Sunday, July 14, 2013

[Tifa] Kebenaran yang Memilih Bersuara

Oleh Rudi Policarpus

Maut dan Sang Perawan menceritakan kehidupan Paulina, korban penyiksaan dan pemerkosaan aparat militer. Kebenaran pasti akan terungkap.

TRAUMA PEMERKOSAAN: Pemeran Paulina Selma menodongkan pistol ke arah dr
Miranda saat geladi resik pertunjukan Maut dan Sang Perawan di Teater
Salihara, Jaksel, Kamis, (11/7). Drama yang dipentaskan Teater Satu
Lampung ini mengisahkan mantan aktivis Komunis, Paulina Selma, akibat
penyiksaan dan pemerkosaan hingga lima belas tahun pascakudeta militer.
MI/ATET DWI PRAMADIA




KUDETA bukan sekadar peralihan kekuasaan secara paksa dengan melibatkan kekuatan senjata militer. Di dalam kudeta ada tragedi kemanusiaan yang kerap kali tak tersibak oleh sejarah. Tak tersibak, karena para korban memilih bersembunyi dalam bisu yang menenggelamkan kebenaran.

Teater Satu Lampung mencoba mengangkat remah-remah kebenaran yang tersembunyi dari peristiwa kudeta militer rezim diktator Cile Agusto Pinochet pada 1974-1990 dalam pentas Maut dan Sang Perawan.

Paulina Selma (Parane Sumka Susanti) ialah seorang aktivis komunis di Cile. Sebelum 1974, ideologi itu tumbuh subur di Cile sebelum Pinochet dengan bantuan Amerika Serikat mendongkel Presiden Salvadore Allende yang beraliran sosialis.

Paulina merupakan seorang korban penyiksaan dan perkosaan oleh militer. Selama 15 tahun hingga rezim militer terdongkel dari pucuk kekuasaannya, Paulina memilih menyimpan kejadian kelam itu di sudut paling gelap untuk dirinya sendiri. Akibatnya, ia menjadi traumatik, seperti saat mendengar ketukan pintu saat malam hari, membenci sekaligus mencintai musik klasik, terutama mendengarkan repertoar Death and The Maiden karya Franz Schubert, sampai ke urusan ranjang bersama sang suami Gerry (Budi Laksana). Ia pun dicap memiliki kelainan mental oleh keluarganya.

Dendam membara

Entah karena sial atau beruntung, pada suatu malam yang kebetulan, Paulina bertemu dengan dokter Miranda (Iswadi Pratama), pemerkosanya 15 tahun silam. Miranda mampir dan menumpang tidur di rumah mereka atas undangan Gerry yang baru semalam mengenalnya.

Tutur kata yang halus sarat simpati yang keluar dari mulut Miranda membawa Paulina ke peristiwa 15 tahun silam. Meski saat diperkosa penglihatan Paulina ditutup, suara dan tutur kata Miranda masih melekat di ingatannya.

Paulina pun dibakar api dendam kepada sosok yang telah mengguratkan trauma hebat di dalam hidupnya itu. "Bukankah ketika sebuah indra mati, maka indra yang lain akan menguat untuk mengimbanginya, dokter? Saya masih ingat suara Anda, Dokter!" kata Paulina sambil mengarahkan pistol ke kepala Miranda.

"Anda masih ingat dengan musik Schubert ini, Dokter?" kata Paulina sesaat setelah menyetel musik karya komponis Austria itu. Bak mengerjakan sebuah karya seni, Miranda menyiksa dan memerkosa Paulina diiringi simfoni Death and The Maiden 15 tahun silam di sebuah kamp militer rezim Pinochet.

Miranda ialah dokter yang bekerja dengan rezim militer yang bertugas mengurus sekaligus menyiksa para tahanan politik, termasuk Paulina.

Siksaan bertubi-tubi dari Paulina tak jua membuat Miranda mengakui perbuatannya. Hal itu malah membuat Gerry semakin menyangsikan ingatan sang istri. Paulina malah memaksa Gerry agar menyeret Miranda ke pengadilan HAM yang baru didirikan di masa pemerintahan transisi.

Gerry baru saja ditunjuk presiden memimpin komisi penyelidikan kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan. Singkat cerita, Miranda akhirnya mengakui dan menyesali perbuatannya di masa silam.

Masih ada kebenaran Pementasan dengan sutradara Iswadi Pratama dan penulis lakon berkebangsaan Cile Ariel Dorfman itu ingin mengingatkan kita bahwa masih ada kebenaran yang dibiarkan terkubur di negeri ini. Karena apa yang terjadi di Cile mengingatkan kita akan sejarah kelam Indonesia yang hingga kini belum terkuak kebenaran sesungguhnya, yakni peristiwa 30 September 1965 dan kerusuhan Mei 1998.

Penguasa hanya membisu dan membiarkan sejarah kelam terseret angin hingga terlupakan. Sejarah juga mencatat, transisi kekuasaan sering memakan korban.

Namun, kebanyakan korban, dengan pelbagai alasan, memilih memendam apa yang mereka alami dalam bisu selamanya. Kalaupun bersuara, jeritan mereka sering dikalahkan oleh jargon stabilitas politik sang penguasa.    (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 14 Juli 201

No comments: