Sunday, May 17, 2009

Membaca Halaman Sastra di Media Cetak

-- Moch Arif Makruf

SEBUAH perjuangan penulis gelandangan untuk dapat menjumpai ruang publik sastra di media cetak adalah usaha untuk merobohkan dominasi penguasa sastra yang telah terlilit oleh sebuah mekanisme Industri. Ruang publik sastra di media cetak seperti sebuah jalan tol publikasi karya sastrawan mapan. Semakin kesulitan membedakan mana yang menjadi korban dan mana yang mengorbankan. Sastrawan yang telah mapan merasa setiap muntahan penanya selalu ada daya tampungnya. Kualitas sastra telah menjadi industri yang saling melengkapi dan saling menunggangi dalam kepentingannya masing-masing.

Ada sebuah kabut yang bernama dunia industri dalam media cetak yang mengakibatkan penulis gelandangan seperti menjumpai tembok tinggi dalam usahanya menjumpai ruang publik sastra di media cetak. "Dunia Industri hanya mengenal fakta yang dapat di ukur. Buku yang dapat di jual, bukan bermutu atau tidak (Jalan Sastra, Arswendo A, Sindo). Hal ini memunculkan sebuah pandangan redaktur media cetak bahwa memajang karya sastrawan yang sudah mapan yang telah memperoleh berbagai macam penghargaan, menghasilkan berbagai macam antologi, sering "nongol" di media cetak maupun media elektronik otomatis akan menaikkan oplah. Padahal belum tentu, menghiasi ruang sastra di media cetak oleh sastrwan mapan berbanding lurus dengan naiknya oplah.

Padahal jika ruang public sastra di media cetak lebih terbuka,maka akan lebih memastikan meningkatkan oplah media cetak tersebut. Sebab, jika terdapat interaksi ruang publik sastra di media cetak dengan masyarakat bukan hanya akan melahirkan kwantitas dan kwalitas karya sastra melainkan juga kwantitas dan kwalitas sastrawan.

Persaingan akan menjadi lebih sehat dan dunia industri media cetak tidak merasa di rugikan karena ada perhitungan indutri yang menguntungkan. Publik menjadi sebuah bagian yang saling terkait, menjadi pembaca sastra,penikmat sastra dan penghasil karya sastra. Saling terkait antara ruang publik sastra dan masyarakat berarti berbanding lurus dengan meningkatnya oplah.

Selama ini ruang publik sastra di media cetak sepertinya asyik bermain dengan para sastrawan mapan yang di dukung kepercayaan besar dari Industri media cetak,tetapi tidak mampu mempertanggung jawabkan secara Industri.

Sastra kemudian menjadi sebuah proyek menjaga wibawa sebuah media cetak, sehingga dengan memajang para sastrawan mapan berarti telah menaikkan kualitas intelektual media cetak tersebut. Alasan seperti ini menjadi sebuah tameng kegagalan dari media cetak, jika karya sastrawan mapan tidak bisa menaikkan oplah. "Kualitas tidak bisa di ukur dengan oplah". Sebuah drama aksi dukung mendukung yang berakibat sastra terkungkung dan tergantung, dan Industri media cetak mengambil sastra menjadi sebuah patron kualitas.

Di sebuah rubrik sastra di media cetak pernah di bahas mengenai ruang publik sastra alternative,yaitu melalui internet. Tetapi sayangnya dalam pembahasan tersebut tidak menjelaskan bahwa media ruang publik sastra melalui internet seperti di puisi.net,fordisastra.com,kolom kita.com, sejuta puisi blog adalah sebuah exploitasi sastra. Setiap pengunjung website tersebut yang ingin mengirimkan karyanya tidak di sediakan alamat Email,sehingga harus menulis ulang karya mereka dalam keadaan tersambung dengan internet. Bisa di bayangkan berapa biayanya jika ingin mengirim cerpen dan puisi?inikah yang dinamakan media alternative ruang publik sastra? Sebuah alternative ruang publik yang mencekik gelandangan sastra yang rata-rata miskin.

Saya mengalami sebuah pengalaman mengenai kejamnya ruang publik sastra media cetak. Beberapa cerpen,esay dan puisi saya kirimkan di media cetak group Jawa Pos di bogor. Dengan langsung menemui redaktur sastranya. Setelah berminggu-minggu menunggu tanpa ada kabar berita,saya mencoba menanyakan karya yang telah saya kirimkan. Jawaban Redakturnya adalah "saya belum sempat membaca.

"Dia menjelaskan redaksi biasanya mencomot karya yang telah muncul di harian Jawa pos yang jelas kualitas penulisnya dan tidak perlu mengeluarkan honorarium. Kekecewaan saya yang mendalam adalah bukan tidak di muat tetapi "saya belum sempat membaca." Berarti jalan telah tertutup bagi penulis gelandangan hanya karena sebuah pertimbangan Industri (meminimalkan biaya) dan menumbuhkan kesan sebuah media cetak berkualitas karena mampu memajang sastrawan yang telah mapan. Saya tidak tahu apakah setiap redaksi media cetak mempunyai kebijaksanaan semacam ini?

Dedikasi sastrawan mapan dan perjuangannya mengenalkan karya sastra kepada masyarakat patut kita hargai,tetapi karya sastra tidak di tentukan oleh hal tersebut. Banyak sekali karya sastra yang muncul di berbagai media cetak tidak sehebat nama pengarangnya. Sebab tidak mungkin, setiap sastrawan mapan mempunyai kualitas yang prima dalam menciptakan semua karyanya.

Ruang publik sastra di media cetak sekarang ini adalah sebuah pertemuan yang saling menipu antara sastrawan dan industri media cetak. Sastra semakin terasing karena bukan millik masyarakat dan oplah secara otomatis mengikuti masyarakat bukan kehendak sastrawan.

Sehingga terbukanya ruang publik sastra hanya untuk sastrawan mapan berbanding terbalik dengan peningkatan oplah. Tetapi ada sebuah usaha dengan mengelabuhi masyarakat seolah-seolah sastra seiring dengan irama industri.

"Sastrawan berkilah keterasingan sastra adalah kurangnya apresiasi masyarakat terhadap sastra,sedangkan indutri media cetak berkilah dengan kualitas tidak ada hubungannya dengan oplah". ***

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 16 Mei 2009

No comments: