Judul buku: Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok Penulis: Suwardjono Penerbit: Ombak Tebal: 274 halaman |
JIKA sekilas membaca judul buku Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok (Pendiri Wangsa Rajasa) karya Suwardono, mungkin sempat terpikir mana nama yang benar, Ken Arok atau Ken Angrok? Padahal, nama yang umum dipakai di buku sejarah ialah Ken Arok.
Buku ini mengupas sosok Ken Angrok dengan berpegang pada kitab Pararaton atau dalam bahasa kawi disebut Kitab Raja-Raja. Kitab tanpa nama penulis itu mengungkap sejarah Ken Angrok dari lahir hingga mendirikan Kerajaan Singasari, yang sebelumnya bernama Tumapel, pada 1222.
Suwardono berpegang pada nama Ken Angrok berdasarkan pada nama dalam kitab Pararaton. Alasannya, dalam bahasa Jawa kawi (kuno), penggunaan anuswara tidak disarankan dalam penulisan bahasa Indonesia baku. Selain itu, anuswara (n) harus dibaca ‘ng’.
Penggunaan nama Ken Arok diduga bersumber pada nama yang disebutkan pada judul alih aksara Pararaton karya Brandes dalam VBG volume LXII (1920) yang berjudul Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit. Nama Ken Arok juga muncul dalam sebuah kidung berjudul Kidung Serat Arok yang kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional RI, Jakarta.
Karya sejarah lainnya yang menggunakan istilah Ken Arok yakni buku karya HM Viekke berjudul Nusantara Sejarah Indonesia. Tulisan-tulisan sejarah yang bersumber pada karya Brandes dan kidung tersebut masih menggunakan istilah Ken Arok.
Tradisi lisan
Kitab Pararaton diduga sebagai bentuk rekaman tradisi lisan yang kemudian ditulis antara 1600 dan 1613. Kitab tersebut lebih banyak mengupas kehidupan Ken Angrok dengan unsur mitologi. Misalnya tentang keberadaan Ken Angrok di dunia yang dilahirkan dari rahim Ken Endok, lantaran berhubungan dengan Batara Brahma. Sejak dalam kandungan, orangtua Ken Angrok bercerai. Ayahnya, Gajahpara, meninggal lima hari setelah Ken Endok mengakui anak di rahimnya bukan benih Gajahpara. Perceraian itu memang dikehendaki Ken Endok karena Dewa Brahma menjanjikan kelak sang anak akan membawa perubahan dan menjadi seorang pemimpin.
Saat lahir, bayi itu dibuang ibunya ke kuburan dan diasuh pencuri. Perjalanan hidup Ken Angrok bukan sebagaimana sejarah para raja yang selalu bersih tanpa cela. Justru di sinilah terlihat siapa dia. Ken Angrok hidup di dunia gelap. Mencuri, berjudi, dan mabuk sudah biasa dilakukan saat masih muda karena pengaruh lingkungan. Kemudian saat beranjak besar, ia mulai jatuh cinta dengan perempuan yang sudah menjadi istri awuku.
Ken Angrok jatuh cinta kepada Ken Dedes. Saat turun dari pedati, kain yang dipakai Ken Dedes untuk menutupi kaki tersingkap. Ken Angrok melihat ada cahaya di betisnya yang dipercaya bahwa Ken Dedes bukan perempuan biasa. Pararaton juga mengungkapkan, untuk mendapatkan Ken Dedes, tangan Ken Angrok harus berlumuran darah. Dia harus membunuh Tunggul Ametung dengan keris buatan Empu Gandring, yang nantinya akan membunuh tujuh raja di Kerajaan Singasari.
Kisah pernikahan Ken Angrok dan Ken Dedes pun cukup menarik. Penulis mencoba merekonstruksi kisah pernikahan keduanya berdasarkan kitab Pararaton, Negarakertagama, dan cerita lisan penduduk Panawijen, Malang.
Cerita lisan penduduk Panawijen di masa lampau ini akhirnya meninggalkan jejak sejarah dengan ditemukannya gua di sekitar situs Sumur Windu pada 1993. Di masa lampau disebutkan, Ken Dedes menolak menikah dengan Joko Lola dan melarikan diri masuk ke Sumur Windu (sumur yang sangat dalam). Namun tidak lama kemudian, Ken Dedes sudah menjadi istri penguasa Tumapel.
Penulis juga membahas kematian Ken Angrok yang dibunuh saat makan di waktu senja. Penulis merekonstruksikan kembali senja yang dimaksud pukul berapa, apakah pukul 17.00-18.00 atau 17.30.
Membaca buku setebal 274 halaman ini seperti melihat masa lalu Ken Angrok, pendiri Kerajaan Singasari, dengan rekonstruksi-rekonstruksi berbasis pada kitab Pararaton yang hampir separuh halaman isinya memuat tentang sosok sang raja. (Nda/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 Juli 2013
Buku ini mengupas sosok Ken Angrok dengan berpegang pada kitab Pararaton atau dalam bahasa kawi disebut Kitab Raja-Raja. Kitab tanpa nama penulis itu mengungkap sejarah Ken Angrok dari lahir hingga mendirikan Kerajaan Singasari, yang sebelumnya bernama Tumapel, pada 1222.
Suwardono berpegang pada nama Ken Angrok berdasarkan pada nama dalam kitab Pararaton. Alasannya, dalam bahasa Jawa kawi (kuno), penggunaan anuswara tidak disarankan dalam penulisan bahasa Indonesia baku. Selain itu, anuswara (n) harus dibaca ‘ng’.
Penggunaan nama Ken Arok diduga bersumber pada nama yang disebutkan pada judul alih aksara Pararaton karya Brandes dalam VBG volume LXII (1920) yang berjudul Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit. Nama Ken Arok juga muncul dalam sebuah kidung berjudul Kidung Serat Arok yang kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional RI, Jakarta.
Karya sejarah lainnya yang menggunakan istilah Ken Arok yakni buku karya HM Viekke berjudul Nusantara Sejarah Indonesia. Tulisan-tulisan sejarah yang bersumber pada karya Brandes dan kidung tersebut masih menggunakan istilah Ken Arok.
Tradisi lisan
Kitab Pararaton diduga sebagai bentuk rekaman tradisi lisan yang kemudian ditulis antara 1600 dan 1613. Kitab tersebut lebih banyak mengupas kehidupan Ken Angrok dengan unsur mitologi. Misalnya tentang keberadaan Ken Angrok di dunia yang dilahirkan dari rahim Ken Endok, lantaran berhubungan dengan Batara Brahma. Sejak dalam kandungan, orangtua Ken Angrok bercerai. Ayahnya, Gajahpara, meninggal lima hari setelah Ken Endok mengakui anak di rahimnya bukan benih Gajahpara. Perceraian itu memang dikehendaki Ken Endok karena Dewa Brahma menjanjikan kelak sang anak akan membawa perubahan dan menjadi seorang pemimpin.
Saat lahir, bayi itu dibuang ibunya ke kuburan dan diasuh pencuri. Perjalanan hidup Ken Angrok bukan sebagaimana sejarah para raja yang selalu bersih tanpa cela. Justru di sinilah terlihat siapa dia. Ken Angrok hidup di dunia gelap. Mencuri, berjudi, dan mabuk sudah biasa dilakukan saat masih muda karena pengaruh lingkungan. Kemudian saat beranjak besar, ia mulai jatuh cinta dengan perempuan yang sudah menjadi istri awuku.
Ken Angrok jatuh cinta kepada Ken Dedes. Saat turun dari pedati, kain yang dipakai Ken Dedes untuk menutupi kaki tersingkap. Ken Angrok melihat ada cahaya di betisnya yang dipercaya bahwa Ken Dedes bukan perempuan biasa. Pararaton juga mengungkapkan, untuk mendapatkan Ken Dedes, tangan Ken Angrok harus berlumuran darah. Dia harus membunuh Tunggul Ametung dengan keris buatan Empu Gandring, yang nantinya akan membunuh tujuh raja di Kerajaan Singasari.
Kisah pernikahan Ken Angrok dan Ken Dedes pun cukup menarik. Penulis mencoba merekonstruksi kisah pernikahan keduanya berdasarkan kitab Pararaton, Negarakertagama, dan cerita lisan penduduk Panawijen, Malang.
Cerita lisan penduduk Panawijen di masa lampau ini akhirnya meninggalkan jejak sejarah dengan ditemukannya gua di sekitar situs Sumur Windu pada 1993. Di masa lampau disebutkan, Ken Dedes menolak menikah dengan Joko Lola dan melarikan diri masuk ke Sumur Windu (sumur yang sangat dalam). Namun tidak lama kemudian, Ken Dedes sudah menjadi istri penguasa Tumapel.
Penulis juga membahas kematian Ken Angrok yang dibunuh saat makan di waktu senja. Penulis merekonstruksikan kembali senja yang dimaksud pukul berapa, apakah pukul 17.00-18.00 atau 17.30.
Membaca buku setebal 274 halaman ini seperti melihat masa lalu Ken Angrok, pendiri Kerajaan Singasari, dengan rekonstruksi-rekonstruksi berbasis pada kitab Pararaton yang hampir separuh halaman isinya memuat tentang sosok sang raja. (Nda/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 21 Juli 2013
No comments:
Post a Comment