Sunday, July 07, 2013

[Tifa] Membaca Ruang Lampau

-- Iwan Kurniawan

Perenungan terhadap kehidupan masa lalu membuat ia menghadirkan simbol-simbol. Penuh dengan ruang tanpa sekat.

PAMERAN LUKISAN: Pengunjung menyaksikan lukisan berjudul "Berebut
Kuasa" pada Pameran Tunggal FOOTAGES karya Idris Brandy di Galeri Cipta
III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat, (5/7). Pameran ini memamerkan
 24 lukisan yang berlangsung 3-9 Juli. MI/ATET DWI PRAMADIA
PERSOALAN elite politik dalam mengusung sosok-sosok tertentu menuju pemilihan kepala daerah hingga presiden pada pemilihan umum menjadi kritikan yang dihadirkan pelukis Idris Brandy.

Ia mencoba untuk mengingatkan kita agar kelak dapat memilih dengan hati, terutama pada sosok tertentu yang dianggap kompeten dan tentu saja memiliki keberpihakan kepada rakyat.

Pada pameran tunggal bertajuk Footages di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, ada sekelumit persoalan bangsa yang ia hadirkan. Penuh balutan yang dramatis. Karya berjudul Berebut Kuasa (180x140 cm) menunjukkan para segerombolan orang yang hendak menuju sebuah kursi takhta. Kendati hanya satu kursi yang tersaji, keinginan orang-orang begitu kuat.

“Takhta kekuasaan itu selalu nikmat untuk diburu setiap politikus. Ini yang membuat Idris mampu mengkritik lewat simbol-simbol,” ujar kurator Merwan Yusuf, akhir pekan ini.

Pada pameran yang berlangsung pada 3-9 Juli itu, ada 28 karya yang dibuat pada separuh tahun ini. Idris memetakan masa lalu yang masih memiliki keterkaitan dengan masa kininya. Semua persoalan tentang kehidupan, mulai dari politik, agama, hingga sosial, begitu khas tersaji secara berurut.

Ada yang membuat pengunjung harus melihat secara jeli setiap simbol yang ia hadirkan. Di lantai atas, misalnya, ada 10 karya yang penuh dengan ketidakberaturan. Idris sengaja membiarkan cat melelah secara semrawut dalam beberapa karya.

Namun, untuk mendapatkan kenangan masa lalunya, ia menghadirkan karya penuh objek perempuan. Itu terlihat pada karya berjudul Lelap dalam Lautan Mimpi (140x140 cm, 2013). Degradasi warna hijau kelon memberikan sebuah sabda akan awal kehidupan. Simbol hijau seakan menjadi sebuah amukan atas kehidupan yang sesungguhnya.

Dimulai dari manusia-manusia kecil yang ia simbolkan seperti sel sperma. Namun, dalam karya Lelap dalam Lautan Mimpi itu, ia menghadirkan sesosok perempuan tanpa wajah jelas yang sedang terlelap dalam tidurnya. Sekilas perempuan itu seakan serupa seperti sebatang pohon yang terjerembap ke sebuah telaga hijau, tanpa wujud, sehingga membuat kita harus menerka-nerka secara jeli.

Pada dasarnya, Idris memang pribadi yang selalu ingin mengetahui segala hal. Ia memanfaatkan bidang dua dimensional sebagai medium menampung segala energi kreativitasnya.

Tema utama karya banyak terpengaruh pergulatan atau tataran filosofi. Ia seakan mempertanyakan arti kehidupan manusia. Kenapa manusia hidup di ruang jagat raya? Apakah ada kegalauan jiwa?

Dua pertanyaan mendasar yang cukup sederhana itu ia coba tuangkan lewat Tarian Jiwa. Penuh pertanyaan atas keakuan dan keberadaan 'aku’ sebagai sosok yang hidup di atas dunia.

Titik

Perempuan dengan objek tak sempurna alias abstrak menjadi gaya yang ia mainkan dengan penuh kamuflase. Idris berani untuk tak menghadirkan segala bentuk estetika. Hal itulah yang membuatnya kukuh pada pendirian atas karya lukisannya.

Terlepas dari unsur kehidupan yang ada di sekitarnya, ia juga menghadirkan lukisan yang begitu puitis. Mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah titik pencerahan dalam karyanya.

Karya Tiga Dara (140x140 cm), Dua Posisi (140x140 cm), Darah Keringat dan Air Mata (90x120 cm), Pergulatan (140x100 cm), dan Mengejar Impian (120x120 cm) cukup khas.

Pada Mengejar Impian, misalnya, ada sesosok orang yang sedang menari balet. Itu menunjukkan Idris penuh dengan sebuah impian lewat tarian yang ia hadirkan untuk menghilangkan kecemasan dalam hidupnya.

Terlepas dari unsur pengalaman selama tumbuh di Tanah Air, ada yang menarik karena ia mencoba mengabadikan kenangan-kenangan saat berkunjung ke Paris, Prancis. Maklum, istrinya, Marie laure Frinzi, berkewarganegaraan Prancis sehingga ada sedikit pengaruh dalam perjalanan melukisnya.

“Permainan simbol memang pengaruh Barat. Namun, bukan berarti saya mengadopsi,” aku Idris.

Mencermati 28 karya Idris seakan membuat kita tak masuk ke ruang estetika. Ia mencoba untuk bertolak dari realitas dan mencoba membaca ruang lampau bersama kenangan lewat kanvas. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 7 Juli 2013 

No comments: