-- Rolan Dahlan & Hokky Situngkir
MARILAH kita mulai dengan mengamati aktivitas seorang anak kecil ketika ia begitu tertarik menggambarkan objek-objek yang ada di sekelilingnya. Mulai dari lembaran halaman buku tulis hingga dinding kamar akan dipenuhi dengan coretan-coretan gunung, wajah, mobil, kembang, dan berbagai bentuk lainnya. Akan tetapi, ketertarikan terhadap bentuk tidak hanya dimiliki oleh seorang anak kecil. Lebih dari dua puluh enam abad yang lalu, sekumpulan intelektual di Yunani juga memiliki ketertarikan yang sama.
Namun, ada perbedaan mendasar antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih ekspresif dalam menggambar. Akibatnya dihasilkan bentuk-bentuk yang seolah-olah tidak beraturan. Sedangkan, para intelektual Yunani di masa itu cenderung mencari bentuk-bentuk yang beraturan seperti lingkaran, segi tiga, persegi, bola, kubus, kerucut, dan sebagainya. Pengetahuan akan bentuk-bentuk yang beraturan ini kemudian melahirkan sebuah disiplin ilmu yang disebut dengan geometri (ilmu ukur).
Para intelektual Yunani kemudian mencoba untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk tersebut. Bentuk yang tidak beraturan, seperti gambar buatan seorang anak kecil, dianggap sebagai bentuk yang tidak sempurna. Jika pengetahuan dan kebenaran yang hakiki adalah sesuatu yang sempurna maka ia hanya bisa didekati melalui bentuk-bentuk yang teratur. Mereka kemudian meyakini bahwa pengetahuan dan kebenaran hanya dapat dicari melalui geometri.
Geometri merupakan salah satu sumber pengetahuan Barat. Ia menjadi inspirasi dari berbagai disiplin ilmu lainnya, mulai dari aljabar, aritmatika, logika, fisika, biologi kimia, astronomi, hingga ekonomi, statistika, sosiologi, psikologi, seni, dan sebagainya. Melalui visi tersebut, peradaban Barat tampil mendominasi wajah dunia pengetahuan.
Namun, apakah visi klasik pengetahuan Barat yang berupaya untuk mencari pengetahuan dan kebenaran yang hakiki melalui bentuk-bentuk sempurna sepenuhnya benar?
**
PADA abad ke-19 dan ke-20, lahir sejumlah penemuan baru yang mempertanyakan eksistensi visi tersebut. Konsep ketakberhingga (infinity) dalam teori bilangan mendapat serangan tajam. Perspektif ruang dalam geometri mulai mendapatkan kritikan. Paradoks di logika terkuak ke permukaan. Permasalahan konsistensi dan kelengkapan dalam aritmatika terungkap. Dalam seni, muncul gelombang multiperspektif, seperti dadaisme pada seni rupa dan psikodelik di seni musik. Kerajaan pemikiran Barat yang telah berusia lebih dari 25 abad memasuki fase krisis.
Dua dekade setelah Perang Dunia ke-2, lahir perspektif baru yang memberikan harapan, yaitu teori chaos. Teori chaos kemudian memperkenalkan konsep baru yang disebut dengan fraktal. Konsep baru tersebut mulai berkembang pada dekade 1980-an.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan fraktal? Fraktal adalah sebuah bentuk yang tidak teratur, namun memiliki sifat kemiripan dengan diri sendiri.
Mari bersama-sama kita bayangkan brokoli di dapur. Coba kita ambil kamera dan kemudian kita potret brokoli tersebut. Kita akan mendapatkan hasil foto yang pertama. Sekarang potong brokoli tersebut dan kita ambil satu tangkai di dalamnya. Kemudian kita potret setangkai brokoli tersebut. Kita akan mendapatkan hasil foto yang kedua.
Sifat fraktal yang menunjukkan kemiripan geometris pada skala pengukuran yang berbeda ini ternyata hadir di hampir sejauh mata kita memandang. Awan-awan yang senantiasa bergerak di angkasa, deretan pegunungan, alur sungai-sungai, hingga ranting pohon menunjukkan sifat fraktal. Bahkan bentuk fisiologis paru-paru kita menyimpan struktur fraktal di dalamnya.
Fraktal membawa pemahaman yang baru tentang bentuk dan bagaimana kita semestinya mengamati dan melakukan pengukuran atas alam dan sekitar kita. Geometri klasik mengajarkan kita tentang pemahaman akan bentuk pada bentuk-bentuk sederhana yang kaku misalnya bentuk-bentuk dua dimensi seperti lingkaran, persegi panjang, dan sebagainya, bentuk-bentuk tiga dimensi seperti kubus atau bola, dan sebagainya. Geometri fraktal memungkinkan kita untuk memahami bentuk-bentuk lain dengan dimensi yang bukan merupakan bilangan bulat (misalnya dimensi 1, 2, 3, dan seterusnya) melainkan berupa bilangan pecahan atau desimal.
Fraktal membawa paradigma baru dalam memahami berbagai bentuk-bentuk yang ada di alam. Pegunungan tidak berbentuk kerucut, tetapi memiliki sifat kemiripan pada diri sendiri di dalamnya. Tak berhenti hanya sampai di sana, melalui geometri fraktal ini kita juga memiliki kemampuan untuk mengonstruksi bentuk-bentuk baru.
Pengetahuan yang baru tentang bentuk tersebut melatarbelakangi lahirnya berbagai pendekatan kontemporer dalam melihat alam semesta selama satu dekade terakhir ini, seperti ekonofisika, sosiofisika, biologi evolusioner, sains kognitif, dan sebagainya.
**
SALAH satu kekayaan budaya Indonesia adalah batik. Penelitian komprehensif yang dilakukan pada batik menunjukkan sejumlah fakta yang sangat menarik.
Yang pertama adalah sifat kemiripan dalam banyak skala dan pola pandang. Perhitungan matematis membuktikan eksistensi sifat fraktal pada batik. Hal ini pada dasarnya dapat terobservasi secara sederhana. Jika satu batik kita bolak-balik, sepotong kain batik atau keseluruhannya, ia senantiasa memancarkan pola yang similar yang merupakan pola fraktal.
Keajaiban batik ternyata tidak berhenti sampai di sini. Penemuan kedua menunjukkan, satu motif dasar batik juga memiliki sifat fraktal. Motif-motif dasar tersebut dapat dikonstruksi secara berulang dengan mengekstrak pola yang ada dengan beberapa persamaan matematis.
Motif dasar "Mega Mendung" khas daerah pesisir Cirebon yang menggambarkan awan-awanan, misalnya, menunjukkan pola bahwa satu mega dapat digambarkan dari mega-mega lain yang lebih kecil. Ini merupakan sifat fraktal lain yang disebut sebagai Sistem Fungsi ter-Iterasi (SFI). Pola serupa terlihat pada banyak sekali motif tradisional khas batik, seperti penggambaran Sawat, Lar, Kawung, Parang Rusak, dan sebagainya.
Sifat fraktal batik telah memberi peluang akuisisi teknologi komputasi sebagai alat bantu untuk mendorong kreativitas dalam inovasi batik tradisional. Ia memberikan peluang untuk melakukan pembangkitan pola dan motif-motif baru yang dapat memperkaya cakrawala inovasi batik itu sendiri.
**
TEORI chaos yang terepresentasikan melalui fraktal adalah pembaharuan terhadap visi klasik pemikiran Barat. Perspektif baru dalam perkembangan sains ini ternyata telah diakuisisi nenek moyang bangsa Indonesia dengan cara yang berbeda. Kriya batik dan berbagai artefak tradisional Indonesia lainnya telah mengakuisisi pola pandang yang sangat kontemporer tersebut. Ini adalah fakta yang sangat mengejutkan. Penemuan ini tidak hanya menepis kesan kedangkalan dan keterbelakangan dalam peradaban Timur. Ia menawarkan potensi dan momentum kebangkitan Indonesia.
Kebijaksanaan apa yang dapat kita peroleh dari penemuan ini? Nenek moyang kita ternyata menyimpan sejumlah kearifan besar. Kearifan ini harus kita gali melalui proses penggalian, pendataan, dan penelitian.
Artefak tradisional Indonesia merupakan harta karun besar. Upaya penggalian terhadap nilai-nilai budaya tradisional akan memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk dapat menginspirasi dunia. Hubungan yang harmonis antara ilmu pengetahuan dengan kekayaan budaya tradisional akan menginspirasi berbagai inovasi sains dan teknologi dalam rangka berkontribusi bagi kesejahteraan manusia.***
* Rolan Dahlan & Hokky Situngkir, peneliti di Bandung Fe Institute.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 17 Mei 2009
No comments:
Post a Comment