dapat mengkerangkeng kebebasan narapida. Bahkan pada kalimat selanjutnya si ‘’Aku’’ dalam cerpen ini bertutur bahwa melalui lorong rahasia tersebut dengan mudahnya ia bisa menembus jeruji penjara, jalan-jalan menghirup udara kota, makan bakso di dekat areal kampus, dan ke tempat lainnya. Hanya saja, meskipun lorong rahasia itu bisa membuat si ‘Aku’ bebas keluar masuk penjara tanpa diketahui seorang pun, toh tak membuatnya menjadi liar, ia justru memilih menjadi narapidana yang baik hati dengan tidak melarikan diri dari penjara melalui lorong rahasia tersebut walaupun si ‘Aku’ bersikukuh mengatakan bahwa sesungguhnya ia tidak bersalah. Ajaib!
Sementara itu, cerpen lainnya dalam kumpulan ini berjudul ‘’Laksmi’’. Cerpen ini bercerita tentang beragam hal. Diantaranya menyoroti tentang potret buram pendidikan di desa tertinggal. Dimana para guru diharuskan mengajar pada sebuah bangunan sekolah yang tidak layak huni. Deskripsi atas bangunan sekolah tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: ‘’Ketika aku sampai di desa tempat dia mengajar, aku dibawa oleh salah seorang tukang ojek ke sebuah sekolah dasar yang bangunannya terlihat ringkih. Atap gentengnya sudah banyak yang pecah, dindingnya yang terbuat dari semen sudah kelihatan mulai melapuk. Air masih menggenang terlihat di halaman sekolah itu. Ada enam kelas bangunan itu, dan hampir semua kursi dan mejanya terlihat lusuh dan banyak yang patah. Lantainya memang terbuat dari semen, tetapi terlihat sudah rusak di sana-sini...’’ (Kori’un, 2012: 20).
Di samping itu, cerpen ‘’Laksmi’’ ini juga bercerrita tentang cinta, kepatuhan pada orang tua, hingga bencana tsunami yang menerjang Aceh tahun 2004 lalu. Meskipun tsunami yang melanda Aceh telah lama berlalu, namun ia masih menyisakan sembilu. Membaca cerpen ‘’Laksmi’’ dalam kumpulan ini, Hary B Koriun sebagai pengarang seolah menghadirkan kembali getaran luka dari sebuah kata bernama bencana. Luka bagi korban yang masih hidup, juga bagi mereka yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Kesedihan ditinggalkan orang-orang yang dicintai begitu terasa: ‘’Aku benar-benar menangis ketika berhari-hari mengevakuasi mayat-mayat dan saat tidur di masjid di pendopo gubernuran. Aku selalu berdoa semoga Tuhan menyelamatkannya dimanapun dia kini berada. Aku berharap semoga saat air itu menghancurkan rumah yang ditinggalinya, dia sedang berada di Seulawah, Blang Bintang atau sedang bertamasya di bukit-bukit. Aku ingin Tuhan benar-benar menyelamatkannya, karena aku menyadari bahwa aku sangat mencintainya...’’ (Kori’un, 2012: 26).
Kesedihan akibat kehilangan orang yang dicintai sebagaimana yang terjadi pada tokoh ‘Aku’ dalam cerpen ‘’Laksmi’’ ini juga seirama dengan cerpen ‘’Luka Beku’’ yang juga terdapat dalam kumpulan cerpen ini. Cerpen ‘’Luka Beku’’ mengusung tema kerusuhan pada tahun 1998. Dimana dampak kerusuhan hebat tersebut menorehkan setumpuk trauma yang dibalut kebencian bagi para korban terhadap pelaku, orang-orang di sekeliling mereka, juga pada keadaan. Trauma dan kebencian yang begitu sulit dihilangkan, meski telah mencapai bilangan tahun.
Sebagaimana kita ketahui, tahun 1998 adalah momentum sejarah perubahan republik ini. Perubahan dalam banyak lini. Terutama pada sistem pemerintahan yang berjalan demikian otoriter selama berpuluh tahun, serta telah mengubur keadilan ke ceruk terdalam. Ketika itu, banyak orang berusaha untuk menegegakkan keadilan dengan menggulingkan kekuasaan saat itu. Hanya saja dalam lakunya kerap terdapat jalan terjal ketika keadilan coba untuk ditegakkan. Ironisnya, pada saat yang sama terjadi pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan seperti: tindakan main hakim sendiri, penjarahan, hingga perkosaan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang katanya menginginkan reformasi terhadap rezim otoriter yang tengah berkuasa.
Adalah Vivian, gadis Cina yang terseret menjadi tumbal keganasan peristiwa 1998. Dalam cerpen ‘’Luka Beku’’ ini Vivian dihadirkan sebagai korban kerusuhan. Vivian yang ketika itu pulang kerja bersama beberapa rekannya digiring ke sebuah tempat oleh sekelompok massa untuk diperkosa secara beramai-ramai. Dampak dari peristiwa itu membuat Vivian amat terguncang: kehilangan harga diri, trauma, dendam dan mengobarkan api kebencian. Namun, kegetiran dan kesedihan yang dirasakan Vivian juga menciptakan luka yang menganga di hati Rusdi, kekasih Vivian, ketika mendapati kenyataan ditinggalkan perempuan yang begitu ia cintai.
Kesedihan dan kelaratan hati akibat ditinggalkan orang terkasih juga terasa pada cerpen ‘’Pulang’’. Cerpen ‘’Pulang’’ bercerita tentang hubungan antara anak dengan ayah yang tidak harmonis. Akibatnya si anak yang merupakan tokoh utama dalam cerpen ini memutuskan meninggalkan rumah dan tak pernah kembali hingga belasan tahun. Ketika akhirnya si ‘Aku’ memutuskan pulang ke kampung halaman, si ayah telah lebih dahulu dipanggil oleh Allah. Kepergian si ayah menghadap Allah swt yang tak sempat menunggu kepulangan si ‘Aku’ -meski jarak mereka demikian dekat, menciptakan ending cerita yang cukup dramatis. Suasana mencekam, dengan ending yang dramatis juga dapat dirasakan pada sejumlah cerpen lainnya dalam kumpulan ini. Selamat membaca. n
Desi Sommalia Gustina, alumnus Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, dan merupakan Pimpinan Redaksi tabloid AKLaMASI tahun 2008-2009.
Sumber: Riau Pos, 14 Juli 2013
DANARTO bilang sastra sebenarnya alat untuk menerima dan memberikan pencerahan. Pernyataan ini tidaklah mengada, karena pada hakekatnya karya sastra merupakan cermin dari realitas kehidupan masyarakat. Banyak pengarang menulis karya sastra beranjak dari realitas yang ada di sekitarnya. Sori Siregar misalnya, dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa cerpen ‘’Anugerah’’ (Horison, Agustus 1973) ditulis setelah membaca sebuah berita dalam surat kabar Inggris tentang kejahatan kelompok pemuda yang dikenal dengan nama Scotch Gang. Orang-orang miskin dan gelandangan selalu menjadi sasaran mereka. Setelah membaca berita itu, Sori Siregar mulai mengamati gelandangan yang sering kelihatan di stasiun Charing Cross, London. Memperhatikan tingkah laku gelandangan tersebut menenggak minuman keras dan berjalan tersaruk-saruk. Hingga kemudian jadilah cerpen ‘’Anugerah’’ tersebut.
Hal yang sama juga dilakukan oleh cerpenis Julius R Siyaranamual, pada salah satu tulisannya yang pernah saya baca, Julius R Siyaranamual bertutur bahwa cerpen-cerpennya yang pertama ia kirim ke Horison dan Ragi Buana lebih merupakan pengungkapan kembali apa yang ia alami atau yang ia dengar semasa masih kanak-kanak. Dalam cerpen ‘’Malam Kemarau’’ (Horison, Desember 1966), Julius R Siyaranamual melukiskan kekerasan hidup dari sekelompok pengembala sapi atau tepatnya pengantar hewan dari pedalaman ke pelabuhan. Sementara, dalam cerpen ‘’Bulan Mati’’ (Horison, April 1967) ia menulis mengenai pertarungan magis yang banyak terjadi di daerah-daerah di Indonesia, terutama di Timor. Begitu juga dengan cerpennya ‘’Larut Malam’’ (Horison, Juli 1968), ia mencoba mengungkapkan pertentangan nilai-nilai dalam kehidupan tradisional.
Selain dua nama tersebut masih terdapat sejumlah pengarang lainnya. Di antaranya, Hary B Kori’un, dengan kumpulan cerpennya Tunggu Aku di Sungai Duku. Kumpulan Cerpen setebal 112 halaman ini, yang diterbitkan oleh Palagan Press (Pekanbaru, 2012), dibuka dengan cerpen berjudul ‘’Penjara’’. Cerpen ini menghadirkan potret hukum yang masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Menjadikan uang sebagai raja untuk membeli hukum itu sendiri. Seperti yang tergambar pada potongan kalimat dari cerpen ‘’Penjara’’ tersebut: ‘’Polisi, jaksa, hakim, dan wartawan itu tiba-tiba bisa tidur dengan nyenyak setelah pengusaha perkebunan menanyakan rekening bank mereka...’’ (Kori’un, 2012:5).
Selain itu, cerpen ‘’Penjara’’ ini juga menyoroti kasus salah tangkap, dialami oleh tokoh ‘’Aku’’. Tokoh ‘’Aku’’ dipaksa mengakui perbuatan yang tidak ia lakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Misalnya ketika interogasi diiringi dengan mencopot beberapa kuku kaki, menyulut kemaluan dengan rokok dan lainnya. Arogansi aparat tersebut dialami oleh tokoh ‘’Aku’’ dalam cerpen ini meskipun sebenarnya ia tidak bersalah. Hal ini terlihat pada salah satu petikan dialog berikut ini: ‘’Maria, polisi, jaksa, dan hakim boleh memenjara diriku, tetapi seumur hidup aku tak akan mengakui sesuatu yang tak pernah kulakukan.’’ (Kori’un, 2012:4).
Cerpen ‘’Penjara’’ ini juga mencoba mengangkat sisi lain dari penjara, yakni gambaran mengenai orang-orang yang berada dalam penjara, tetapi bisa leluasa keluar masuk penjara tanpa ketahuan. Hal ini seperti terlihat dari kutipan kalimat berikut: ‘’Sekali lagi kukatakan padamu, penjara ini tak bisa memenjara pikiran dan hatiku, karena aku masih sering keluar di tengah malam. Ketika semua tahanan dan sipir tertidur, diam-diam aku menyelinap lewat sebuah lorong rahasia yang kutemukan beberapa bulan yang lalu. Lubang lorong itu tidak besar, hanya sebesar tubuhku, dan aku bisa leluasa keluar masuk tanpa ketahuan siapapun...’’ (Kori’un, 2012:5).
Melalui penggalan kalimat tersebut terlihat betapa penjara tak sepenuhnya dapat mengkerangkeng kebebasan narapida. Bahkan pada kalimat selanjutnya si ‘’Aku’’ dalam cerpen ini bertutur bahwa melalui lorong rahasia tersebut dengan mudahnya ia bisa menembus jeruji penjara, jalan-jalan menghirup udara kota, makan bakso di dekat areal kampus, dan ke tempat lainnya. Hanya saja, meskipun lorong rahasia itu bisa membuat si ‘Aku’ bebas keluar masuk penjara tanpa diketahui seorang pun, toh tak membuatnya menjadi liar, ia justru memilih menjadi narapidana yang baik hati dengan tidak melarikan diri dari penjara melalui lorong rahasia tersebut walaupun si ‘Aku’ bersikukuh mengatakan bahwa sesungguhnya ia tidak bersalah. Ajaib!
Sementara itu, cerpen lainnya dalam kumpulan ini berjudul ‘’Laksmi’’. Cerpen ini bercerita tentang beragam hal. Diantaranya menyoroti tentang potret buram pendidikan di desa tertinggal. Dimana para guru diharuskan mengajar pada sebuah bangunan sekolah yang tidak layak huni. Deskripsi atas bangunan sekolah tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: ‘’Ketika aku sampai di desa tempat dia mengajar, aku dibawa oleh salah seorang tukang ojek ke sebuah sekolah dasar yang bangunannya terlihat ringkih. Atap gentengnya sudah banyak yang pecah, dindingnya yang terbuat dari semen sudah kelihatan mulai melapuk. Air masih menggenang terlihat di halaman sekolah itu. Ada enam kelas bangunan itu, dan hampir semua kursi dan mejanya terlihat lusuh dan banyak yang patah. Lantainya memang terbuat dari semen, tetapi terlihat sudah rusak di sana-sini...’’ (Kori’un, 2012: 20).
Di samping itu, cerpen ‘’Laksmi’’ ini juga bercerrita tentang cinta, kepatuhan pada orang tua, hingga bencana tsunami yang menerjang Aceh tahun 2004 lalu. Meskipun tsunami yang melanda Aceh telah lama berlalu, namun ia masih menyisakan sembilu. Membaca cerpen ‘’Laksmi’’ dalam kumpulan ini, Hary B Koriun sebagai pengarang seolah menghadirkan kembali getaran luka dari sebuah kata bernama bencana. Luka bagi korban yang masih hidup, juga bagi mereka yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Kesedihan ditinggalkan orang-orang yang dicintai begitu terasa: ‘’Aku benar-benar menangis ketika berhari-hari mengevakuasi mayat-mayat dan saat tidur di masjid di pendopo gubernuran. Aku selalu berdoa semoga Tuhan menyelamatkannya dimanapun dia kini berada. Aku berharap semoga saat air itu menghancurkan rumah yang ditinggalinya, dia sedang berada di Seulawah, Blang Bintang atau sedang bertamasya di bukit-bukit. Aku ingin Tuhan benar-benar menyelamatkannya, karena aku menyadari bahwa aku sangat mencintainya...’’ (Kori’un, 2012: 26).
Kesedihan akibat kehilangan orang yang dicintai sebagaimana yang terjadi pada tokoh ‘Aku’ dalam cerpen ‘’Laksmi’’ ini juga seirama dengan cerpen ‘’Luka Beku’’ yang juga terdapat dalam kumpulan cerpen ini. Cerpen ‘’Luka Beku’’ mengusung tema kerusuhan pada tahun 1998. Dimana dampak kerusuhan hebat tersebut menorehkan setumpuk trauma yang dibalut kebencian bagi para korban terhadap pelaku, orang-orang di sekeliling mereka, juga pada keadaan. Trauma dan kebencian yang begitu sulit dihilangkan, meski telah mencapai bilangan tahun.
Sebagaimana kita ketahui, tahun 1998 adalah momentum sejarah perubahan republik ini. Perubahan dalam banyak lini. Terutama pada sistem pemerintahan yang berjalan demikian otoriter selama berpuluh tahun, serta telah mengubur keadilan ke ceruk terdalam. Ketika itu, banyak orang berusaha untuk menegegakkan keadilan dengan menggulingkan kekuasaan saat itu. Hanya saja dalam lakunya kerap terdapat jalan terjal ketika keadilan coba untuk ditegakkan. Ironisnya, pada saat yang sama terjadi pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan seperti: tindakan main hakim sendiri, penjarahan, hingga perkosaan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang katanya menginginkan reformasi terhadap rezim otoriter yang tengah berkuasa.
Adalah Vivian, gadis Cina yang terseret menjadi tumbal keganasan peristiwa 1998. Dalam cerpen ‘’Luka Beku’’ ini Vivian dihadirkan sebagai korban kerusuhan. Vivian yang ketika itu pulang kerja bersama beberapa rekannya digiring ke sebuah tempat oleh sekelompok massa untuk diperkosa secara beramai-ramai. Dampak dari peristiwa itu membuat Vivian amat terguncang: kehilangan harga diri, trauma, dendam dan mengobarkan api kebencian. Namun, kegetiran dan kesedihan yang dirasakan Vivian juga menciptakan luka yang menganga di hati Rusdi, kekasih Vivian, ketika mendapati kenyataan ditinggalkan perempuan yang begitu ia cintai.
Kesedihan dan kelaratan hati akibat ditinggalkan orang terkasih juga terasa pada cerpen ‘’Pulang’’. Cerpen ‘’Pulang’’ bercerita tentang hubungan antara anak dengan ayah yang tidak harmonis. Akibatnya si anak yang merupakan tokoh utama dalam cerpen ini memutuskan meninggalkan rumah dan tak pernah kembali hingga belasan tahun. Ketika akhirnya si ‘Aku’ memutuskan pulang ke kampung halaman, si ayah telah lebih dahulu dipanggil oleh Allah. Kepergian si ayah menghadap Allah swt yang tak sempat menunggu kepulangan si ‘Aku’ -meski jarak mereka demikian dekat, menciptakan ending cerita yang cukup dramatis. Suasana mencekam, dengan ending yang dramatis juga dapat dirasakan pada sejumlah cerpen lainnya dalam kumpulan ini. Selamat membaca. n
Desi Sommalia Gustina, alumnus Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, dan merupakan Pimpinan Redaksi tabloid AKLaMASI tahun 2008-2009.
Sumber: Riau Pos, 14 Juli 2013
No comments:
Post a Comment