Sunday, May 31, 2009

Korupsi Dalam Sastra Sunda

-- Djasepudin*

"Rék leutik rék gedé korupsi mah sarua baé dosana. Nu matak mun rék korupsi tong kagok-kagok, héhéhé..."

MAU kecil mau besar korupsi tetap sama dosanya. Maka, jika hendak korupsi jangan tanggung, he..he..he.. (Teten Masduki, Lalayang Girimukti/V/Agustus-Oktober 2002)

Korupsi di Indonesia memang telah menyebar. Ihwal korupsi yang diungkapkan koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), itu berangkat dari karya sastra Sunda. Teten Masduki lebih tahu pergerakan korupsi setelah mendalami carpon-carpon (carita pondok/cerita pendek) karya Ahmad Bakri.

Menurut Kamus Umum Basa Sunda cetakan kesembilan, Mei 1995, korupsi (koreupsi) adalah kecurangan dalam menjalankan tugas mengatur keuangan milik negara, perusahaan, untuk menguntungkan diri pribadi atau golongan.

Dalam naskah Sunda kuna Sanghyang Siksakanda ng Karesian yang ber-titi mangsa nora (0) catur (4) sagara (4) wulan (1), yang berarti tahun 1440 Saka (1518 M) istilah korupsi memang tidak ada namun esensi dari pembahasan korupsi tetap mengemuka.

Adanya istilah nyangcarutkeun (menghianati), mipit mo amit (memetik tanpa izin), ngala mo ménta (mengambil tanpa meminta), ngajuput mo sadu (memungut tanpa memberi tahu), maka nguni tu tumumpu, maling, ngetal, ngabégal sing sawatek cekap carut, ya nyangcarutkeun sakalih ngaranna (pun merampas, mencuri, merampok, menodong, segala macam perbuatan hianat, ya menghianati orang lain namanya) semakin menandaskan korupsi sudah ada sejak zaman Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal Prabu Siliwangi berkuasa.

Dalam Sanghyang Siksakanda ng Karesian pula, seperti yang diungkapkan arkeolog-filolog Ayatrohaedi, kita harus waspada agar terhindar dari cante yang empat. Keempat cante itu adalah siwok cante (tergoda oleh makan dan minum), simur cante (ikut perbuatan orang yang mencuri dan sejenisnya), simar cante (mengambil dagangan mas dan perak tanpa disuruh pemiliknya), dan darma cante (membantu pihak yang dibenci raja atau penguasa). Hal itu untuk menghidari pancagati (lima macam penyakit yang berupa keserakahan, kebodohan, kejahatan, ketakaburan, dan keangkuhan).

**

Selain dalam naskah Sunda Sanghyang Siksakanda ng Karesian, carpon, dan novel, ihwal korupsi pun tampak dalam sajak. Namun, sayang, korupsi yang direkam penyajak Sunda umumnya bernada nyungkun alias menyuruh para koruptor sangkan terus memerkosa hak-hak masyarakat. Sumuhun, seperti kelakar yang dilontarkan Teten Masduki. Bahkan, anjuran untuk berperilaku korupsi harus dipupuk sejak masa mengenyam pendidikan.

Bila pada tahun 1976 Kiswa Wiriasasmita menulis sajak Generasi Korupsi, di pertengahan 90-an Ricky Nugraha menulis sajak ‘Dinamika Aktivis Mahasiswa I’. Sajak utuhnya: iyeuh/ kudu aktif organisasi/ ngarah apal birokrasi/ pikeun ngumpulkeun konéksi/ jaganing géto nyiar posisi// iyeuh/ ulah tinggaleun démonstrasi/ ngarah nyaho kondisi/ sanajan saukur aksi/ ngarah batur kataji// iyeuh/ geuwat réngsékeun skripsi/ ngarah gancang meunang korsi/ nu gampil keur korupsi/ hasilna beulikeun mérsi/ (ulah poho bagi-bagi)//

Sajak yang dimuat dalam antologi Nyurup Lambak (Pamass-Unpad, 1995), itu merupakan tafsir penyajak dalam membaca realitas korupsi yang terjadi di Indonesia, khususnya di tatar Sunda.

Dalam sajak ini, penyajak menyentil dua pihak sekaligus, para koruptor, dan calon koruptor, yakni mahasiswa.

Idealisme yang menggelora di pikiran, jiwa, dan sikap mahasiswa biasanya akan luntur seketika manakala mereka menempati kursi empuk kekuasaan. Sikap macam itu masuk pada kolom unggah adat.

Inilah implementasi dari "korupsi berbarengan" atau dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian hal tersebut masuk pada kategori simur cante (ikut perbuatan orang yang mencuri dan sejenisnya) dan simar cante (mengambil dagangan mas dan perak tanpa disuruh pemiliknya).

"Nyungkun" korupsi dalam sastra Sunda terdapat juga dalam sajak Raksukan Para Juragan karya Usep Romli H.M. serta Wasiat Konglomerat karya Taufik Faturohman.

Adanya pembahasan korupsi dalam salah satu pedoman atau kewajiban hidup masyarakat Sunda, Sanghyang Siksakanda ng Karesian, menunjukkan sejak baheula masyarakat Sunda memang telah akrab dengan perkara korupsi, meski dengan nama dan bentuk yang berbeda.

Adapun gambaran korupsi masyarakat Sunda yang terdapat dalam karya sastra, selain menunjukkan rasa prihatin para pengarang akan situasi lingkungannya, juga menunjukkan sastra Sunda tidak selamanya berkutat pada permasalahan cinta belaka. Sastra Sunda ternyata bisa ngigelan jeung ngigelkeun jaman.

Untuk membasmi korupsi sejatinya bisa dilakukan beragam cara. Salah satunya membuka jalan dengan memahami karya sastra. Sebab sastra adalah cerminan dari kehidupan masyarakatnya.

Meski tidak banyak, karya sastra Sunda yang menyingung korupsi tetap ada yang menarik untuk dinikmati dan dikaji. Carpon atau novel karya Ahmad Bakri, misalnya. Kualitas karya Ahmad Bakri? Dijamin, enak dibaca dan perlu.***

* Djasepudin, Alumnus Prodi Sastra Sunda Unpad.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Mei 2009

No comments: