-- Zawawi Imron
ADA orang bertanya kepada saya tentang ''visi kebudayaan''. Saya menjawabnya dengan definisi. Tapi ia merasa malah tidak mengerti. Mungkin karena definisi itu dirasa kaku. Urus punya urus, ia ingin jawaban yang sesuai dengan yang ia pahami selama ini, bahwa visi kebudayaan itu adalah yang banyak memberi bantuan kepada kegiatan kesenian. Ada dana untuk pentas teater, lomba baca puisi, atau kegiatan seni lainnya yang dibuka oleh pejabat.
Pendapat seperti itu tidak terlalu salah, tapi ada ketidakbenarannya. Visi kebudayaan yang sehat akan memandang hari esok dengan mata jiwa yang nyalang menatap hari esok dengan gairah yang tidak akan berbohong terhadap hidup dan hati nurani untuk menempatkan kebudayaan sebagai upaya mengembangkan dan menyempurnakan kehidupan yang tertib, adil beradab, kreatif, dan berpikir positif sehingga atmosfer kemanusiaan di dunia ini terasa menyenangkan.
Dalam visi kebudayaan, semua manusia bersaudara dan saling menghormati tidak boleh saling menyakiti dan saling merugikan. Politik dalam visi kebudayaan akan dijadikan sarana demokrasi untuk membentuk pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan mampu membawa bangsa menjadi berdaya. Dan uang bukan sarana untuk menggoyahkan hati rakyat yang berjiwa murni menjadi pragmatis dan materialistis. Tanpa visi kebudayaan, politik bisa menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, dan tidak akan terpikir bahwa money politic sebenarnya menggebiri kedewasaan rakyat dalam berpolitik. Jika hal itu yang ini terjadi, apa yang bisa kita harapkan dari demokrasi yang kotor seperti itu.
Dengan demikian, politik yang menunjang kebudayaan bukan pembodohan terhadap rakyat dengan janji-janji gombal dan retorika yang memukau tanpa substansi. Partai yang diurus oleh orang-orang yang punya visi kebudayaan akan berusaha untuk mencerdaskan dan memberdayakan rakyat atau kontituennya. Partai bisa berfungsi memberi pendampingan pada rakyat yang terpinggirkan. Kalau perlu melebihi LSM.
Kebudayaan, sekali lagi, bukan cuma selingkar kesenian, tapi kebudayaan yang luas yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pemberdayaan yang memberi harkat, martabat, kemajuan dalam segala bidang kehidupan. Dalam visi ini, sebuah bangsa akan dipersiapkan untuk mampu berdiri di atas kaki sendiri tanpa bergantung dan tergantung pada belas kasihan bangsa lain.
Dalam keadaan masih miskin, pada awal kemerdekaan, bangsa Indonesia mampu menunjukkan martabat dan harga dirinya di tengah-tengah arus pergolakan politik dunia dengan jiwa yang bersih, akhlak yang mulia, dan diplomasi yang lahir dari hati yang jujur dan akal sehat kolektif. Integritas moral seperti itu ternyata mampu menarik simpati dunia untuk bersahabat dan mendukung kedaulatan RI.
Barangkali perlu kita merenungkan percikan pikiran Gus Mus (KH Mustofa Bisri) yang Sabtu kemarin (30/5) mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta. Menurut Gus Mus dalam berbagai pertemuan, visi kebudayaan yang mampu mewarnai gairah politik akan membuat kegiatan politik dan penyelenggaraan negara berjalan santun dan ditujukan untuk kebersamaan. Ekonomi yang berbudaya akan melahirkan kesejahteraan bersama.
Tetapi ketika politik yang menguasai kebudayaan, pada pelaksanaannya, kebudayaan bisa jadi alat kekuasaan. Seniman dan budayawan sebagian akan menjadi kaki tangan kekuasaan. Dalam kebudayaan yang takluk di bawah kaki kekuasaan, visi kebudayaan akan kabur dan perkembangan kebudayaan tidak akan jelas juntrungnya.
Dalam kekuasaan yang punya visi kebudayaan dan didukung oleh pemimpin-pemimpin yang mempunyai refleksi kebudayaan, bangsa dan negara bagaikan bahtera yang menuju zaman gemilang.
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 31 Mei 2009
No comments:
Post a Comment