Sunday, May 31, 2009

Visi Kebudayaan

-- Zawawi Imron

ADA orang bertanya kepada saya tentang ''visi kebudayaan''. Saya menjawabnya dengan definisi. Tapi ia merasa malah tidak mengerti. Mungkin karena definisi itu dirasa kaku. Urus punya urus, ia ingin jawaban yang sesuai dengan yang ia pahami selama ini, bahwa visi kebudayaan itu adalah yang banyak memberi bantuan kepada kegiatan kesenian. Ada dana untuk pentas teater, lomba baca puisi, atau kegiatan seni lainnya yang dibuka oleh pejabat.

Pendapat seperti itu tidak terlalu salah, tapi ada ketidakbenarannya. Visi kebudayaan yang sehat akan memandang hari esok dengan mata jiwa yang nyalang menatap hari esok dengan gairah yang tidak akan berbohong terhadap hidup dan hati nurani untuk menempatkan kebudayaan sebagai upaya mengembangkan dan menyempurnakan kehidupan yang tertib, adil beradab, kreatif, dan berpikir positif sehingga atmosfer kemanusiaan di dunia ini terasa menyenangkan.

Dalam visi kebudayaan, semua manusia bersaudara dan saling menghormati tidak boleh saling menyakiti dan saling merugikan. Politik dalam visi kebudayaan akan dijadikan sarana demokrasi untuk membentuk pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan mampu membawa bangsa menjadi berdaya. Dan uang bukan sarana untuk menggoyahkan hati rakyat yang berjiwa murni menjadi pragmatis dan materialistis. Tanpa visi kebudayaan, politik bisa menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, dan tidak akan terpikir bahwa money politic sebenarnya menggebiri kedewasaan rakyat dalam berpolitik. Jika hal itu yang ini terjadi, apa yang bisa kita harapkan dari demokrasi yang kotor seperti itu.

Dengan demikian, politik yang menunjang kebudayaan bukan pembodohan terhadap rakyat dengan janji-janji gombal dan retorika yang memukau tanpa substansi. Partai yang diurus oleh orang-orang yang punya visi kebudayaan akan berusaha untuk mencerdaskan dan memberdayakan rakyat atau kontituennya. Partai bisa berfungsi memberi pendampingan pada rakyat yang terpinggirkan. Kalau perlu melebihi LSM.

Kebudayaan, sekali lagi, bukan cuma selingkar kesenian, tapi kebudayaan yang luas yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pemberdayaan yang memberi harkat, martabat, kemajuan dalam segala bidang kehidupan. Dalam visi ini, sebuah bangsa akan dipersiapkan untuk mampu berdiri di atas kaki sendiri tanpa bergantung dan tergantung pada belas kasihan bangsa lain.

Dalam keadaan masih miskin, pada awal kemerdekaan, bangsa Indonesia mampu menunjukkan martabat dan harga dirinya di tengah-tengah arus pergolakan politik dunia dengan jiwa yang bersih, akhlak yang mulia, dan diplomasi yang lahir dari hati yang jujur dan akal sehat kolektif. Integritas moral seperti itu ternyata mampu menarik simpati dunia untuk bersahabat dan mendukung kedaulatan RI.

Barangkali perlu kita merenungkan percikan pikiran Gus Mus (KH Mustofa Bisri) yang Sabtu kemarin (30/5) mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta. Menurut Gus Mus dalam berbagai pertemuan, visi kebudayaan yang mampu mewarnai gairah politik akan membuat kegiatan politik dan penyelenggaraan negara berjalan santun dan ditujukan untuk kebersamaan. Ekonomi yang berbudaya akan melahirkan kesejahteraan bersama.

Tetapi ketika politik yang menguasai kebudayaan, pada pelaksanaannya, kebudayaan bisa jadi alat kekuasaan. Seniman dan budayawan sebagian akan menjadi kaki tangan kekuasaan. Dalam kebudayaan yang takluk di bawah kaki kekuasaan, visi kebudayaan akan kabur dan perkembangan kebudayaan tidak akan jelas juntrungnya.

Dalam kekuasaan yang punya visi kebudayaan dan didukung oleh pemimpin-pemimpin yang mempunyai refleksi kebudayaan, bangsa dan negara bagaikan bahtera yang menuju zaman gemilang.

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 31 Mei 2009

Dewan Kesenian Indonesia di Depan Mata

-- Henri Nurcahyo

PERTEMUAN Dewan Kesenian Tingkat Provinsi se-Indonesia di Malang, 21-23 Mei lalu sepakat untuk menindaklanjuti keputusan Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia di Papua 2005 tentang pembentukan Dewan Kesenian Indonesia (DKI). Keputusan itu lahir dari perdebatan panjang para delegasi dari 17 provinsi yang hadir dalam pertemuan tersebut.

Gagasan pembentukan DKI memang kontroversial. Sejumlah penolakan sudah muncul di arena kongres di Papua. Ketika dilangsungkan Kongres Kesenian II di Jakarta pada 2005, juga muncul unjuk rasa para seniman yang menolak pembentukan DKI.

Suara penolakan makin keras ketika dilangsungkan Pertemuan Dewan Kesenian se-Indonesia akhir 2008. Tidak berhenti di situ, menjelang pertemuan di Malang kemarin, suara-suara penolakan masih terus beredar lewat SMS, e-mail, telepon, bahkan di arena pertemuan.

Pertanyaannya, apakah hal itu lantas diartikan pembentukan DKI memang tidak dikehendaki seniman? Menurut Marco Kusumawijaya, ketua umum Dewan Kesenian Jakarta, ''Perbedaan pendapat itu jangan lantas membuat kita makin terpisah, tapi justru harus menjadi dekat.''

Setuju dan tidak setuju itu biasa. Kalau menelaah suara-suara penolakan DKI, rata-rata mereka mengkhawatirkan adanya sentralisasi Dewan Kesenian sehingga menjadi semacam pemerintahan pusat yang membawahi DK seluruh Indonesia. Itu sebabnya ketika mendengar adanya pertemuan DK Provinsi se-Indonesia di Malang, muncul suara-suara yang menolak dan menganggap bahwa DK provinsi mengklaim suara DK kabupaten/kota. Bahwa DK kabupaten/kota bukanlah bawahan DK provinsi, sehingga seharusnya mereka berhak ikut.

Sampai di sini dapat ditangkap adanya standar ganda dalam memahami DK itu sendiri. Di satu sisi DK kabupaten/kota menganggap dirinya bukan bawahan DK provinsi (kenyataannya memang begitu). Logikanya, apa salahnya DK-DK provinsi melakukan pertemuan sendiri? DK kabupaten/kota tidak perlu merasa sewot dengan pertemuan tersebut, sepanjang kehadiran DK provinsi tidak membuat kesepakatan yang mengikat dan mengatasnamakan DK kabupaten/kota. Hal itu tentunya sudah disadari oleh DK provinsi sendiri.

Analog dengan hal itu, menjadi sah juga kalau misalnya DK kabupaten/kota mengadakan pertemuan sendiri tanpa melibatkan DK provinsi. Bisa saja digelar pertemuan antar DK se-Jatim, se-Jawa, bahkan se-Indonesia. Sejak semula sudah sama-sama menyadari, bahwa tidak ada hubungan hirarkis struktural di antara Dewan Kesenian.

Jadi, kalau di Papua muncul gagasan pembentukan DKI, dan kemudian ditindaklanjuti pertemuan di Malang, sepanjang tidak menjadi lembaga yang hirarkis struktural, apa yang salah? Kalau mau menang-menangan, pembentukan DKI tidak membutuhkan pengakuan de jure dari DK provinsi, ataupun DK kabypaten/kota. Bukankah ketika dibentuk DK provinsi juga tidak membutuhkan pengakuan formal dari DK kabupaten/kota? Mengapa DK kabupaten/kota dapat menerima begitu saja pembentukan DK provinsi? Hal ini tidak lain karena kehadiran DK provinsi memang tidak menjadi atasan langsung DK kabupaten/kota.

Nah, kalau persoalan ini diberlakukan dengan pembentukan DKI, apa yang perlu diributkan? Masing-masing DK provinsi tentu sangat yakin bahwa mereka tidak mau menjadi underbouw DKI. Sebagaimana DK kabupaten/kota selama ini juga tidak menjadi underbouw DK provinsi.

Memang, ada juga suara yang mengkritisi bahwa kelahiran DKI nanti akan menjadi birokrasi baru yang didominasi orang-orang Jakarta. Justru Marco sendiri yang menawarkan gagasan bentuk lain dari DKI. Misalnya, semacam Federasi Dewan Kesenian se-Indonesia. Kalau itu yang dikhawatirkan, maka format DKI nanti tinggal dibuat sedemikian rupa agar tidak Jakarta Centris, melainkan menjadi semacam federasi.

Posisi Tawar

Lepas dari kontroversi itu, sebetulnya sudah lama disadari adanya semacam institusi DK di tingkat nasional agar memiliki posisi tawar yang seimbang dengan pemerintah pusat. Kalau DK kabupaten selevel dengan bupati, DK kota dengan wali kota, DK provinsi dengan gubernur, nah institusi apa yang selevel dengan presiden? Itu sebabnya pada 1990-an pernah dibentuk Badan Kontak Dewan Kesenian Indonesia dengan menunjuk Salim Said, ketua DKJ waktu itu, sebagai ketua Badan Kontak.

Hasil kongkritnya, lahir Instruksi Mendagri No 5A tahun 1993 tentang pembentukan DK provinsi di seluruh Indonesia, menyusul turunnya bantuan presiden untuk pengembangan kesenian sekitar 1998 dan 1999 yang dinikmati DK-DK se-Indonesia.

Lagi-lagi muncul pertanyaan, kalau Badan Kontak sudah dianggap dapat menjadi solusi institusi DK secara nasional, mengapa harus ada DKI? Jawabannya juga sama dengan di atas, format DKI nanti dapat mengadopsi bentuk Badan Kontak itu. Jadi, federasi, Badan Kontak atau DKI, sebetulnya hanya persoalan nama belaka. Substansinya sama saja. Hal-hal yang merugikan disingkirkan, dan yang menguntungkan diadopsi. Sebisa mungkin menghindari konflik.

Kabar terakhir, ternyata DKI selama ini sudah menggelinding. Kongres DK di Papua sudah membentuk tim formatur yang terdiri dari 15 orang dengan ketua Ratna Sarumpaet (saat itu ketua DKJ, namun bertindak atas nama pribadi). Pertemuan DK provinsi di Malang kemarin yang mencoba menindaklanjuti kerja tim formatur Papua itu, yang kebetulan 7 dari 15 anggotanya hadir di Malang.

Pertemuan di Malang itu juga menghasilkan sejumlah rekomendasi. Pertama, untuk memfasilitasi kerja koordinatif di tingkat nasional, Pertemuan Nasional Dewan Kesenian Provinsi se-Indonesia di Malang sepakat dan mendorong terbentuknya Dewan Kesenian Indonesia sebagai tindak lanjut keputusan Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia di Papua 2005 dan pernyataan Presiden Republik Indonesia melalui telekonferensi pada acara penutupan Kongres Dewan Kesenian se- Indonesia di Papua itu. Kedua, mengharapkan tim formatur Kongres DK di Papua agar segera menyampaikan capaian-capaian tugas dan proses pembentukan Dewan Kesenian Indonesia kepada seluruh DK se-Indonesia. Hal itu mengingat bahwa Dewan Kesenian Indonesia menjadi kebutuhan mendesak untuk berperan dalam proses pembangunan kesenian di Indonesia.

Ketiga, proses pembentukan Dewan Kesenian Indonesia harus mempertimbangkan dan mengkaji segala masukan yang berkaitan dengan pembentukan Dewan Kesenian Indonesia.

Keempat, mendesak pemerintah untuk membuat regulasi terhadap penguatan institusi DK sebagai lembaga publik dalam hal posisi, peran, dan fungsinya agar mampu secara optimal berpartisipasi dalam proses pembangunan. Untuk itu perlu meningkatkan Instruksi Mendagri No. 5A Tahun 1993 ke dalam bentuk landasan hukum lebih tinggi yang diakui sebagai peraturan di Indonesia.

Kelima, menugaskan kepada Dewan Kesenian Jakarta sebagai Badan Kontak Dewan Kesenian se-Indonesia untuk melakukan langkah-langkah strategis. Yakni, mengundang dan berdialog dengan tim formatur pembentukan Dewan Kesenian Indonesia; menyampaikan hasil pertemuan kepada pemerintah dan ketiga calon presiden RI; dan menjadi mediator pertemuan ketua dewan kesenian provinsi se-Indonesia dan tim formatur dengan presiden untuk mewujudkan terbentuknya Dewan Kesenian Indonesia. (*)

* Henri Nurcahyo, Anggota Pleno Dewan Kesenian Jawa Timur

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 31 Mei 2009

Bahasa yang Melegitimasi

-- Munawir Aziz*

MOMENTUM pilpres 8 Juli 2009 ini, akan semakin ramai dengan perang jargon, kompetisi simbol, dan kontestasi legitimasi diri antarsetiap pasangan. Setelah melewati detik-detik saling menutup diri, saling mengintip strategi, akhirnya ketiga pasangan capres-cawapres hadir merebut simpati pemilih. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpasangan dengan Boediono (SBY-Boediono), Jusuf Kalla (JK)-Wiranto (JK-Win), dan Megawati Soekaarnoputri-Prabowo Subianto (Mega-Pro), sepakat bertarung untuk menjadi pemimpin negeri ini.

Luka dan dendam selepas pemilu legislatif, yang bermuara pada eksistensi partai, bercampur dengan hasrat serta fokus memperebutkan kursi presiden-wakil presiden. Catatan dan riwayat hidup ketiga pasangan capres-cawapres mulai ramai menyesaki halaman koran, menghidupkan perbincangan di televisi, maupun obrolan ringan di media internet. Riwayat SBY sebagai presiden 2004-2009, dengan setumpuk catatan atas prestasi, musibah, dan kebimbangan untuk mengartikulasikan sosok santun dan hati-hati. Boediono, dengan kapasitas sebagai ekonom tangguh, diperbincangkan dengan pertarungan karakter yang dahsyat; antara pendekar ekonomi dan antek asing. Jusuf Kalla, hadir dengan karakter tegas, gaya ucap ceplas-ceplos, namun bertindak cekatan. Wiranto mulai membangun stigma kalem, santun, dan baik hati, namun tak bisa menghindari catatan buram atas riwayat militer yang menjadi tangga kariernya.

Megawati, sebagai tokoh oposisi, mewarisi daya juang Bung Karno, walaupun tak bisa mengakomodasi semua nilai dan praktik perjuangan ayahnya. Sosok mantan presiden selepas Gus Dur ini, masih terkesan "pendiam" dan belum mengartikulasikan kecerdasan dan ketegasan Soekarno dalam strategi politik yang dibangun. Wakilnya, Prabowo Subianto, belum bisa melepaskan diri dari noktah hitam pelanggaran HAM, ketika berkuasa sebagai tokoh militer. Namun belakangan, citra Prabowo sudah didongkrak habis dengan iklan, gerakan politik dan laju partainya yang didukung beragam tokoh. Pertarungan karakter tiga pasangan ini, saling melawan, kadang menjaga jarak, membangun benteng pribadi, dan menyusun stigma diri.

Namun, yang penting diamati dalam kompetisi politik di pilpres 2009, adalah pertarungan bahasa untuk menyusun legitimasi diri. Ruang politik riuh dengan kompetisi bahasa, yang menohok, menyindir, namun kadang dilapisi selaput untuk pertahanan diri. Sindiran kerap muncul di seminar, rapat partai, maupun di sela-sela menghadiri hajatan publik. Media mengukuhkan pertarungan bahasa dalam jejaring kata dan berita. Pertarungan simbol dan citra saling melengkapi diri untuk membangun legitimasi.

SBY-Boediono memanggungkan jargon "bekerja keras untuk rakyat". Kerja pemerintah difokuskan sebagai usaha untuk kesejahteraan rakyat semata. Rakyat hadir sebagai tujuan, namun kerap dikesampingkan.

JK-Wiranto hadir dengan jargon "lebih cepat, lebih baik". Kecepatan ditempatkan sebagai prasyarat untuk mengukuhkan diri yang lebih baik. Istilah "cepat" hadir untuk memukul "lambat serta hati-hati", yang selama ini disandang SBY. Sindiran hadir untuk menggoyang citra lawan, sambil terus berlari menyusun legitimasi diri.

Pasangan Megawati-Prabowo, menahbiskan diri dengan berjuang "membangun ekonomi kerakyatan". Isu yang kerap berdengung ini, merupakan modal penyusun karakter prorakyat. Dimensi ekonomi menguatkan jejaring tanda yang hadir dengan sekian catatan, perenungan dan tujuan untuk menggapai simpati. Jargon-jargon saling berlawanan, menggoyang, merobohkan, namun tetap saja berusaha serius membangun legitimasi dirinya sendiri.

Perang jargon akan semakin riuh, seiring dekatnya gerbang Pemilu Presiden (Pilpres) 2009. Panggung politik ramai dengan perang bahasa, citra, dan pesona, namun absen dari kegigihan memperjuangkan ideologi. Tiga pasangan capres-cawapres juga memakai jurus komunikasi agar dekat dengan telinga konstituen, dengan istilah ringkas dan bernas. Istilah ini menunjukkan optimisme, pesona, citra, namun juga harapan.

SBY Berboedi, muncul dalam deklarasi pasangan SBY-Boediono, di Bandung, 15 Mei lalu. Walaupun cepat-cepat diganti, karena desakan partai pendukung serta pertaruhan politis, namun istilah ini menghadirkan jejak di ring kompetisi pilpres. JK-Wiranto memunculkan harapan kemenangan lewat "JK-Win". Optimisme ditebarkan dengan permainan tanda untuk merengkuh kuasa. Mega-Pro, menjadi tanda komunikasi efektif bagi tim kemenangan Megawati-Prabowo Subianto. Pemilihan istilah ini tentu untuk menarik garis simpati agar mendukung pasangan capres-cawapres dari PDIP-Gerindra.

Pertarungan bahasa akan terus memanas dengan lahirnya jargon dan tanda baru yang disematkan untuk membangun cita diri. Inilah kompetisi politik yang disesaki dengan bahasa yang menyusun legitimasi diri.***

* Munawir Aziz, pemerhati bahasa, peneliti di Cepdes, Jakarta

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Mei 2009

Paul Celan, Candu dan Ingatan

-- Sulaiman Djaya*

Sang kata, pada siapa kau pamit,
menyambutmu di gerbang.
Dan yang telah menyentuhmu
di sini-tangkai, kalbu, bunga -
di sana telah lama jadi tamu
dan tak bakal lagi menyentuhmu

(Paul Celan, "Die Feste Burg").

DALAM esainya Schibboleth pour Paul Celan Jacques Derrida memandang Paul Celan sebagai penyair dengan bahasa yang tercabik-cabik. Bahasa yang berkubang di antara luka dan ingatan. Akan tetapi, bagi saya, sajak-sajak Celan adalah tangis bisu melankoli. Campuran antara dendam, rasa bersalah, dan penyesalan diri yang tak berkesudahan. Kenangan dan ingatan sebagai hantu yang terus-menerus hadir, memabukkan, dan menyakitkan layaknya candu.

Celan adalah korban, ketika identitas dilekatkan pada tubuh. Tubuh yang didefinisikan secara politis dan rasis, tubuh yang telah ditandai "cap bakar" ("Brandmal"): "Tak lagi kita tidur, sebab terbaring di detik kemurungan, dan kita rentang jarum jam seolah ranting, dan ia melenting kembali, mencambuk sang waktu hingga berdarah".

Sajak tersebut sepenuhnya surealistis, meski Celan sendiri menolak penyebutan "surealis" untuk sajak-sajaknya, sebab metafor yang dibangun dan teknik pengalihan yang dilakukan untuk menggambarkan sebuah pengalaman atau pun peristiwa demikian "sureal". Sajak-sajaknya lebih mengedepankan fantasi dan pelukisan suasana batin, mirip upaya transendensi, yang dengan itu pula kita bisa menilai keunikan dan kelebihan sajak-sajak Celan dari penyair-penyair Jerman yang lainnya, semisal Goethe dan Brecht.

Dua kutipan yang diambil dari dua sajak yang berjudul "Mandorla" dan "Tenebrae" tersebut adalah ekspresi kemarahan dan gugatan.

Akan tetapi, Derrida punya pendapat lain. Sajak-sajak Celan menurutnya adalah ingatan tentang ingatan itu sendiri. Sebentuk penghapusan diri. Sejenis tujuan yang lahir dan lenyap, diri sebagai setitik jejak samar dalam sejarah. Karena bagi Derrida, ingatan itu sendiri adalah kekaburan, seperti candu yang membuat seseorang mabuk dan limbung. Ingatan adalah tanda yang tidak dapat dibaca dan dijelaskan, karena didasarkan pada kehilangan. Ingatan adalah candu yang memabukkan.

Ingatan dan kenangan yang memabukkan seperti candu tersebut adalah juga ingatan yang muram. Yang bila meminjam istilahnya Agus R. Sarjono, seperti ketika seseorang "berada di tengah gelap musim dingin" yang indah dan menggigil.

Kemuraman sajak-sajak Celan yang mengental sekaligus indah tersebut setidak-tidaknya terasa juga dalam salah-satu sajaknya yang berjudul "Die Feste Burg": "Kutahu rumah paling malam dari segala rumah: suatu mata yang jauh lebih dalam dari matamu mengintai di situ. Di atapnya berkibar benderaderita yang lebar: bahan hijaunya -tak kau tahu kau lah yang menenunnya, juga terbang demikian tinggi, seolah bukan kau tenun sendiri. Sang kata, pada siapa kau pamit, menyambutmu di gerbang.

**

TEMA yang ingin dilukiskan dalam "Die Feste Burg" sesungguhnya tidak berbeda dengan "Espenbaum". Sajak itu masih bercerita ihwal kenangan dan ingatan seseorang yang telah tiada. Seseorang yang juga telah menjadi korban "cap bakar". Begitu juga di sisi lain, seperti yang telah dipaparkan oleh Berthold Damshauser, tema-tema yang ingin disampaikan, diceritakan, dan diungkapkan oleh Celan sebenarnya tidak jauh dari tema dan cerita yang ada dalam sajak "Brandmal", "Tenebrae", "Mandorla", "Todesfuge", dan "Corona".

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sajak-sajak Celan adalah partita elegi dan nyanyian penghiburan diri tentang kematian dan ingatan atau pun kenangan tentang kematian itu sendiri. Tentang orang-orang yang dikorbankan. Lima sajak tersebut menurut saya cukup mewakili semua sajak yang ada dalam buku kumpulan Candu Dan Ingatan, terjemahan dari Bahasa Jerman ke Bahasa Indonesia yang dikerjakan Berthold Damshauser dan Agus R. Sarjono.

Dari itu semua, apa yang ingin disampaikan secara tersirat oleh sajak-sajak Celan tak lain adalah sejarah, pengorbanan, perjanjian, dan penebusan, yang adalah juga tema-tema penting dalam Judaisme. Dan Celan sendiri sebagai penyairnya berkubang dalam tema-tema tersebut.

Namun, Celan bukan hanya korban dari politik rasisme dan rasisme politik dalam sejarah kelam totalitarianisme modern, ia adalah korban "trauma" yang tak mendapatkan obatnya. Sajak-sajak yang ditulisnya merupakan usaha tanpa henti untuk melakukan "penyembuhan luka batin" akibat terlampau tenggelam dalam "candu-ingatan" yang kadung menjelma "kegilaan melankolik" dan paranoia amat parah.

Dalam "Todesfuge", dendam dan amarah tersebut menjelma kehendak untuk membuka sisi barbar sebuah politik dan kekuasaan yang telah menjadi "mesin kepatuhan" dan "pelayan" kesemena-menaan Hitler sang diktator yang oleh Celan disebut sebagai "Sang Maut" yang tak lain adalah "Maestro dari Jerman": "Susu hitam dinihari kami reguk saat senja, kami reguk siang dan pagi, kami reguk malam, kami reguk dan reguk, kami gali kuburan di udara, di sana orang berbaring tak berdesakan. Seseorang lelaki tinggal di rumah, ia bermain dengan ular, ia menulis, ia menulis ke Jerman kala senja tiba rambutmu kencana Margarete, ia menulisnya dan berjalan keluar, dan bintang berkerlip ia bersuit memanggil herdernya, ia bersuit memanggil Yahudinya, dan menyuruhnya menggali kuburan di tanah, ia perintah kami ayo mainkan irama dansa".

**

Sementara itu, dari sisi biografis, kehidupan Celan merupakan ikhtiar pelarian tanpa henti yang bila meminjam frasenya Berthold Damshauser, sebagai seorang "yatim piatu abadi". Ia selalu merasa diri sebagai orang asing yang tak punya negara. Mirip nasib yang juga dialami oleh penyair Jerman lainnya, Heinrich Heine.

Celan adalah seseorang yang terpenjara dalam spiral ingatan akan masa silam yang memabukkan. Usahanya untuk menghilangkan trauma dengan menulis sajak justru semakin menguatkan ingatan akan peristiwa dan pengalamannya di masa silam.

Celan, yang bila kita kembali mengafirmasi jalan pikirnya Derrida, adalah kasus ekstrem sebuah korban dari trauma dan kekerasan yang jatuh dalam kekerasan lainnya, penghancuran diri, dan penghapusan diri. Dengan bunuh diri, Celan melakukan "holocaust" terhadap dirinya sendiri. Karena ia percaya, hanya kematian dan pelenyapan diri yang akan mengakhiri penderitaan batin dan kegilaannya akibat candu-ingatan.***

* Sulaiman Djaya, Penggiat Kubah Budaya Serang dan Forum Mahasiswa Ciputat.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Mei 2009

Budaya Politik Sunda

-- Atip Tartiana*

JUMLAH pemilih di Jawa Barat yang mencapai angka fantastik dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Juli nanti diprediksi bakal menyedot perhatian hingga menjadi rebutan setiap pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Lalu, bagaimana kecenderungan pilihan politik masyarakat Sunda dalam Pilpres kali ini?

Jika dilihat berdasarkan pendekatan simbolik, pilihan politik masyarakat Sunda tentu bakal terekspresikan dengan memberikan perhatian penuh atau dukungan yang lebih kuat kepada sistem atau individu politik yang berlabel Sunda dan Islam atau salah satu di antaranya. Maklum, banyak literatur menyebutkan, Sunda dan Islam sebagai parameter penting budaya politik Sunda. Disebutkan pula, adat Sunda dan agama Islam sudah lama saling mengadaptasi, menunjang, dan menyinergikan diri dalam diri Ki Sunda. Ki Sunda pun diidealisasi sebagai Sunda adalah Islam dan Islam adalah Sunda.

Banyak contoh yang menggambarkan relasi harmonis antara Sunda dengan Islam. Cerita Lutung Kasarung, misalnya, dinilai mirip dengan ajaran suluk dalam Islam yang mencita-citakan insan kamil. Legenda Lutung Kasarung disebutkan mirip dengan kisah Isra Miraj Nabi Muhammad saw. dan kisah Nabi Adam as yang "terusir" dari surga karena melakukan hal yang dilarang. Peribahasa silih asah, silih asih, silih asuh juga dinilai mirip dengan pesan dan perintah Allah SWT untuk saling menyayangi, mengingatkan, dan melindungi antarsesama manusia.

Perkawinan antara adat Sunda dan Islam menggiring akibat tidak saja mencairnya batas-batas eksklusif keduanya, tapi selanjutnya mengonstruksi budaya Sunda itu sendiri. Dalam konteks politik, perkawinan keduanya turut mematangkan budaya politik lokal Sunda. Tidaklah mengherankan jika simbol Sunda dengan Islam dianggap bakal lebih mewarnai orientasi dan perilaku politik orang Sunda dalam menghadapi setiap mementum politik. Masalahnya, dalam pemilu presiden (pilpres) kali ini tak seorang pun capres/cawapres berlatar belakang Sunda sebagai etnis mayoritas di Jabar.

Namun, kalaupun ada capres/cawapres berlatar belakang Sunda atau beririsan kuat dengan ormas Islam, tesis tersebut belum tentu benar. Maklum, budaya politik tidaklah berjalan statis, bahkan bisa berjalan sangat dinamis seiring dengan perkembangan kognisi politik masyarakat pendukungnya. Untuk itu, mari kita uji tesis tersebut dengan menengok Pilpres 2004.

Pada Pilpres yang pertama kali melibatkan rakyat sebagai pemilih tersebut, capres Hamzah Haz dan cawapres Agum Gumelar dinilai sebagai pasangan ideal Ki Sunda. Agum sendiri dinilai sangat layak dikatakan sebagai ikon politik masyarakat Sunda. Alasannya, Hamzah berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), parpol berbasis massa Islam; sedangkan Agum tak diragukan lagi identitasnya sebagai putra Sunda pituin yang sejak lahir di Tasikmalaya memeluk Islam sebagaimana agama yang dianut leluhurnya.

Bermodalkan kedua alasan tersebut, di atas kertas, Hamzah-Agum akan mendapat dukungan kuat dari masyarakat Sunda. Namun, kenyataannya justru berbanding terbalik. Raihan suara Hamzah-Agum di Jabar hanya 3,37 persen dari akumulasi suara keseluruhan. Padahal, Agum mendapat dukungan Paguyuban Pasundan, ormas etnonasionalis tertua dan terbesar di Jabar.

Jika tidak kepada Hamzah-Agum, masyarakat Sunda diprediksi lebih memungkinkan menjatuhkan pilihannya kepada capres/cawapres dari kalangan santri seperti capres Amien Rais (Muhammadiyah), cawapres Hasyim Muzadi (NU), dan cawapres Solahudin Wahid (NU). Namun, lagi-lagi ketiganya tak mampu menjadi jaminan bagi pasangannya untuk meraih suara terbanyak dari masyarakat Sunda.

Suara dominan di Jabar justru diraih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusup Kalla (SBY-JK) dengan suara 32,22 persen. Padahal, selain tidak dikenal di kalangan masyarakat Sunda dan ormas-ormas kesundaan, SBY juga saat itu tidak dikenal di kalangan Islam baik Muhamadiyah, NU, maupun Persatuan Islam (Persis) yang merupakan basis-basis Islam di Jabar. Begitu pula JK, meski orang NU, saat itu tidak terlalu dikenal di kalangan Nahdliyin-Sunda dan masyarakat Jabar.

Gejala ini boleh jadi menandakan masyarakat Sunda sudah tercerabut dari romantisme simbolik kesundaan --yang sering "diajarkan" sejarawan dan budayawan-- sehingga tidak tertarik memilih Agum yang beretnis Sunda. Budaya politik Sunda telah terlepas dari ikatan-ikatan ideologis yang secara kultural dan historis telah membalut Ki Sunda. Ki Sunda politik telah terdekonstruksi, meninggalkan masa lalu dan selanjutnya mengonstruksi budaya politik inklusif-realistik.

Orientasi dan perilaku politik masyarakat Sunda dalam Pilpres 2004 tampaknya bakal semakin menguat dalam Pilpres 2009. Kebanyakan orang Sunda secara politis tidak tertarik dengan simbol --untuk membedakannya dengan ruh dan nilai-- Sunda dan simbol Islam. Apalagi, dengan tiadanya capres/cawapres yang berlatar belakang Sunda dan berasal dari kalangan santri, munculnya godaan tarik-menarik dukungan dengan menjual simbol Sunda dan Islam tak akan sekuat pada Pilpres 2004.

Oleh karena itulah, setiap capres/cawapres dituntut cerdas dan kreatif dalam berkampanye di area politik masyarakat Sunda. Upaya capres/cawapres bersilaturahmi dengan para sesepuh Sunda atau berbagai ormas kesundaan tentu bukan langkah yang keliru, apalagi dilarang. Namun, jika tiba-tiba capres/cawapres mengklaim Sunda memiliki irisan kuat dengan identitas dirinya atau memiliki kaitan historis dengan etnis dan daerah asalnya, selain tidak perlu, juga tidak akan efektif dalam menggiring pilihan politik masyarakat Sunda. Lagi pula, masyarakat Sunda kini tak memiliki tokoh sentral yang dianggap mewakili Ki Sunda dalam urusan politik. Ditambah lagi, ormas-orang kesundaan yang ada sekarang pun tak sanggup memerankan diri sebagai tempat orang Sunda bertanya dan mengadu.

Budaya politik inklusif-realistik yang tumbuh mekar dalam diri Ki Sunda ini boleh jadi menandakan tumbuhnya daya pikir kritis masyarakat Sunda. Namun, jika tak mendapat pengawalan pendidikan politik, budaya politik inklusif-realistik bisa mengarah pada sikap pragmatis. Kemungkinan buruk ini tentu tak boleh terjadi dalam Pilpres 2009 nanti.***

* Atip Tartiana, Dosen FISIP Unpas dan Unfari.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Mei 2009

Di Atas Viaduct, Lagu Malam Hutan Priangan

Lagu malam
Hutan priangan

DUA larik puisi di atas dipetik dari puisi "Megatruh Bandung"(2000), ditulis oleh penyair Rendra. Dua larik puisi tersebut secara hermeneutik bisa membetot ingatan kita ke berbagai peristiwa yang terjadi tanah Priangan, baik mengenai peristiwa romantis maupun hal-hal yang bersifat kesejarahan. Puisi tersebut selengkapnya bisa Anda baca dalam antologi puisi Di Atas Viaduct yang memuat 153 puisi dari 62 penyair, hasil suntingan penyair Ahda Imran.

Antologi puisi ini boleh dibilang merupakan antologi puisi pertama, yang berbicara tentang Priangan, dalam hal ini Kota Bandung dari berbagai sisi, yakni tidak hanya bicara tentang keindahan atau kekumuhan Kota Bandung, akan tetapi juga bicara juga soal mitos, dan orang-orang yang tumbuh dan besar dalam sejarah pergerakan maupun perjuangan pada zamannya, di Kota Bandung khususnya, dan di Priangan pada umumnya.

Ini tidak berarti bahwa sebelum antologi puisi ini terbit, tidak ada satu antologi puisi pun yang terbit bicara tentang Kota Bandung. Tidak demikian adanya. Jika ini disebut sebagai antologi puisi pertama, disebabkan karena puisi para penyair yang masuk dalam antologi ini, tidak hanya ditulis oleh mereka yang tinggal di Kota Bandung, tetapi juga ditulis oleh mereka yang tinggal di luar Kota Bandung dengan tema yang meluas.

Selain puisi yang ditulis Rendra, Anda bisa juga membaca sejumlah puisi yang ditulis Ramadhan K.H., Apip Mustopa, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, Saini KM, Remy Sylado, Jeihan Sukmantoro hingga generasi Ayi S. Buchori, setelah sebelumnya kita bertemu dengan generasi Juniarso Ridwan, Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Diro Aritonang, dan Nenden Lilis Aisyah. Malah selain itu, ada juga puisi yang ditulis oleh penyair Jerman, Martin Jankowski, dengan puisi di bawah ini: "Pergilah ke Hindia-Belanda: dan dari sana, seperti yang kalian/ ketahui, dari tiga orang hanya satu yang pulang!"/ Heinrich von Kleist// dalam gelap kamar-kamar jerman cahaya/ selatan masih menyala// di mataku/ aku buta//

Puisi tersebut diberi judul Surat Musim Gugur ke Bandung. Dalam puisi yang cukup sederhana ini, Martin mencutat kata-kata sasrawan Jerman lainnya, Heinrich von Kleist. Ini artinya betapa mempesonanya Hindia-Belanda, dalam hal ini Bandung. Pertanyaannya, Bandung pada zaman mana yang mempesona itu? Sebab Kota Bandung dewasa ini lebih jauhnya Priangan, bukan lagi sebuah tempat yang menarik. Kerusakan alam terjadi di mana-mana, demikian juga soal mental dan budayanya. Tema-tema yang demikian itu, menjadi tema yang tak habis-habisnya digali para penyair, yang sejumlah puisinya disunting Ahda Imran ke dalam antologi puisi ini.

Seperti kutipan puisi di bawah ini yang ditulis penyair Acep Iwan Saidi, inilah nyanyian anak jalanan/ yang mengamen di persimpangan/ tentang priangan yang tak lagi perawan/ terlena bermimpi dalam buaian// ("Priangan Si Derita") Atau penyair Juniarso Ridwan menulisnya seperti ini: mata berasap di pagi lebam/ unggas terkapar merintih sendu/ lalu dari bukit debu menghampar/ aku memetik perih berkarung-karung// ("Priangan Si Derita"). Kedua petikan puisi tersebut menggambarkan kerusakan lingkungan hidup, bukan lagi alam yang indah sebagaimana digambarkan penyair Ramadhan KH dalam kumpulan puisinya yang diberi judul "Priangan Si Jelita", yang beberapa bagian dari puisi tersebut dipetik dalam antologi ini.

Lepas dari persoalan tersebut, dalam percakapannya dengan "PR", Ketua Forum Sastra Bandung, Juniarso Ridwan mengatakan, Forum Sastra Bandung (FSB) bekerja sama dengan PT Kiblat Buku Utama tertarik menerbitkan antologi ini, disebabkan antara lain oleh nilai dokumentasi yang dikandungnya. "Selain itu, tentu saja, peta sebuah kota dengan berbagai problematika yang melatarinya bisa juga dilihat dari puisi yang ditulis para penyair," ujar penyair Juniarso Ridwan, Kamis (28/5) di tempat tinggalnya, Jln. Tirtasari Bandung.

Paling tidak, pada satu sisi, demikianlah dokumentasi tentang biografi sebuah kota, dalam hal ini Kota Bandung, lebih luasnya Priangan, ditulis para penyairnya, yang dari generasi ke generasinya punya cara pandang dan sejarahnya masing-masing. Lagu malam/ Hutan priangan// yang kita dengar pun, sebagaimana ditulis Rendra, berbagai-bagai pula luka pedihnya yang sampai kepada kita. Setidaknya antologi puisi ini layak untuk diapresiasi, terutama oleh mereka, para politisi, yang sering berkoar-koar atas nama rakyat dalam menyuarakan kepentingan perutnya masing-masing. Dan kini tengoklah rakyat yang telah bersuara itu, dalam puisi yang mereka tulis itu. Adakah kau mengerti bahwa bahaya telah mengancam kita, dari berbagai sisi. (Soni Farid Maulana/"PR")***

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Mei 2009

Perang Bubat yang Lain

PERANG itu konon terjadi tahun 1357 Masehi, di sebuah tempat bernama Bubat. Ketika itu, Raja Galuh Prabu Maharaja Linggabuana datang membawa putrinya yang cantik, Dyah Pitaloka Citraresmi. Kedatangan raja Sunda beserta rombongan adalah untuk menikahkan putrinya dengan Raja Majapahit Hayam Wuruk. Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Kedatangan rombongan dari Kerajaan Galuh itu oleh Mahapatih Gajah Mada ternyata dimaknai lain. Bukan untuk perkawinan, melainkan penyerahan putri Dyah Pitaloka untuk diperistri Hayam Wuruk sebagai tanda bahwa kerajaan Sunda Galuh mengakui kekuasaan Majapahit.

Kontan saja ambisi politik Gajah Mada ini menyakiti harga diri Prabu Maharaja Linggabuana. Mereka menolak keinginan Gajah Mada dan siap bertempur sampai mati. Dan itu akhirnya terjadi. Gajah Mada dan pasukannya mengepung Bubat, tempat rombongan kerajaan Sunda Galuh berkemah. Karena rombongan kerajaan Sunda Galuh datang bukan untuk berperang, mereka kalah telak. Tapi demi harga diri, pasukan Sunda Galuh bertempur sampai mati. Termasuk Prabu Maharaja Linggabuana dan putrinya Dyah Pitaloka.

Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan Perang Bubat. Perang dan peristiwa tragis yang jejaknya sampai hari ini masih hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Sunda. Ingatan yang konon pula menjadi semacam duri dalam hubungan antara etnis Sunda-Jawa. Dan Gajah Mada dianggap sebagai biang keladinya. Maka, menyebut Perang Bubat, terutama bagi kebanyakan orang Sunda, adalah menyebut nama Gajah Mada. Seorang antagonis yang licik dan ambisius. Dialah yang menyebabkan kematian Prabu Maharaja Linggabuana dan Dyah Pitaloka.

Lalu bagaimana ketika imajinasi kolektif ihwal Perang Bubat itu hadir dari sudut pandang narasi yang lain, ketika ternyata perang itu disebut menyimpan kisah cinta antara Gajah Mada dan Dyah Pitaloka? Juga disebutkan bahwa Prabu Linggabuana dan Dyah Pitaloka sesungguhnya tidaklah gugur di Bubat, dan latar belakang Gajah Mada yang berasal dari Banten serta keturunan Cina. Pada masa mudanya ia bernama Ramada dan pernah berbakti di Kerajaan Sunda Kawali. Lalu narasi itu juga mengatakan bagaimana perang dan peristiwa tragis itu terjadi semata-mata bukanlah karena ambisi politik Gajah Mada, melainkan karena intrik politik di kalangan istana.

Inilah narasi lain ihwal Perang Bubat yang diangkat Aan Merdeka Permana dalam novelnya "Perang Bubat" yang diterbitkan Penerbit Qanita. Sejak cetakan pertama Maret hingga Juni 2009 novel ini telah memasuki cetakan ke-2. Tafsir narasi yang dilakukan oleh Aan ini tak hanya menyebal dari narasi "resmi" tentang Perang Bubat seperti yang termaktub dalam berbagai sumber sejarah tradisional, sebutlah, Pararaton, Carita Parahyangan, Kidung Sunda, atau Kidung Sundayana . Tapi juga amat berlainan dengan novel yang bertutur atau berlatar belakang Perang Bubat, seperti, "Gajah Mada" karya Langit Kresna Hariadi atau "Dyah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit" karya Hermawan Aksan.

Ketaklaziman ini bukannya tidak disadari oleh Aan Merdeka Permana. Berbeda dengan para pengarang lainnya yang menulis novel yang berkonteks sejarah lewat berbagai riset dan pembacaan berbagai referensi, Aan Merdeka Permana menulis "Perang Bubat" mendasar pada sumber lisan sejumlah orang dalam perjalanannya dari Bandung Selatan, Garut, hingga ke Bubat di Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.

"Bahwa kisah ini bertolak belakang dengan "babon sejarah", tentu tak perlu dirisaukan benar sebab ‘data’ yang saya temukan tak memiliki bukti otentik seperti yang diisyaratkan ahli sejarah. Lagi pula, pengarang menyusunnya dalam kisah fiksi semata, mungkin hanya untuk sekadar tampil beda dengan kisah-kisah yang bersumber dari catatan resmi. Jadi, pembaca harus ingat: "Ini bukan novel sejarah!" tutur Aan Merdeka Permana dalam pengantarnya.

**

MESKI menyebut bahwa yang ditulisnya bukanlah novel sejarah, tapi tak urung novel ini dianggap kontroversial. Bisa saja novel ini mengidentifikasi dirinya sebagai karya fiksi, namun karena ia bertutur tentang peristiwa yang ada dalam berbagai sumber tertulis dan kadung telah menjadi bagian utuh dalam imajinasi kolektif masyarakat, soalnya bukan sekadar ingin tampil beda. Penyimpangan yang dilakukan mau tak menimbulkan sejumlah risiko.

Inilah yang mengemuka ketika novel "Perang Bubat" didiskusikan di Aula Redaksi Pikiran Rakyat, Rabu (27/5) kerja sama Pusat Data Redaksi HU "PR" dan Penerbit Qanita. Menghadirkan pembicara Prof. Jakob Sumardjo dan Aan Merdeka Permana, diskusi memang berkonsentrasi pada ketaklaziman dalam novel itu.

Jika Perang Bubat hendak dibaca sebagai sejarah, tentu saja itu terbuka pada berbagai tafsir dan sudut pandang. Hanya saja, setiap tafsir dan sudut pandang memerlukan argumen yang merujuk pada data dan referensi yang jelas. Bukan pada sembarang cerita lisan yang tidak mendasar, meski itu mengelak untuk disebut sebagai novel sejarah dan melulu hanya sebagai fiksi. Fiksi yang berlatar peristiwa sejarah agaknya masih bisa dipahami, tapi fiksi yang mencampur-baurkan peristiwa sejarah di dalamnya akan jadi menyesatkan.

Inilah yang dipertanyakan oleh Tendy Somantri tentang kebebasan imajinasi pengarang di hadapan peristiwa sejarah dengan berbagai rujukan data yang tersedia seperti perang Bubat. Terhadap pernyataan itu, Jakob Sumardjo memandang bahwa kebebasan pengarang dalam penulisan fiksi sejarah haruslah tetap mendasar pada data-data sejarah. "Menulis fiksi sejarah haruslah dibarengi dengan pembacaan literatur sejarah itu sendiri. Kalau novel ini terbit di tengah masyarakat yang memahami sejarah, novel ini tidak akan dibeli. Tapi dalam masyarakat yang tunasejarah, novel ini akan laku. Tanggung jawab menulis novel yang berhubungan dengan sejarah itu berat", ujar Jakob Sumardjo.

Jakob menghadapkan novel "Perang Bubat" ini dengan apa yang termaktub dalam Kidung Sunda. Dan ia melihat ketidaklaziman novel tersebut. Bukan hanya soal latar-belakang timbulnya konflik atau identitas Gajah Mada, tapi juga pada sejumlah adegan yang dianggapnya janggal. Misalnya, adegan ketika Ramada (Gajah Mada) bertemu dengan Dyah Pitaloka di tepi kolam di sebuah taman. Merujuk pada arsitektur ruang istana seperti termaktub dalam Kidung Sunda dan cerita pantun, dalam pandangan Jakob Sumardjo hal ini mustahil terjadi. Sebab, ada sembilan pintu yang harus dilewati oleh siapa pun yang hendak bertemu dengan raja dan keluarganya.

"Penggambaran ini memberi kesan istana Galuh itu kecil. Gajah Mada dapat langsung naik kuda masuk ke istana. Keraton-keraton tua di Indonesia selalu digambarkan memiliki halaman yang luas dan berpagar secara berlapis. Itulah sebabnya pantun-pantun Sunda menggambarkan istana Sunda sebagai masuk melewati sembilan pintu dan keluar tujuh pintu, dengan dua pintu belakang yang merupakan daerah terlarang kecuali keluarga raja sendiri," tutur Jakob Sumardjo.

Demikian pula ketika ia mengurai latar belakang Gajah Mada yang dalam novel itu disebut-sebut berasal dari Banten dan pernah mengabdi di istana Galuh, peristiwa di mana ia dan Dyah Pitaloka saling jatuh cinta. Jika dalam novel itu dikisahkan Ramada (Gajah Mada) bertemu Dyah Pitaloka sekitar tahun 1350, maka dalam sumber resmi pada tahun-tahun itu Gajah Mada telah menjabat mahapatih.

Jakob Sumardjo juga memeriksa kemungkinan mengapa dalam novel itu Gajah Mada disebut turunan Banten dan Cina. "Penulis novel ini menciptakan wajah baru Gajah Mada yang bernama Ma Hong Foe alias Ramada alias Basundewa Mada yang berdarah Cina. Mengapa dalam novel ini Gajah Mada berdarah Sunda Cina? Mungkin terinspirasi ‘patung Gajah Mada’ yang sudah menjadi mitos nasionalisme dengan wajah gemuk, tembem, dan bermata sipit. Patung itu sebenarnya adalah tafsir Muhamad Yamin ketika menemukan patung terakota di Trowulan," kata Jakob Sumardjo. "

Lepas dari kritik Jakob Sumardjo, Aan Merdeka Permana menjelaskan bahwa ketaklaziman perang Bubat dalam novelnya itu sesungguhnya menyodorkan gagasan yang tidak melulu mengarah pada perdebatan ihwal karya fiksi di hadapan data sejarah. Tapi kehendak untuk melihat sudut pandang lain dari latar-belakang konflik yang melatarbelakanginya, sehingga peristiwa perang Bubat tidak melulu kemudian hanya menghadapkan sentimen etinis antara Sunda-Jawa yang memprihatinkan. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Mei 2009

Korupsi Dalam Sastra Sunda

-- Djasepudin*

"Rék leutik rék gedé korupsi mah sarua baé dosana. Nu matak mun rék korupsi tong kagok-kagok, héhéhé..."

MAU kecil mau besar korupsi tetap sama dosanya. Maka, jika hendak korupsi jangan tanggung, he..he..he.. (Teten Masduki, Lalayang Girimukti/V/Agustus-Oktober 2002)

Korupsi di Indonesia memang telah menyebar. Ihwal korupsi yang diungkapkan koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), itu berangkat dari karya sastra Sunda. Teten Masduki lebih tahu pergerakan korupsi setelah mendalami carpon-carpon (carita pondok/cerita pendek) karya Ahmad Bakri.

Menurut Kamus Umum Basa Sunda cetakan kesembilan, Mei 1995, korupsi (koreupsi) adalah kecurangan dalam menjalankan tugas mengatur keuangan milik negara, perusahaan, untuk menguntungkan diri pribadi atau golongan.

Dalam naskah Sunda kuna Sanghyang Siksakanda ng Karesian yang ber-titi mangsa nora (0) catur (4) sagara (4) wulan (1), yang berarti tahun 1440 Saka (1518 M) istilah korupsi memang tidak ada namun esensi dari pembahasan korupsi tetap mengemuka.

Adanya istilah nyangcarutkeun (menghianati), mipit mo amit (memetik tanpa izin), ngala mo ménta (mengambil tanpa meminta), ngajuput mo sadu (memungut tanpa memberi tahu), maka nguni tu tumumpu, maling, ngetal, ngabégal sing sawatek cekap carut, ya nyangcarutkeun sakalih ngaranna (pun merampas, mencuri, merampok, menodong, segala macam perbuatan hianat, ya menghianati orang lain namanya) semakin menandaskan korupsi sudah ada sejak zaman Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal Prabu Siliwangi berkuasa.

Dalam Sanghyang Siksakanda ng Karesian pula, seperti yang diungkapkan arkeolog-filolog Ayatrohaedi, kita harus waspada agar terhindar dari cante yang empat. Keempat cante itu adalah siwok cante (tergoda oleh makan dan minum), simur cante (ikut perbuatan orang yang mencuri dan sejenisnya), simar cante (mengambil dagangan mas dan perak tanpa disuruh pemiliknya), dan darma cante (membantu pihak yang dibenci raja atau penguasa). Hal itu untuk menghidari pancagati (lima macam penyakit yang berupa keserakahan, kebodohan, kejahatan, ketakaburan, dan keangkuhan).

**

Selain dalam naskah Sunda Sanghyang Siksakanda ng Karesian, carpon, dan novel, ihwal korupsi pun tampak dalam sajak. Namun, sayang, korupsi yang direkam penyajak Sunda umumnya bernada nyungkun alias menyuruh para koruptor sangkan terus memerkosa hak-hak masyarakat. Sumuhun, seperti kelakar yang dilontarkan Teten Masduki. Bahkan, anjuran untuk berperilaku korupsi harus dipupuk sejak masa mengenyam pendidikan.

Bila pada tahun 1976 Kiswa Wiriasasmita menulis sajak Generasi Korupsi, di pertengahan 90-an Ricky Nugraha menulis sajak ‘Dinamika Aktivis Mahasiswa I’. Sajak utuhnya: iyeuh/ kudu aktif organisasi/ ngarah apal birokrasi/ pikeun ngumpulkeun konéksi/ jaganing géto nyiar posisi// iyeuh/ ulah tinggaleun démonstrasi/ ngarah nyaho kondisi/ sanajan saukur aksi/ ngarah batur kataji// iyeuh/ geuwat réngsékeun skripsi/ ngarah gancang meunang korsi/ nu gampil keur korupsi/ hasilna beulikeun mérsi/ (ulah poho bagi-bagi)//

Sajak yang dimuat dalam antologi Nyurup Lambak (Pamass-Unpad, 1995), itu merupakan tafsir penyajak dalam membaca realitas korupsi yang terjadi di Indonesia, khususnya di tatar Sunda.

Dalam sajak ini, penyajak menyentil dua pihak sekaligus, para koruptor, dan calon koruptor, yakni mahasiswa.

Idealisme yang menggelora di pikiran, jiwa, dan sikap mahasiswa biasanya akan luntur seketika manakala mereka menempati kursi empuk kekuasaan. Sikap macam itu masuk pada kolom unggah adat.

Inilah implementasi dari "korupsi berbarengan" atau dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian hal tersebut masuk pada kategori simur cante (ikut perbuatan orang yang mencuri dan sejenisnya) dan simar cante (mengambil dagangan mas dan perak tanpa disuruh pemiliknya).

"Nyungkun" korupsi dalam sastra Sunda terdapat juga dalam sajak Raksukan Para Juragan karya Usep Romli H.M. serta Wasiat Konglomerat karya Taufik Faturohman.

Adanya pembahasan korupsi dalam salah satu pedoman atau kewajiban hidup masyarakat Sunda, Sanghyang Siksakanda ng Karesian, menunjukkan sejak baheula masyarakat Sunda memang telah akrab dengan perkara korupsi, meski dengan nama dan bentuk yang berbeda.

Adapun gambaran korupsi masyarakat Sunda yang terdapat dalam karya sastra, selain menunjukkan rasa prihatin para pengarang akan situasi lingkungannya, juga menunjukkan sastra Sunda tidak selamanya berkutat pada permasalahan cinta belaka. Sastra Sunda ternyata bisa ngigelan jeung ngigelkeun jaman.

Untuk membasmi korupsi sejatinya bisa dilakukan beragam cara. Salah satunya membuka jalan dengan memahami karya sastra. Sebab sastra adalah cerminan dari kehidupan masyarakatnya.

Meski tidak banyak, karya sastra Sunda yang menyingung korupsi tetap ada yang menarik untuk dinikmati dan dikaji. Carpon atau novel karya Ahmad Bakri, misalnya. Kualitas karya Ahmad Bakri? Dijamin, enak dibaca dan perlu.***

* Djasepudin, Alumnus Prodi Sastra Sunda Unpad.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Mei 2009

Negara Kesejahteraan dan Literasi Sunda

-- Asep Salahudin*

TENTU kita sepakat bahwa tugas para pemimpin sehingga mereka dipilih rakyatnya dengan ongkos pemilihan mencapai triliunan rupiah adalah menciptakan negara kesejahteraan. Sebentuk Negara yang mampu meresapkan rasa keadilan merata kepada semua pihak apapun afiliasi partai, budaya, suku, dan agamanya. Negara(wan) adalah payung yang mesti memberi rasa nyaman bagi siapapun, tenda tempat di mana kontrak sosial diakadkan dengan target utama: membangun kehidupan berkeadaban.

Tujuan bernegara seperti itu dalam praktiknya ternyata kerap mengalami pasang surut. Kadang mendekat (bahkan tempo hari disebut hampir tinggal landas), namun yang sering terjadi justru kian menjauh. Yang terakhir ini biasanya yang sering mengakibatkan masyarakat tertimpa rasa apatis (tidak mau tahu) dan akhirnya tidak sedikit pula yang mengekspresikannya dengan cara "kekerasan".

**

Dalam literasi politik Sunda, sebagaimana terbaca dalam roman Pangeran Kornel (latar cerita sekitar 1773-1828) dan Mantri Jero (berlatar belakang masyarakat Sunda abad 17) yang telah ditelaah Warnaen dkk. (1985) agar target politik itu dapat menciptakan kehidupan berkeadaban (hurip gustina waras abdina rea ketan rea keton rea harta dan rea harti), maka masyarakat dan terutama para pimpinannya yang diberi amanah untuk mengelola negara harus memiliki tiga belas karakter utama. (1) Teu ningkah (tidak bertingkah). ( 2) Teu adigung kamagungan (tidak pongah dan memperlihatkan sikap tinggi hati kepada orang lain). (3) Paya ku katugenahan (tak gampang bersedih). (4) Pinuh ku karumasaan (penuh oleh rasa kekurangan pada diri sendiri). (5) Teu paya diagreng-agreng (tidak suka dimeriahkan dengan kemegahan). (6) Nyaah kanu masakat (mencintai yang melarat). (7) Agung maklum sarta adil (arif dan adil). (8) Landung kandungan, laer aisan (memiliki perspektif yang luas). (9) Lemes basana hade lentongna (halus bahasanya, bagus tutur katanya). (10) Peta basajan (hidup sederhana). (11) Bersih manah (hatinya bening). (12) Sinatria. (13) Pinandita.

Dalam roman sejarah itu, Pangeran Kornel alias Pangeran Kusumah Dinata dalam literasi Pangeran Korneal dan Pangeran Yogaswara dalam Mantri Jero adalah sosok yang mampu tampil menjadi pemimpin yang mampu menyelami lubuk terdalam aspirasi masyarakatnya. Aspirasi yang kemudian diartikulasikan dalam serangkaian kebijakan yang memihak khalayak.

Model pemimpin yang pada gilirannya dapat menjadi tempat masyarakat menyandarkan semua harapan dan cita-cita dengan kepercayaan yang penuh (jadi gunung pananggehan), tempat di mana rakyat kecil hak-haknya terjaminkan, dan menjadi langit di mana manusia yang berada dalam "udara" panas menjadi dingin dan damai (pangauban anu leutik panyalindungan nu kapanasan), menjadi ruang sosial di mana segala keluhan tersalurkan (tempat panyaluuhan) sekaligus juga dia mengelola kekuasaannya dengan kekikhlsan (ngawula ka wayahna) sebagai satu panggilan hidup, sebagai cermin untuk membalas kepada orang tua, menaikkan taraf hidup rakyat (nampi titilar sepuh makayakeun rakyat turunan).

**

Berbanding terbalik secara diametral adalah perilaku Dalem Patrakusumah alias Dalem Tanubaya dan Demang Dongkol. Perilaku destruktif yang alih-alih mendatangkan rasa sejahtera justru menjadi pemantik bagi munculnya suasana yang saheng harengreng (menggelisahkan) dan werit (ditimpa banyak krisis).

Perilaku politik busuk yang berporos pada semangat, dalam literasi dua roman itu: (1) lampah sasar (sesat). (2) Miceuceub (saling membenci). (3) Sirik pidik (iri hati). (4) Mitnah (merebaknya fitnah). (5) Nu asih di pulang sengit (air susu di balas air tuba). (6) Nyiduh ka langit (pongah). (7) Malar kauntungan jeung kaagungan (selalu bekerja atas nama pamrih dan hanya mengejar popularitas). (8) Ngangsongan kana kaawonan (berkolusi untuk melakukan kejahatan). (9) Ati mungkir beungeut nyanghareup (mengembangkan sikap hipokrit).

Perilaku seperti ini, dalam konteks kontemporer telah menjebak kita menjadi -- istilah Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968)-- negara kleptokrasi: praktik korupsi dilakukan secara terorganisasi yang dimainkan empat aktor: pejabat negara, aparatus birokrasi, anggota parlemen, dan sektor swasta (pengusaha). Padahal tidak ada satu ajaran agama manapun yang membolehkan orang melakukan korupsi atas nama dan motif apapun.

Jangan-jangan politik Dalem Patrakusumah alias Dalem Tanubaya dan Demang Dongkol yang telah menjebak kita menjadi bangsa dengan kekayaan alam yang tak terhingga, namun angka kemiskinan semakin menampakkan grafik menaik, menjadi bangsa yang berada di halaman belakang dari lembaran bangsa-bangsa di Asia,

**

Tentu saja kekayaan literasi negara kesejahteraan yang dimiliki masyarakat Sunda ini mesti dijadikan modal sosial agar menjadi adrenalin bagi manusia Sunda untuk meraih keadaban hidup. Hal ini menjadi penting dan amat mendesak diresapkan justru di tengah suasana kesundaan yang ditenggarai sedang terjangkit penyakit akut budaya jati ka silih junti. Semacam hegemoni budaya (istilah Gramsci) akibat hilangnya orientasi politik, punahnya militansi, dan menguapnya kebanggaan atas budaya sendiri yang dimiliki dan menjadi akar kulturalnya.

Jangan-jangan predikat provinsi terkorup dan hancurnya lingkungan tatar Sunda adalah ilapat (sinyal) dari semakin meruyaknya kebanggaan untuk mewarisi karakter politik Demang Dongkol. Politik destruktif yang menjadi akar dari kehancuran bukan hanya lingkungan namun juga diri sendiri! Sebentuk politik yang semakin membuat manusia dan alam Sunda ngarangrangan. Termasuk ngarangrangan ketika melihat fenomena absennya ca(wa)pres yang akan bertanding di 2009 yang berasal dari Jawa Barat.***

* Asep Salahudin, Mahasiswa Program Doktor Unpad, Pembantu Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Mei 2009

Pustaka: Risalah Sengsara

Judul : Ma Yan
Penulis : Sanie B. Kuncoro
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Cetak : 2009
Tebal : vii + 214 Halaman

KISAH sengsara tak usai dalam novel. Sengsara seperti jadi kutukan untuk pengarang menciptakan kisah dengan haru dan impresif. Pengarang dalam mengisahkan sengsara memiliki acuan-acuan melimpah dalam realitas hidup. Sengsara selalu ada untuk menjelma dalam kata dan imajinasi.

Novel Ma Yan ini jadi kamus sengsara dari seorang bocah perempuan di tempat terpencil di China. Sengsara membuat Ma Yan sadar atas lakon hidup untuk menerima atau menolak. Ma Yan terkadang merasakan sengsara itu sebagai kutukan karena kekalahan atau kesalahan memberi jawaban hidup dengan sempurna. Kutukan itu tak membuat Ma Yan jatuh dan pasrah. Kutukan mungkin jadi seribu pertanyaan untuk lekas mendapati jawaban.

Ma Yan lahir dari keluarga miskin. Kondisi ini membuat Ma Yan mahfum dengan lapar. Perut orang miskin tak mungkin manja dengan makanan. Lapar seperti ritual dengan pertaruhan hidup. Ibu Ma Yan mengajarkan bahwa lapar itu bakal jadi ingatan tentang hidup. Lapar mungkin jadi tanda seru dari Tuhan. Ma Yan pun tanpa pemberontakan menerima lapar itu sebagai ritual untuk sadar ambang batas hidup dan mati.

Ma Yan menganggap perjalanan ke sekolah adalah perjalanan merubah hidup dengan pengetahuan dan mimpi indah. Sekolah jadi sorga kecil untuk Ma Yan. Belajar membuat Ma Yan mahfum bahwa hidup tak selesai dengan tangisan atas kesengsaraan. Manusia mesti membuat hidup jadi berkah dengan pengorbanan dan kerja keras. Ma Yan belajar tekun untuk membuat diri jadi bocah pintar dan patut menciptakan masa depan dengan wajah cerah. Ma Yan terbukti menjadi sosok pintar di sekolah dengan peringkat atas.

Sengsara di sekolah membuat Ma Yan membuat pertaruhan berat. Ma Yan menginginkan pena untuk menulis. Harga pena mahal. Ma Yan telanjur memiliki hasrat untuk menulis dengan pena. Keluarga tak mungkin memberi uang demi pena. Ma Yan pun merelakan tubuh jadi lapar karena uang jatah untuk makan siang disimpaan dan dikumpulkan untuk membeli pena. Lapar itu bisa ditanggungkan. Ma Yan sanggup lapar tapi tak sanggup untuk tidak menulis dengan pena.

Ikhtiar itu terpenuhi meski lapar. Pena membuat Ma Yan menemukan gairah hidup. Ma Yan merasa bahwa dengan mencatatkan kisah hidup bakal ada refleksi hidup dari masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Catatan harian Ma Yan pun sesak dengan kisah sengsara tapi ada percik-percik harapan. Harapan itu membuat Ma Yan tak letih menciptakan mimpi untuk perubahan hidup.

Kisah dramatis itu mungkin membuat pembaca merasa haru. Selesaikah sekadar dengan haru? Pengarang seperti mengajukan risalah edukasi dalam fragmen itu biar pembaca mahfum dengan kondisi pendidikan kaum miskin di negeri ini. Risalah itu jadi representasi dari nasib orang miskin ketika tak mungkin sekolah atau sekolah dengan pelbagai keterbatasan. Sekolah adalah hak.

Ma Yan sadar atas hak sekolah tapi selalu tertundukkan oleh kemiskinan dan ketiadaan perhatian dari pemerintah. Fasilitas minimal untuk sekolah kerap tak terpenuhi. Miskin mungkin momok untuk membuat orang terima dengan kutukan sengsara. Ma Yan ingin merubah kutukan itu tapi dalam batas tertentu kalah oleh kemiskinan. Ma Yan sempat berhenti sekolah karena orang tua tak memiliki dana. Jeda berhenti sekolah itu membuat Ma Yan sengsara seperti masuk neraka jahanam.

Pelbagai kisah sengsara dan harapan selalu dikekalkan Ma Yan dalam buku harian. Pena menjadi sarana untuk testimoni. Pena itu membuat Ma Yan masih memiliki gairah belajar. Catatan-catatan dalam buku pun menunjukkan optimisme Ma Yan untuk membuat hidup jadi indah dan lepas dari kesengsaraan.

Ma Yan menulis: "Bersekolah adalah jalan menuju masa depan. Kita harus mengambil jalur yang benar. Bukan malah melantur ke jalan yang menyesatkan." Optimistis memuncak dalam catatan ini: "Aku harus bekerja keras dan mengikuti ujian masuk universitas bergengsi. Kemudian aku akan dapat pekerjaan supaya Ibu bisa menikmati makanan hingga benar-benar kenyang dan menjalani kehidupan yang lebih baik..."

Orang miskin dengan pesimistis mungkin lekas mati atau menciptakan sengsara abadi. Ma Yan ingin perubahan dalam hidup. Pesimistis mesti dikubur. Kondisi keluarga menjadi fakta untuk perangkap pesimistis. Ma Yan ketika berhenti sekolah mendapati alasan tak ada uang. Alasan itu diimbuhi karena dia perempuan. Pesimisme sempat hinggap karena alasan-alasan itu kentara memaksa dan menekan.

Kisah-kisah sengsara Ma Yan adalah tanda tanya dan tanda seru untuk kaum miskin dan hak sekolah. Novel dengan muatan inspirasi edukasi ini pantas jadi acuan untuk refleksi dan melakukan aksi perubahan atas kondisi pendidikan di Indonesia. Sekolah adalah hak. Pemerintah mesti melunaskan hak itu dengan pelbagai konstitusi, sistem, dan praktek untuk membuat perubahan hidup.

Novel Ma Yan adalah risalah sengsara untuk mengingatkan pembaca tentang optimistis. Ma Yan mengingatkan dalam tanya: "Orang tua menaruh harapan agar anak-anak mereka kelak menjadi orang-orang yang pandai, tapi setelah mengalami begitu banyak tahun belajar yang sulit, bagaimana bisa mereka memenuhi harapan-harapan itu?"

Bandung Mawardi, Peneliti di Kabut Institut dan Bale Sastra Kecapi

Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Mei 2009

Saturday, May 30, 2009

Bahasa Indonesia di Kampus: Fokus pada Keterampilan Mahasiswa Menulis Ilmiah

[JAKARTA] Pembelajaran bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi (PT) seharusnya difokuskan pada keterampilan menulis ilmiah, bukan melulu pada aspek linguistik. Sebab, salah satu kompetensi yang harus dimiliki mahasiswa adalah kemampuan menuangkan pemikiran dalam bentuk tulisan ilmiah, makalah, atau tesis.

"Mata kuliah bahasa Indonesia di PT lebih banyak bertumpu pada aspek lingustik, bukan pada peningkatan keterampilan menulis," kata Kepala Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Yassir Nasanius, kepada SP, di Jakarta, Kamis (28/5).

Dikemukakan, dulu bahasa Indonesia memang menjadi salah satu mata kuliah wajib di universitas, tetapi beberapa tahun terakhir banyak universitas yang menghapusnya. Dia mengatakan, di negara maju seperti Amerika Serikat, sebenarnya bahasa resmi selalu menjadi mata kuliah wajib universitas.

"Di sana ada mata kuliah wajib yang bernama English 101 yang ditawarkan pada mahasiswa freshman. English 101 pada intinya membekali mahasiswa untuk mampu menuangkan pikiran dan ide mereka dalam bahasa Inggris ilmiah seperti menulis esai, makalah, atau tesis. Jadi, mahasiswa tidak melulu diajarkan tata bahasa," katanya.

Celakanya, kata dia, dulu sewaktu bahasa Indonesia menjadi salah satu mata kuliah wajib, mahasiswa hanya dijejali aspek linguistik, sehingga mata kuliah ini menjadi membosankan dan tidak membekali mahasiswa dengan keterampilan menulis karangan ilmiah. [W-12]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 30 Mei 2009

Thursday, May 28, 2009

Perguruan Tinggi Jangan Kerdilkan Bahasa Indonesia

[JAKARTA] Perguruan tinggi (PT) diminta untuk memberikan ruang lebih besar terhadap pendalaman bahasa Indonesia. Sebab, peran bahasa Indonesia sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. "PT tidak boleh mengerdilkan peran bahasa Indonesia. Apalagi, sampai bahasa Indonesia tergeser oleh bahasa asing," kata Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Dendy Sugono kepada SP, di Jakarta, Selasa (26/5).

Dendy Sugono (SP/Dwi Agro Santosa)

Pernyataan itu menanggapi keluhan sejumlah guru soal tidak diprioritaskannya bahasa Indonesia dalam tes masuk perguruan tinggi (SP, 27/5). Namun, menurut Dendy, perguruan tinggi tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai materi tes masuk , hanya saja dalam kurikulum tidak diperdalam.

Dia mengatakan, minimnya peran PT untuk memberikan pendalaman bahasa Indonesia bagi mahasiswa bisa dilihat dari kurikulum yang diterapkan. "Bahasa Indonesia memang dipakai dalam tes masuk PT dan PTN. Namun, setelah tes, saat pembelajaran, mata kuliah bahasa Indonesia tidak terlalu didalami. Memang tidak semua PT begitu. Ada juga PT yang memang tetap memprioritaskan bahasa Indonesia," katanya.

Dikatakan, bagi mahasiswa S1 atau jenjang yang lebih tinggi, peran bahasa Indonesia seharusnya tetap menjadi prioritas. "Dalam belajar ilmu pengetahuan, bahasa Indonesia sangat penting, bukannya harus dipinggirkan, karena penggunaan bahasa asing," katanya.

Menurutnya, kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa juga harus diuji dengan Uji Kemampuan Bahasa Indonesia (UKBI). Uji kemampuan ini merupakan tes untuk mengukur mutu penggunaan bahasa Indonesia yang berstandar nasional dan berpeluang internasional serta materi tersebut akan diujikan atas permintaan dari peserta.

Dijelaskan, hasil UKBI berupa peringkat dan predikat ditentukan dari skor tertentu. Pemeringkatan hasil UKBI terdiri dari tujuh tingkat. Peringkat tersebut, yaitu istimewa, sangat unggul, madya, semenjana (menengah), marginal, dan terbatas.

Dia menambahkan, hasil yang diperoleh sesudah menjalani tes tersebut antara lain bisa terlihat orang yang pandai berkomunikasi dengan baik, logika berpikirnya pun cenderung baik. Guru bahasa Indonesia pun harus mahir berbahasa Indonesia.

Mahir menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarminta adalah telah terlatih, cakap. UKBI adalah instrumen pengujian kemahiran berbahasa Indonesia yang dikembangkan Pusat Bahasa. Dengan mengikuti UKBI, katanya, setiap orang dapat memperoleh informasi yang akurat tentang kemampuan berbahasa Indonesia.

UKBI telah menjadi sarana pengukuran yang berstandar nasional, sesuai Keputusan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 152/U/2003. "Tes ini bisa dikatakan sama dengan TOEFL (Test of English as a Foreign Language). Ini penting bagi mahasiswa," katanya.

Sayangnya, Dendy mengatakan, belum banyak PT yang melakukannya. Dendy juga menyoroti sekolah berstandar internasional (SBI) yang tidak memprioritaskan bahasa Indonesia sebagai tes masuk. "Di SBI yang dites adalah bahasa asing. Kalau di PT, bahasa Indonesia juga diuji, tetapi hanya tingkat dasar," katanya.

Dijelaskan, sistem dan model pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dan di PT belum mencerminkan peran dan fungsi bahasa yang sesungguhnya. Sebab, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia hanya berkutat pada pembuatan kalimat, imbuhan, dan bacaan. "Fungsi bahasa sebagai alat bernalar, alat berkomunikasi dan alat berekspresi," katanya.

Sistem pembelajaran bahasa Indonesia, katanya, harus mengajarkan tentang penggunaan bahasa sebagai alat berpikir dan berekspresi ranah-ranah pembelajaran bahasa Indonesia sebagaimana mestinya. "Peran bahasa Indonesia juga telah dikukuhkan dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan adalah suatu pembentukan kepribadian dan pengembangan kecerdasan, emosional, dan intelektual anak-anak bangsa," katanya.

Di tempat terpisah, pakar bahasa dari Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Bambang Kaswanti Purwo mengatakan, banyak PT yang belum memprioritaskan bahasa Indonesia dalam kurikulum pembelajarannya. "Kalaupun ada, itu hanya bahasa dasar saja," katanya.

Seharusnya, terang dia, PT harus memberikan peran yang lebih besar lagi dalam pengembangan Bahasa Indonesia. "Di Korea, PT wajib membuka jurusan Bahasa Korea. Artinya, kalau ada pembukaan PT yang tidak ada jurusan bahasa Korea, pemerintah di sana tidak akan memberikan izin.

Sementara, di Jakarta saja, hanya ada 1 PTS yang membuka jurusan Bahasa Indonesia," katanya. Menurutnya, peran bahasa Indonesia sangat signifikan, sehingga, upaya-upaya pengembangan bahasa Indonesia seharusnya lebih diperbesar.

Membantah

Sementara itu, Wakil Kepala Humas Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati membantah jika UI mengabaikan peran bahasa Indonesia. "Dalam SNMPTN dan ujian mandiri masuk UI, ada ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, bahasa Indonesia tetap menjadi syarat mutlak masuk UI," katanya.

Dia menambahkan, bahasa Indonesia masuk dalam mata kuliah pengembangan kepribadian terpadu dan sebanyak 6 sistem kredit semester (SKS). "Ini di seluruh fakultas. Dengan mata kuliah ini, UI meyakini peran bahasa Indonesia akan membentuk kepribadian. Misalnya, dalam berkomunikasi, presentasi, dan penulisan skripsi," katanya. [W-12]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 28 Mei 2009

Wednesday, May 27, 2009

12 Persen Bahasa di Dunia Ada di Wilayah Indonesia

[BANDUNG] Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono menyatakan pihaknya masih melakukan pemetaan bahasa ibu atau daerah di Indonesia. "Dari sekitar 746 bahasa daerah, baru 442 saja yang selesai dipetakan," jelasnya.

Bahasa daerah yang sudah selesai diteliti itu, kata dia, sudah dimasukkan ke dalam peta bahasa di Indonesia. Dalam peringatan puncak Hari Pendidikan Nasional 2009, Menteri Pendidik an Nasional Bambang Sudibyo menyerahkan peta tersebut ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai dokumen resmi kekayaan bahasa di Indonesia.

Mendiknas pun menilai, peta bahasa Indonesia itu merupakan refleksi dari kekayaan bahasa yang ada di pulau-pulau Indonesia serta wujud pelestarian bahasa. "Salah satu upaya untuk membangun semangat kebangsaan dan jati diri bangsa adalah melalui apresiasi terhadap kekayaan bahasa di Nusantara," ungkap Bambang.

Dendy Sugono menyatakan, menyusun peta bahasa itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Pusat Bahasa memerlukan waktu hingga 15 tahun untuk bisa menyelesaikan pemetaan terhadap 442 bahasa daerah.

"Sudah ada beberapa peneliti yang berpulang karena penelitiannya terlalu lama. Saat ini masih ada 21 peneliti yang melakukan pendataan di beberapa daerah seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur," terang Dendy.

Menurut Dendy, bahasa daerah di Indonesia harus tetap dilestarikan. Terlebih, 12 persen dari jenis bahasa yang ada di dunia itu berada di Indonesia.

Direktur Eksekutif First People's Cultural Foundation Simon Robinson, tutur Dendy, pernah memperkirakan 90 persen bahasa-bahasa di dunia ini akan punah pada akhir abad ke-21. Jika, laju kepunahan bahasa itu berlaku juga untuk bahasa-bahasa di Indonesia, 2099 akan tinggal 70-an bahasa saja yang tersisa.

Dalam peringatan puncak Hari Pendidikan Nasional 2009, presiden menyerahkan piagam penghargaan Adi Bahasa Wakil Gubernur Jawa Timur Saefullah Yusuf, Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi, dan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, yang dinilai menunjukkan perhatian yang besar terhadap pengembangan bahasa di daerahnya masing-masing. [153]

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 27 Mei 2009

Syarat Masuk Perguruan Tinggi: Bahasa Indonesia Tak Prioritas

[BANDUNG] Sejumlah guru mempertanyakan kredibilitas bahasa Indonesia dalam kurikulum pendidikan nasional dan prioritas syarat kelulusan masuk perguruan tinggi (PT). Kedudukan bahasa Indonesia digeser oleh bahasa Inggris.

Pertanyaan tersebut disampaikan sejumlah guru di sela-sela seminar internasional bahasa Indonesia di Bandung, Jawa Barat Selasa (26/5) menanggapi situasi di mana kini bahasa Indonesia kedudukannya malah tergeser dalam pencantumannya di rapor siswa serta pada beberapa ujian persyaratan kelulusan atau saringan masuk perguruan tinggi, oleh bahasa Inggris.

Bahkan beberapa guru juga khawatir dengan semakin dipandang sepelenya bahasa daerah pada pendidikan dasar di Indonesia.

"Yang saya khawatirkan kini bukan hanya betapa pembelajaran bahasa Indonesia serta bahasa daerah semakin kurang diminati oleh para siswa, tetapi juga bahwa pemerintah mendukungnya dengan memberikan kebijakan yang menomorduakan bahasa Indonesia dan menganaktirikan bahasa daerah," ujar seorang guru dari Kabupaten Bandung yang enggan menyebutkan namanya, di Bandung, Selasa (26/5).

Dalam seminar internasional bahasa dan pendidikan anak bangsa bertema Pemanfaatan Bahasa Sebagai Sarana Pembentukan Kepribadian dan Kecerdasan Anak Bangsa Dalam Rangka pendidikan Berkelanjutan" sebelumnya dibahas mengenai betapa kepunahan bahasa daerah akan menjadi kendala dalam upaya pemberantasan buta aksara melalui bahasa daerah.

Amanat UUD 1945


Permasalahan bahasa daerah dan bahasa Indonesia ini antara lain meliputi penelitian, pengembangan, pembinaan, perlindungan, dan dokumentasi dalam rangka revitalisasi pelestarian bahasa daerah yang menjadi amanat Pasal 32 dan Pasal 36 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Di sisi lain, Pembantu Rektor Bidang Akademik Universitas Pendidikan Indonesia A Chaedar Alwasilah mengkritisi pengajaran bahasa Indonesia di pendidikan dasar dan menengah. Menurut dia, seharusnya mata pelajaran Bahasa Indonesia itu sudah tidak perlu lagi dijadikan sebagai mata kuliah dasar umum di tingkat perguruan tinggi.

"Karena itu hanya mengulang pelajaran di SMA. Ini berarti pengajaran bahasa di tingkat sebelumnya gagal," kata dia.

Dirjen Pendidikan Non-Formal dan Informal (PNFI) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Hamid Muhammad mengatakan UNESCO (United Nations Educational atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Dunia) sebelumnya telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional, di mana hal tersebut merupakan kesadaran kolektif secara internasional bahwa bahasa ibu harus dipertahankan, dan penyadaran bahwa politik bahasa di beberapa negara dunia tidak berpihak pada bahasa ibu.

Sebelumnya, pada acara berbeda dengan tema yang sama, dinyatakan sejauh ini ada sejumlah satuan pemetaan bahasa ibu di Indonesia, di antaranya adalah 26 bahasa di Sumatera, 10 bahasa di Jawa, 55 bahasa di Kalimantan, 58 bahasa di Sulawesi, 51 bahasa di Maluku, dan 207 bahasa di Papua.

Namun, untuk anak bahasanya, masih terdapat ratusan bahasa yang belum terhitung jumlahnya hingga sekarang dan diduga menuju kepunahan. [DDS/153]

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 27 Mei 2009

Monday, May 25, 2009

Tata Film Indonesia, Dagang atau Kebudayaan

[YOGYAKARTA] Sudah saatnya tata niaga distribusi perfilman di Indonesia diubah. Kalau tidak, praktik pembajakan film asing, bahkan film lokal akan terus berkembang. Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Budhi Kamaru Zaman menggambarkan, praktik pembajakan itu bukan hanya berpengaruh pada mandeknya budaya nonton di bioskop, tetapi juga akan berimbas pada sektor perdagangan ekspor lainnya.

Film "Laskar Pelangi" yang distribusi filmnya dilakukan sendiri oleh produsernya Mira Lesmana. (Istimewa)

"Ini bukan main-main. Makin lama, produk Indonesia akan diembargo oleh negara luar, gara-gara pemerintah tidak bisa menyelesaikan permasalahan bajak-membajak. Ini bukan masalah sepele," ujarnya dalam sebuah diskusi menyikapi tata niaga film Indonesia, akhir pekan kemarin.

Budhi juga mencermati, akar permasalahan dari kondisi tersebut bersumber pada penguasaan distribusi film di Indonesia. Mata rantai perdagangan yang tidak terputuskan telah menjadikan bioskop lain tidak bisa berkembang dan akhirnya mati.

"Bagaimana tidak mau mati kalau satu film diputar berbulan-bulan karena tidak punya film lain? Semua harus ikut jaringan, jika tidak, mereka tidak mendapat film," ujarnya.

Monopoli distribusi film, lanjutnya, juga telah menjadikan tidak adanya variasi film yang beredar di Indonesia. Hampir semua film yang masuk berasal dari Hollywood. Padahal, ada alternatif lain seperti film Iran atau Eropa Timur yang juga cukup bagus. "Semua serba-Hollywood. Ini akhirnya juga memengaruhi gaya hidup orang Indonesia, termasuk produk sinetron kita," katanya.

Di era 70-an, kata Budhi, jumlah produksi film lokal meningkat dan jumlah penonton pun bertambah. Peningkatan itu, imbuh Budhi, tak lepas dari banyaknya bioskop-bioskop baru yang bermunculan di daerah-daerah dan di pinggiran kota besar pada akhir tahun 1970 an.

" Kehadiran bioskop-bioskop ini membuat penonton akan banyak pilihan dan semakin dewasa menilai film-film yang akan ditonton. Tapi, karena monopoli jaringan distribusi film dan bioskop ini oleh sekelompok pengusaha bioskop, maka saat ini semuanya tinggal menunggu menjadi riwayat saja," tegasnya.

Peran Pemerintah

Budhi pun menegaskan, kalau pemerintah masih memasukkan film sebagai aktivitas kebudayaan, maka pemerintah harus ikut melindunginya.

"Di negara lain, pemerintah sangat melindungi film lokal. Tetapi, di Indonesia tidak. Memang sudah ada UU N0 8/1992 tentang Perfilman. Namun, karena belum ada peraturan yang mengatur secara teknis, UU itu menjadi tidak ada gunanya," ucapnya.

Sedang Heru Effendi, praktisi yang juga sutradara film nasional juga menyebutkan, peningkatan jumlah produksi film nasional dalam beberapa tahun terakhir ini, ternyata tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah bioskop dan penyebarannya hingga ke kota-kota kecil dan kabupaten. Justru, sejak tahun 1986 hingga 2008, sudah sekitar 107 bioskop yang ditutup karena tak bisa mengikuti irama permainan yang ada dalam soal peredaran film nasional.

"Sangat ironis memang. Kalau kita lihat sejak tahun 1986 hingga 2008 pada bulan Juni sudah ada 107 bisokop yang tutup karena monopoli jaringan tertentu dalam tata edar film ini," katanya.

Heru menilai, pemerintah dalam hal ini Menbudpar tidak tegas dalam mengatur tata edar film-film nasional. Ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan produksi dan promosi film Hollywood untuk bisa mencapai titik optimum penjualan produksi mereka.

" Ini tak lain karena didukung pula oleh melimpahnya jumlah bioskop dan jumlah kopi film, yang kira-kira 60-100 kali lipat dibanding film-film Indonesia ,' katanya.

Dengan kondisi tersebut ujarnya, maka sudah saatnya pemerintah melalui Menbudpar membuat peraturan baku guna mengatur tata edar film nasional, sehingga pada gilirannya masyarakat di daerah mana pun memiliki hak yang sama untuk memperoleh tontonan film menarik.

Persoalan distribusi film inilah yang benar-benar memusingkan para insan film. Bahkan, mereka harus bekerja keras mendistribusikan filmnya sendiri jika ingin uang produksi kembali. Heru mencontohkan, film Laskar Pelangi, Mira Lesmana harus mendistribusikan sendiri dengan melawan kekuatan raksasa yang sulit dilawan.

"Telah terjadi hegemoni dalam peredaran film nasional yang dikuasai oleh sekelompok pengusaha bioskop tertentu. Kondisi tersebut membuat bioskop di daerah tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan kopi-kopi film yang dapat mereka putar di daerah dalam waktu bersamaan," ketusnya. [152]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 25 Mei 2009

Kebangsaan Indonesia Memasuki Masa Kritis

[JAKARTA] Kondisi kebangsaan Indonesia saat ini tengah memasuki masayang kritis dan di ambang perpecahan. Berbagai macam konflik di antara sesama anak bangsa terus saja terjadi, karena telah melupakan akan jati diri dan berupaya bersandar pada pengaruh budaya asing.

Ironisnya, segolongan anak bangsa justru sibuk menggadaikan kekayaan alam Indonesia dengan motif-motif ekonomi dan politik sempit yang membutakan mata hati yang lebih mengutamakan kepentingan individu maupun kelompok daripada kepentingan bangsa dan negara.

Demikian disampaikan sebuah gerakan pemuda yang diberi nama Revolusi Pemuda Indonesia melalui juru bicaranya, Tara Pradipta Laksmi, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Gerakan Revolusi Pemuda Indonesia merupakan gerakan moral, budaya, dan spriritual yang sepenuhnya tunduk pada asas Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila yang anggotanya terdiri dari pemuda yang memiliki latar belakang berbeda dalam suku, ras, kepercayaan, agama, profesi, dan pendidikan.

Tata mengatakan, situasi yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok ini sungguh menyedihkan, mengingat Indonesia adalah negara yang kaya, baik dari sumber daya alam maupun budayanya. Dan yang lebih menyedihkan lagi, tambah Tata, adalah saat ini ada sekelompok orang atau organisasi yang menggunakan isu-isu penajaman perbedaan agama sebagai ajang untuk menggalang dukungan politik.

Hal itu tentu saja sangat bertentangan dengan jiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang merupakan wujud nyata kesadaran para pendiri bangsa bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya dapat didirikan di atas landasan Bhinneka Tunggal Ika dan Pembukaan UUD 1945 yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan secara universal dan tidak tunduk pada akidah salah satu agama tertentu.

Pemerintah Lemah

Menurutnya, sikap pemerintah pusat yang lemah sangat disayangkan, karena sering kali mengakomodasi kemauan kelompok-kelompok yang menggunakan isu-isu penajaman perbedaan agama di atas demi kepentingan politik sesaat. "Hal ini tidak bisa terus dibiarkan bila tidak ingin NKRI menjadi terpecah belah dalam konflik politik bernuansa agama seperti yang saat ini tengah melanda Sudan, Somalia, Pakistan, dan Afghanistan," katanya.

Sebelumnya, sejumlah tokoh nasional seperti Nahdlatul Ulama (NU), KH A Mustofa Bisri (Gus Mus), mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan mantan Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Ahmad Syafii Maarif (Buya) dalam sebuah peluncuran buku Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia yang dihadiri tokoh lainnya, seperti mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, mantan Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung, dan Jenderal (Purn) Wiranto, menyayangkan munculnya gerakan radikal tersebut. Dalam buku itu disebutkan, gerakan garis keras transnasional mengatasnamakan agama di Indonesia, terutama yang diketahui memiliki kepentingan dalam kancah perpolitikan nasional, dapat mengancam integritas dan NKRI.

Gerakan yang sudah ada di Tanah Air itu berkedok partai politik (parpol) dan organisasi masyarakat (Ormas) dengan paham ekstrem, dengan upaya-upaya menegakkan idealisme pribadi atau kelompok kepada masyarakat, sehingga menjadi ancaman serius bagi negara Indonesia yang khas dengan pluralitasnya.

Sementara itu, sebelumnya, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Mennegpora), Adhyaksa Dault, dalam Konperensi Mahasiswa se-ASEAN, di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, Rabu (20/5) mengatakan, globalisasi di berbagai bidang yang melanda seluruh negara harus disikapi dengan bijak.

Pemuda sebagai generasi penerus bangsa harus mampu menangkal efek negatif dari dampak globalisasi dengan menjaga terus keluhuran budaya yang dimiliki masing-masing negara.

Konferensi yang mengusung tema "Enriching & Preserving Our Cultural Heritage", itu dihadiri ratusan mahasiswa dari negara-negara ASEAN, seperti Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina, Brunei, Vietnam, Myanmar, Cambodia, dan Laos. Turut hadir pula mahasiswa dari Tiongkok, Jepang, dan Korea.

"Kita tidak bisa menghindari globalisasi. Namun, dapat menghindarinya dengan filter budaya, etika, dan moral yang berkaitan dengan ajaran-ajaran agama. Ini yang mau dibangkitkan melalui persatuan antara negara-negara di Asia tenggara," ujar Mennegpora. [E-7]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 25 Mei 2009

Megawati: Lindungi Budaya Indonesia

JAKARTA (Ant/Lampost): Calon presiden (capres) Megawati Soekarnoputri menyerukan perlunya perlindungan terhadap karya seni dan kebudayaan Indonesia. Sebab, hal itu terkait dengan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) yang membuat bangsa diakui dunia.

"Arus global yang masuk dewasa ini begitu deras, kalau kita tidak menjaga kebudayaan sendiri, mungkin suatu saat kita akan terpuruk," kata Megawati saat berdialog dengan budayawan di Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru, Jakarta, Minggu (24-5).

Dalam dialog yang bertema Kebudayaan dan presiden itu, Megawati juga menyerukan keprihatinan bahwa bangsa Indonesia masih lemah dalam perlindungan hasil budaya maupun karya seni dan sastra. Dia menilai para seniman adalah insan yang kreatif dan bebas dalam berekspresi dengan karyanya. Namun yang disayangkan, kata dia para pelaku seni tersebut tidak memedulikan hak atas kekayaan intelektual mereka.

"Sekarang ini terlihat jelas, telah terjadi pertarungan kebudayaan yaitu dengan diperjualbelikannya karya seni tanpa adanya hak paten," ujar Megawati yang didampingi cawapres Prabowo Subianto.

Capres yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan itu mengatakan bangsa Indonesia mempunyai modal menguntungkan untuk pengembangan kebudayaan. Modal yang dimaksud, antara lain, wilayah yang strategis, beragamnya budaya lokal, bermacam-macam suku dan agama. "Seharusnya Indonesia merasa bangga atas keanekaragaman itu," ujar Megawati.

Menurut dia, Undang-Undang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang dibuat semasa pemerintahannya harus ditindaklanjuti. Padahal aturan itu dibuat sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa. Sesuai dengan "Trisakti" yang diserukan Presiden I RI, Soekarno, yaitu kekuatan politik, kekuatan ekonomi, serta berkepribadian di bidang kebudayaan.

"Pengaruh kebudayaan dari bangsa lain sangat kuat, dengan demikian kita harus mempunyai kepribadian kebudayaan agar tidak dikuasai orang lain," kata Megawati. Menurut dia, kini diperlukan perlindungan yang mengikat terhadap seni, budaya, dan sastra Indonesia sehingga hasil karya seniman Indonesia tidak begitu saja diklaim pihak lain. n K-3

Sumber: Lampung Post, Senin, 25 Mei 2009

Sunday, May 24, 2009

Oase Budaya: Parade dan Diskusi Buku Puisi Manifesto

-- Sjifa Amori

SIHAR Ramses Simatupang mengumpulkan sajak-sajak yang ditulis dan dibacakan semenjak tahun 1992 hingga 2009 dalam buku Manifesto. Karya tersebut merupakan karya yang lahir di masa pemerintahan yang berbeda.

“Membaca sajak Sihar Ramses Simatupang seakan kita diajak merenungkan secuplik-penggal sejarah di negeri ini,” kata Ketua Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia, A. Patra M. Zen, dalam kata pengantar Manifesto.

Selama perjalanan waktu, penyair menjadi bagian dari proses kebangsaan termasuk sisi kehidupan sosial dan politik di negeri ini. Penyair tetap terfokus pada kehidupan bermasyarakat diolah dengan estetika dan gaya bahasa.

Buku Manifesto disoalisasikan ke masyarakat umum melalui diskusi di beberapa tempat, seperti Universitas Pakuan Bogor Rabu (20/5) dengan pembicara Cunong Nunuk Suraja dan Aam Nurjaman, Aula Student Centre di Universitas Islam Negeri Minggu (25/5), Toko Buku Ultimus, Bandung, Selasa (26/5) dengan pembicara Matdon, dan Universitas Ibnu Khaldun di Fakultas Sastra Inggris, Bogor, Sabtu (30/5) dengan pembicara Juni Eka Prihatini, serta bincang-bincang dengan penyair.

Grand Launching buku Manifesto diselenggarakan di Pusat Dokumentasi HB Jassin, pada Jumat (22/5) pukul 16.00 WIB dengan pembicara Rahmat Ali dan Yonathan Rahardjo dimoderatori Juni Eka Prihatini, serta Pelafalan Puisi oleh A. Badri AQ.T.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 24 Mei 2009

Buku: Memerkarakan Kelezatan Cerpen

Judul buku: 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009
Penulis: Agus Noor, A.S. Laksana, Ayu Utami, dkk
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetak: I, Februari 2009
Tebal: liii + 176 Halaman

CERPEN masih jadi menu lezat untuk pembaca? Kriteria lezat tentu mengandung pengertian resepsi dan interpretasi. Cerpen jadi pertaruhan untuk memanjakan atau melenakan selera dalam tegangan cerpenis, redaktur, dan pembaca. Cerpen-cerpen pun tak jemu jadi menu di lembaran-lembaran kebudayaan koran dengan wajah dan sapa menggoda. Suguhan cerpen-cerpen itu menjadi tanda koma yang mengabarkan bahwa negeri ini memiliki daftar panjang homo fabulans (manusia pencerita). Homo fabulans itu mengajukan cerpen sebagai menu ampuh untuk mengabarkan lakon manusia.

Cerpen adalah juru bicara. Dalil ini mungkin patut diajukan untuk meresepsi kehadiran buku 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009 yang disuguhkan oleh program Anugerah Sastra Pena Kencana. Cerpen jadi godaan yang minta perhatian. Godaan itu jadi tanda tanya dan tanda seru dalam ranah kehadiran cerpen-cerpen Indonesia yang membutuhkan hormat dan nilai. Godaan bisa memuncak dan melemah tergantung pada relasi dan transaksi dalam pergulatan estetika dengan media, tingkah pembaca, iklim politik, arus sosial, atau musim kultural.

Prolog dari Triyanto Triwikromo mengesankan bahwa kehadiran 20 cerpen sebagai pilihan menu lezat cerpen Indonesia berada dalam kepungan tanya dan kerepotan menemukan jawaban. Konklusi pun lekas diwartakan bahwa kesusastraan Indonesia masih nelangsa. Cerpen terus diproduksi dengan gegap-gempita dan melimpah tanpa menebar sihir impresif untuk manusia-manusia di luar dunia teks untuk membaca cerpen-cerpen yang kerap dianggap elitis. Prolog ini jadi pengesahan untuk memerkarakan cerpen sebagai realisasi laku kreatif yang hidup dalam ancaman malaikat-malaikat maut. Cerpen: hidup atau mati?

Fenomena kritis atas nasib cerpen sejak lama jadi polemik dan keluhan. Jawaban-jawaban eksplisit justru diajukan dengan keriuhan pemuatan cerpen di koran dan penerbitan antologi cerpen. Publikasi cerpen jadi jawaban atas ragu atau curiga meski tak menghapus dilema. Radhar Panca Dahana (2005) mengingatkan kehadiran dan signifikansi cerpen sebagai penghuni genre prosa: ''Untuk apa lagi prosa diproduksi? Ketika dunia sesungguhnya telah menjelma menjadi prosa. Ketika logika hidup, imaji publik, atau peristiwa-peristiwa rutin sudah begitu prosaik .... Headline surat kabar, gosip-gosip tabloid, bincang di radio, cover majalah, diskusi cafe, keceriwisan warung kopi, wabah infotaiment, hingga soap opera di milis atau komunitas, SMS, telah dengan rajinnya (dalam hitungan detik) mempersembahkan kisah-kisah nyata yang tak sekadar luar biasa, tapi juga tak terbayangkan (unimaginable).'' Cerpen memang terus ada dengan tegangan-tegangan untuk gairah atau gerah.

Kehadiran buku ini jadi jawaban lanjutan atas nasib cerpen. Pilihan atas cerpen yang dianggit oleh Agus Noor, A.S. Laksana, Ayu Utami, Azhari, Danarto, Eka Kurniawan, F. Dewi Ria Utari, Gunawan Maryanto, Intan Paramadhita, Lan Fang, Linda Christanty, M. Iksana Banu, Naomi Srikandi, Nukila Amal, Putu Wijaya, Ratih Kumala, Stefany Irawan, Triyanto Triwikromo, Zaim Rofiqi, dan Zelfeni Wimra jadi representasi optimisme cerpen mutakhir untuk tak terus nelangsa. Perkara substantif adalah cerpen dengan olahan, sajian, dan rasa pada pembaca. Cerpen-cerpen itu pun ingin menyapa pembaca sebagai konsekuensi dari kerja sastra dan kultural.

Cerpen Zaim Rofiqi yang berjudul Kamar Bunuh Diri patut jadi perhatian pembaca untuk memerkarakan nasib cerpen Indonesia mutakhir. Alinea pertama: Kau tentu mengira kamar itu kecil. Terlalu sempit sehingga membuat pikiran sumpek, udara mampet, angan-angan mandek? Alinea ini bisa dipakai untuk menguji kelezatan cerpen-cerpen terbaik yang disuguhkan pada pembaca. Kelezatan 20 cerpen dalam buku ini kerap memberi impresi dengan gerak dan jalan beda. Konklusi: Kau jangan mengira buku antologi cerpen ini ada dalam kamar kecil tapi kau memiliki hak untuk menerima atau menolak sumpek, mampet, dan mandek.

Ini cecapan kecil atas kelezatan sekian cerpen. Cerpen Kartu Pos dari Surga anggitan Agus Noor memberi haru yang ungu atas kisah bocah perempuan untuk menanyakan ibu. Cerpen Sonata dari Lan Fang memberi godaan puitik untuk menikmati naif dan romantisme. Cerpen Lembah Kematian Ibu menyuguhkan pedih perempuan yang sepi liris dan rindu dendam. Cerpen Usaha Menjadi Sakti dari Gunawan Maryanto memberi kesan biografi manusia untuk mengalami sebagai manusia. Cerpen Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis mengingatkan resah cinta, dendam, luka, dan kematian yang dramatis.

Kelezatan cerpen-cerpen itu beda dengan tendensi aktualitas dari sekian cerpen sebagai bukti keintiman cerpen (fiksi) yang hadir di koran yang mengusung berita (fakta). Cerpen Terbang anggitan Ayu Utami jadi tanda seru untuk musibah-musibah kecelakaan dan refleksi atas nyawa. Cerpen Suap dari Putu Wijaya jadi satire yang menggelikan dan memuakkan atas lakon korupsi. Cerpen Perbatasan karya F. Dewi Ria Utari jadi panggung tanya untuk pornografi dan pornoaksi. Cerpen-cerpen ini jadi refleksi meski dalam cecapan kelezatan kadang lekas kehilangan impresi atas bahasa dan kisah.

Penilaian Wicaksono Adi mengenai cerpen-cerpen dalam buku ini sangat fasih menciptakan bentuk yang sesuai dengan isi cerita mungkin patut diamini. Kefasihan itu sebagai faktor dari kerja homo fabulans untuk menciptakan komunikasi dan interaksi. Kefasihan itu ada tapi terkadang melenakan karena kurang mengurusi kelezatan untuk pengekalan reflektif lalu cenderung menjadi catatan kecil atas berita. Barangkali curiga ini yang hendak diterangkan oleh Wicaksono Adi dalam istilah ''bobot kehadiran'' (cerpen tidak melulu bertumpu pada ''cerita'' tetapi dapat meluas menuju hal-hal lain yang mengitari peristiwa atau segala ihwal yang berada di balik ''cerita''). Begitukah? (*)

Bandung Mawardi, peneliti Kabut Institut Solo

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 24 Mei 2009

Buku: Cerita dari Negeri Oranye

Judul buku: Negeri van Oranje
Editor: Wahyuningrat, Nisa Riyadi, Rizki Pandu Permana, Adept Widiarsa
Penerbit: Bentang Pustaka Jogjakarta
Cetakan: Pertama, April 2009
Tebal: 471 halaman

MENJEJAKKAN kaki pertama kali di bandara internasional Schipol, Amsterdam, sama sekali tidak mengusir rasa kantuk setelah nyaris 14 jam duduk di pesawat jurusan Jakarta - Kuala Lumpur - Amsterdam. Namun rasa kantuk itu mendadak hilang saat tahu rekan-rekan para pengurus PPI Belanda telah menjemput dan begitu ramah membantu membawa koper serta mulai bercerita seputar kehidupan di Belanda.

Bagi sebagian besar calon mahasiswa program master di berbagai kampus di Belanda, melanjutkan kuliah di negeri kincir angin merupakan pintu masuk ke benua Eropa. Benua yang melahirkan abad pencerahan ilmu pengetahuan, kemanusiaan dan teknologi. Sehingga sejak persiapan awal di Jakarta, sudah banyak rekan calon mahasiswa ke Belanda sudah mengagendakan berkunjung ke kota mana saja jika sudah tiba di Belanda. Selain seantero kota-kota Belanda perlu dijelajahi, nyaris sebagian besar mahasiswa Indonesia di Belanda tak lupa wisata ke Italia, Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, bahkan ada pula yang berkelana ke negara-negara bekas Eropa Timur dan Balkan.

Mungkin hanya dibutuhkan waktu dua hari -atau malah sehari saja - untuk bisa berkeliling ke seluruh Belanda dengan tiket kereta api yang bisa dibeli dengan kartu diskon di supermarket Kruidvat. Berkelana menikmati keindahan kota-kota di Belanda memang menjadi salah satu cara mahasiswa Indonesia agar terhindar dari kejenuhan belajar. Bayangkan, nyaris tiada hari tanpa membaca, diskusi atau debat secara kritis di kampus. Bahan bacaan yang bertumpuk-tumpuk wajib dibaca sebelum masuk ke ruang kuliah agar tidak cuma melongo saja saat debat di ruang kuliah. Akibatnya, kelelahan dan kejenuhan selalu menghinggapi di akhir pekan dan obat mujarab untuk mengatasinya adalah menikmati perjalanan di Belanda atau pergi ke museum.

Nyaris di seluruh kota Belanda terdapat museum atraktif dan selalu mempunyai agenda acara wajib untuk ditonton. Salah satunya Rijksmuseum di Amsterdam yang memajang perjalanan ekspedisi VOC ke berbagai belahan dunia lain. Bahkan ada duplikat kapal VOC yang sengaja diletakkan di salah satu kanal di Amsterdam.

Di dalam buku ini dijelaskan tips-tips menarik untuk hidup hemat agar bisa menyisihkan uang saku beasiswa agar bisa melancong ke berbagai negara Eropa. Para tokoh dalam buku ini adalah mahasiswa Indonesia dari kampus berbeda, tapi mereka bertemu di Amersfort, tepatnya di sebuah stasiun kereta api di kota itu, karena menunggu badai yang menunda perjalanan mereka dengan kereta. Sebuah pertemuan tak disengaja yang kemudian mengakrabkan kelima mahasiswa tersebut. Mereka adalah Banjar, Lintang, Wicak, Geri, dan Daus. Sejak saat itu, hari-hari mereka kemudian diisi dengan berbagai aktivitas persahabatan di berbagai kegiatan.

Melalui aktivitas itulah, pembaca kemudian diajak memasuki keseharian, kebiasaan, dan budaya Belanda. Para mahasiswa Indonesia ini melancong ke berbagai kota di Belanda, seperti Leiden, Rotterdam, Maastricht, Utrecht, Amsterdam, Den Haag, Wageningen, dan Delft. Sembari terus mengabarkan bagaimana suasana atau situasi sehari-hari yang dihadapi. Buku ini unik karena penggambarannya yang mengalir, jenaka, tapi tetap mempertahankan rincian lokasi serta suasana. Jika buku-buku bergenre travelling umumnya lebih mengarahkan pembaca kepada lokasi wisata untuk dikunjungi atau even-even wisata yang digelar, maka kelebihan buku ini terletak pada interaksi yang sangat intens antara para tokoh dengan objek-objek penting di Belanda. Interaksi ini membuahkan pengalaman yang kemudian dibagi kepada pembaca, tanpa ada kesan menggurui.

Seperti kebiasaan merokok kretek. Para mahasiswa perokok asal Indonesia sudah terbiasa mengisap rokok kretek yang harganya sangat mahal sekaligus agak langka ditemui di Belanda. Untuk menyiasati agar tetap bisa mengisap rokok kretek, mereka mempunyai kiat unik. Yakni menjaga hubungan baik dengan para mahasiswa program doktoral asal Indonesia atau siapa saja yang sering pulang pergi ke Indonesia. Di antaranya, membantu aktivitas mereka tanpa harus mengorbankan jadwal akademik atau tugas-tugas kampus.

Para mahasiswa program master di Belanda biasanya mempunyai waktu luang selain di akhir pekan, juga pada saat usai ujian. Walhasil, pasokan rokok kretek asli Indonesia bisa diperoleh dengan mudah, malah bisa gratis. Selera Nusantara memang sulit terhapus dari keseharian mahasiswa Indonesia di Belanda.

Selain rokok kretek, soal makanan juga susah berpindah ke menu sehari-hari makanan Belanda, kecuali minum susu dan makan keju. Jumlah restoran Indonesia dalam satu kota di Belanda bisa lebih dari 150 buah, besar maupun kecil. Misalnya, restoran masakan Indonesia ''Dayang'' di Den Haag. Tampak dari luar agak kecil dibanding toko-toko di kanan-kirinya. Namun, setiap menjelang makan siang atau makan malam, antrean panjang pengunjung restoran itu selalu terjadi nyaris setiap hari. Hebatnya, mereka yang antre adalah warga lokal alias penduduk Belanda. Masakan yang disajikan sangat khas Indonesia, mulai nasi pecel, gado-gado, nasi kuning, rendang, nasi campur, nasi gudeg, dan aneka kerupuk. Aneka masakan Nusantara itu juga menjadi menu favorit yang ditunggu-tunggu para mahasiswa Indonesia pada setiap gelar acara di KBRI Belanda yang berlokasi di kawasan elite Jalan Tobias Asserlaan, Den Haag. Dari makanan inilah sering muncul rasa nasionalisme para mahasiswa tatkala mereka membandingkan citarasa masakan Nusantara dengan masakan Eropa yang nyaris terasa hambar.

Hal sepele terasakan berbeda saat berada nun jauh di negeri kincir angin. Bahkan kadang membuat rasa rindu pada tanah air jadi tak terbendung. Untuk mengobatinya, KBRI sering menggelar pertemuan warga Indonesia di Belanda.

Suatu ketika, pada Februari 2007, KBRI memutar film dokumenter pemenang FFI 2006 berjudul Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan. Film itu berkisah tentang orang-orang Rusia peminat berat studi Indonesia. Tayangan film itu ibarat menjadi pengobat rasa rindu para bekas mahasiswa Orde Lama yang turut menyaksikan pemutarannya di aula Nusantara KBRI Den Haag. Usai nonton bareng, digelar diskusi singkat dan para eksil Orde Lama yang tak bisa kembali ke Indonesia semasa Orde Baru berkuasa, memberikan testimoni betapa rindu mereka pada tanah air. Apalagi ketika KBRI memutar perdana film Nagabonar Jadi 2 di aula yang sama pada beberapa bulan berikutnya. Ruangan aula sesak dijejali para penonton yang sebagian besar warga Indonesia. Mereka datang dari berbagai penjuru Eropa. Usai film diputar, para penonton memberi applaus sembari berdiri nyaris tiada henti dan si Nagabonar Deddy Mizwar yang ikut menyaksikan sangat terharu pada antusiasme warga Indonesia di negeri rantau itu.

Buku ini merupakan percampuran antara fakta dan fiksi. Tokoh-tokoh yang hadir bersifat fiksi rekaan penulisnya, meski masa lalu para tokoh dibangun melalui teknik flashback yang konon merujuk pada sosok tertentu -sesama mahasiswa rantau di Belanda- yang memang pernah menjalin keakraban dengan keempat penulis. Namun demikian, karakter para tokohnya sangat kuat, dari awal hingga akhir buku. Boleh dikatakan, buku ini jauh dari pretensi sekadar refleksi pribadi atau memoar yang sering dijumpai pada buku-buku kisah perantauan di negeri orang. (*)

Rosdiansyah, penggiat Surabaya Readers Club

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 24 Mei 2009