-- Suhatri Ilyas
KONON, nama presiden pertama kita mestinya ditulis Sukarno (ditulis dengan /u/), bukan Soekarno (ditulis dengan huruf /oe/). Soalnya, sang proklamator bangsa ini, ketika meresmikan ejaan baru menggantikan ejaan ciptaan Belanda, Ejaan van Opuysen, telah menyatakan sendiri penulisan nama dirinya mengikuti ejaan baru tersebut, yaitu /oe/, ditulis /u/ saja, sehingga Soekarno harusnya menjadi Sukarno.
Kalau ini benar, kita telah melakukan kesalahan besar dengan melanggar "amanat" sang proklamator yang amat kita hormati ini dengan selalu menuliskan namanya dengan tulisan yang salah: Soekarno.
Meski demikian, ini tidaklah selalu menjadi kesalahan "penulis" nama sang proklamator kebanyakan itu. Pasalnya, memang tak banyak yang tahu informasi mengenai perubahan ini, dan entah kenapa pula informasi ini tidak menyebar dan tersebar. Penulis sendiri soal ini hanya mengingat pada suatu ketika ada ahli bahasa berkata demikian, dan belum mendapatkan data kepustakaan yang autentik mengenai hal tersebut.
Namun, soal penulisan nama seseorang ini memang kalangan jurnalis kita "sadis". Dari sekian ratus media yang ada di negeri ini, berdasarkan pengamatan penulis, yang akurat menuliskan nama itu barangkali amat sedikit-tak enak penyebutkannya di sini. Itu pun hanya untuk nama-nama tokoh atau selebriti yang menarik dan disegani.
Kalau dulu, tak ada yang berani salah menuliskan nama presiden kedua negeri ini, termasuk menteri-menterinya. Dalam konteks sekarang, rasanya masih akan jadi tidak bermutu suatu media bila menuliskan nama Susilo Bambang Yudhoyono dengan Soesilo Bambang Yudhoyono, karena betapa sang penulis (wartawan) tak punya wawasan, termasuk untuk sekadar tahu nama presiden sendiri dengan benar. Meskipun demikian, tak jarang kita menemukan Susilo ditulis dengan Soesilo untuk nama awal Susilo Bambang Yudhoyono.
Dan nama untuk orang biasa, apa lagi, wallahua'lam. Untuk penulisan nama /Hari-yang orang Betawi asli, misalnya-entah kenapa wartawan kita cenderung menuliskannya /Hary/, /Harry/, atau /Harrie/, dengan huruf /r/ satu atau double dan dengan /y/ atau /ie).
Dalam banyak kasus, banyak sang punya nama di negeri ini ingin juga namanya ditulis dengan nuansa nasionalis, tidak kebarat-baratan, ada rasa keindonesiaan yang kental. Tapi yang muncul di koran (dan media lain-lainnya) tiba-tiba saja seperti /Harry/ atau /Harrie/ itu. Wah.
Padahal, nama itu adalah hak pribadi seseorang yang sebenarnya harus dihargai, yang tak boleh diganggu-gugat, yang harus ditulis dengan benar. Suatu ketika penulis pernah merasa amat bersalah karena selalu salah menyebut nama seseorang. Celakanya, seseorang itu atasan sendiri. Maaf saja tentu tak-lah cukup. Karena, atasan! Nah, bagaimana dengan teman, bahkan bawahan? Dalam konteks ini, amat sering terjadi kezaliman itu.
Dan dalam konteks wartawan, rasanya kasus ini jamak terjadi. Kalau nara sumber bukan orang penting, tak apalah penulisan nama itu salah. Bahkan untuk nama sang presiden sekali pun, seperti kasus Susilo dan Soesilo, "salah-salah sedikit pun tak apalah. Ini menyedihkan.
Masalahnya di sini adalah tingkat penghargaan kita, sang penulis/wartawan, terhadap seseorang, apakah tinggi, sedang, atau biasa, bahkan rendah. Sejauh ini soal itu sang penulis/wartawan kita agaknya masih rendah.
* Suhatri Ilyas, Penyelaras Bahasa Sebuah Penerbitan
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 16 Mei 2009
No comments:
Post a Comment