-- Rudy Policarpus
Buku Ayah tidak hanya melihat Buya Hamka sebagai cendekiawan, ulama, politikus, dan sastrawan, tapi sebagai ayah, suami, dan kepala keluarga serta sahabat.
BUKU yang mengangkat kisah kehidupan Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Buya Hamka sudah banyak dikupas. Namun, buku berjudul Ayah karangan Irfan Hamka, putra kelima Buya, diklaim penulis sedikit berbeda dengan terbitan-terbitan yang sudah ada.
Sebelum Irfan, Rusjdi Hamka, putra Hamka lainnya, juga pernah menerbitkan buku berjudul Pribadi dan Martabat Buya Hamka yang menggambarkan sosok sang ayah.
Buku setebal 320 halaman ini menyuguhkan sosok mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak hanya sekadar cendekiawan, ulama, politikus, sastrawan, tapi juga sisi Buya sebagai ayah, suami, dan kepala keluarga serta sahabat. Sebagai ulama bergelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar Mesir, Hamka dikenal memiliki sikap kerap untuk urusan akidah. Namun, di buku ini, penulis juga menampilkan karakter pemaaf dari Buya, bahkan terhadap orang yang membencinya sekalipun.
Di halaman 255, diceritakan hubungan Buya dengan mantan Presiden Soekarno. Pada pemerintahan Soekarno, pria kelahiran 17 Februari 1908 ini pernah menghabiskan waktunya selama 2 tahun 4 bulan di penjara (1964-1966). Ia ditahan tanpa proses pengadilan dengan tuduhan subversif terhadap pemerintahan Soekarno. Hingga suatu ketika, kata Irfan dalam bukunya, ajudan Presiden Soeharto, Mayjen Soeryo membawa pesan keluarga Soekarno untuk Buya.
"Pada 16 Juni 1970, Pak Soeryo datang ke rumah membawa pesan terakhir Soekarno. Isi pesan itu meminta kesediaan ayah menjadi imam salat jenazah Soekarno," tulis Irfan.
Sontak Buya bertanya kepada Mayjen Soeryo. "Jadi beliau sudah wafat," tanyanya yang dijawab anggukan kepala Mayjen Soeryo. Meski sempat dipenjara, Buya tak memelihara benih dendam kepada Soekarno. Buya malah bersyukur dipenjara karena selama di tahanan ia dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Alquran 30 juz.
Menolak Pancasila
Selama masa hidupnya, Buya dikenal teguh memegang prinsipnya, yakni menolak Pancasila sebagai dasar negara. Keteguhannya itu membuat ia dibenci Mohammad Yamin, tokoh nasionalis karena perbedaan ideologi. Yamin ialah politikus Partai Nasionalis Indonesia, sedangkan Buya berasal dari Partai Masyumi. Hingga tiba pada 1962 menjelang ajalnya, Yamin meminta Buya mendampinginya. Kembali Buya menyanggupi permintaan orang yang membenciya itu.
Buku ini juga banyak menyajikan perjalanan hidup tokoh Muhammadiyah itu mulai dari Buya kecil, selama meniti karier di Jakarta sebagai pegawai Kementerian Agama, hingga meninggal pada 24 Juli 1981.
Beberapa saat sebelum wafat, Buya meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI. Penyebabnya, pemerintah Soeharto meminta dia mencabut fatwa MUI yang mengharamkan umat Islam mengikuti perayaan dan mengucapkan selamat Natal. Sekali lagi Hamka menunjukkan keteguhannya memegang akidah.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang hadir dalam peluncuran buku Ayah pada Juni lalu, menilai Hamka sebagai sosok manusia 'hampir sempurna' untuk urusan akidah. Tidak hanya soal akidah, JK juga mengenal Hamka pintar berceramah. "Saya beberapa kali ikut ceramahnya, semuanya baru tak ada yang sama," ujarnya.
Layaknya manusia biasa, tak ada yang sempurna. Pun demikian dengan Buya di mata JK. "Masak sih mengucapkan selamat Natal saja tak boleh," ujarnya.
Buku yang diterbitkan Republika Penerbit ini mungkin tak banyak menyuguhkan hal baru soal sosok yang diberi Gelar Pahlawan Nasional pada 2011 itu. Namun, bagi penggemar Buya, buku ini layak dimiliki untuk melepaskan kerinduan terhadap sosok karismatik asal Sumatra Barat itu. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 7 Juli 2013
Buku Ayah tidak hanya melihat Buya Hamka sebagai cendekiawan, ulama, politikus, dan sastrawan, tapi sebagai ayah, suami, dan kepala keluarga serta sahabat.
Ayah... Kisah Buya Hamka Pengarang: Irfan Hamka Terbit: Jakarta, 2013 ISBN : 978-602-8997-71-3 Tebal: xxviii + 321 hlm. |
Sebelum Irfan, Rusjdi Hamka, putra Hamka lainnya, juga pernah menerbitkan buku berjudul Pribadi dan Martabat Buya Hamka yang menggambarkan sosok sang ayah.
Buku setebal 320 halaman ini menyuguhkan sosok mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak hanya sekadar cendekiawan, ulama, politikus, sastrawan, tapi juga sisi Buya sebagai ayah, suami, dan kepala keluarga serta sahabat. Sebagai ulama bergelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar Mesir, Hamka dikenal memiliki sikap kerap untuk urusan akidah. Namun, di buku ini, penulis juga menampilkan karakter pemaaf dari Buya, bahkan terhadap orang yang membencinya sekalipun.
Di halaman 255, diceritakan hubungan Buya dengan mantan Presiden Soekarno. Pada pemerintahan Soekarno, pria kelahiran 17 Februari 1908 ini pernah menghabiskan waktunya selama 2 tahun 4 bulan di penjara (1964-1966). Ia ditahan tanpa proses pengadilan dengan tuduhan subversif terhadap pemerintahan Soekarno. Hingga suatu ketika, kata Irfan dalam bukunya, ajudan Presiden Soeharto, Mayjen Soeryo membawa pesan keluarga Soekarno untuk Buya.
"Pada 16 Juni 1970, Pak Soeryo datang ke rumah membawa pesan terakhir Soekarno. Isi pesan itu meminta kesediaan ayah menjadi imam salat jenazah Soekarno," tulis Irfan.
Sontak Buya bertanya kepada Mayjen Soeryo. "Jadi beliau sudah wafat," tanyanya yang dijawab anggukan kepala Mayjen Soeryo. Meski sempat dipenjara, Buya tak memelihara benih dendam kepada Soekarno. Buya malah bersyukur dipenjara karena selama di tahanan ia dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Alquran 30 juz.
Menolak Pancasila
Selama masa hidupnya, Buya dikenal teguh memegang prinsipnya, yakni menolak Pancasila sebagai dasar negara. Keteguhannya itu membuat ia dibenci Mohammad Yamin, tokoh nasionalis karena perbedaan ideologi. Yamin ialah politikus Partai Nasionalis Indonesia, sedangkan Buya berasal dari Partai Masyumi. Hingga tiba pada 1962 menjelang ajalnya, Yamin meminta Buya mendampinginya. Kembali Buya menyanggupi permintaan orang yang membenciya itu.
Buku ini juga banyak menyajikan perjalanan hidup tokoh Muhammadiyah itu mulai dari Buya kecil, selama meniti karier di Jakarta sebagai pegawai Kementerian Agama, hingga meninggal pada 24 Juli 1981.
Beberapa saat sebelum wafat, Buya meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI. Penyebabnya, pemerintah Soeharto meminta dia mencabut fatwa MUI yang mengharamkan umat Islam mengikuti perayaan dan mengucapkan selamat Natal. Sekali lagi Hamka menunjukkan keteguhannya memegang akidah.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang hadir dalam peluncuran buku Ayah pada Juni lalu, menilai Hamka sebagai sosok manusia 'hampir sempurna' untuk urusan akidah. Tidak hanya soal akidah, JK juga mengenal Hamka pintar berceramah. "Saya beberapa kali ikut ceramahnya, semuanya baru tak ada yang sama," ujarnya.
Layaknya manusia biasa, tak ada yang sempurna. Pun demikian dengan Buya di mata JK. "Masak sih mengucapkan selamat Natal saja tak boleh," ujarnya.
Buku yang diterbitkan Republika Penerbit ini mungkin tak banyak menyuguhkan hal baru soal sosok yang diberi Gelar Pahlawan Nasional pada 2011 itu. Namun, bagi penggemar Buya, buku ini layak dimiliki untuk melepaskan kerinduan terhadap sosok karismatik asal Sumatra Barat itu. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 7 Juli 2013
No comments:
Post a Comment