Sunday, May 31, 2009

Di Atas Viaduct, Lagu Malam Hutan Priangan

Lagu malam
Hutan priangan

DUA larik puisi di atas dipetik dari puisi "Megatruh Bandung"(2000), ditulis oleh penyair Rendra. Dua larik puisi tersebut secara hermeneutik bisa membetot ingatan kita ke berbagai peristiwa yang terjadi tanah Priangan, baik mengenai peristiwa romantis maupun hal-hal yang bersifat kesejarahan. Puisi tersebut selengkapnya bisa Anda baca dalam antologi puisi Di Atas Viaduct yang memuat 153 puisi dari 62 penyair, hasil suntingan penyair Ahda Imran.

Antologi puisi ini boleh dibilang merupakan antologi puisi pertama, yang berbicara tentang Priangan, dalam hal ini Kota Bandung dari berbagai sisi, yakni tidak hanya bicara tentang keindahan atau kekumuhan Kota Bandung, akan tetapi juga bicara juga soal mitos, dan orang-orang yang tumbuh dan besar dalam sejarah pergerakan maupun perjuangan pada zamannya, di Kota Bandung khususnya, dan di Priangan pada umumnya.

Ini tidak berarti bahwa sebelum antologi puisi ini terbit, tidak ada satu antologi puisi pun yang terbit bicara tentang Kota Bandung. Tidak demikian adanya. Jika ini disebut sebagai antologi puisi pertama, disebabkan karena puisi para penyair yang masuk dalam antologi ini, tidak hanya ditulis oleh mereka yang tinggal di Kota Bandung, tetapi juga ditulis oleh mereka yang tinggal di luar Kota Bandung dengan tema yang meluas.

Selain puisi yang ditulis Rendra, Anda bisa juga membaca sejumlah puisi yang ditulis Ramadhan K.H., Apip Mustopa, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, Saini KM, Remy Sylado, Jeihan Sukmantoro hingga generasi Ayi S. Buchori, setelah sebelumnya kita bertemu dengan generasi Juniarso Ridwan, Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Diro Aritonang, dan Nenden Lilis Aisyah. Malah selain itu, ada juga puisi yang ditulis oleh penyair Jerman, Martin Jankowski, dengan puisi di bawah ini: "Pergilah ke Hindia-Belanda: dan dari sana, seperti yang kalian/ ketahui, dari tiga orang hanya satu yang pulang!"/ Heinrich von Kleist// dalam gelap kamar-kamar jerman cahaya/ selatan masih menyala// di mataku/ aku buta//

Puisi tersebut diberi judul Surat Musim Gugur ke Bandung. Dalam puisi yang cukup sederhana ini, Martin mencutat kata-kata sasrawan Jerman lainnya, Heinrich von Kleist. Ini artinya betapa mempesonanya Hindia-Belanda, dalam hal ini Bandung. Pertanyaannya, Bandung pada zaman mana yang mempesona itu? Sebab Kota Bandung dewasa ini lebih jauhnya Priangan, bukan lagi sebuah tempat yang menarik. Kerusakan alam terjadi di mana-mana, demikian juga soal mental dan budayanya. Tema-tema yang demikian itu, menjadi tema yang tak habis-habisnya digali para penyair, yang sejumlah puisinya disunting Ahda Imran ke dalam antologi puisi ini.

Seperti kutipan puisi di bawah ini yang ditulis penyair Acep Iwan Saidi, inilah nyanyian anak jalanan/ yang mengamen di persimpangan/ tentang priangan yang tak lagi perawan/ terlena bermimpi dalam buaian// ("Priangan Si Derita") Atau penyair Juniarso Ridwan menulisnya seperti ini: mata berasap di pagi lebam/ unggas terkapar merintih sendu/ lalu dari bukit debu menghampar/ aku memetik perih berkarung-karung// ("Priangan Si Derita"). Kedua petikan puisi tersebut menggambarkan kerusakan lingkungan hidup, bukan lagi alam yang indah sebagaimana digambarkan penyair Ramadhan KH dalam kumpulan puisinya yang diberi judul "Priangan Si Jelita", yang beberapa bagian dari puisi tersebut dipetik dalam antologi ini.

Lepas dari persoalan tersebut, dalam percakapannya dengan "PR", Ketua Forum Sastra Bandung, Juniarso Ridwan mengatakan, Forum Sastra Bandung (FSB) bekerja sama dengan PT Kiblat Buku Utama tertarik menerbitkan antologi ini, disebabkan antara lain oleh nilai dokumentasi yang dikandungnya. "Selain itu, tentu saja, peta sebuah kota dengan berbagai problematika yang melatarinya bisa juga dilihat dari puisi yang ditulis para penyair," ujar penyair Juniarso Ridwan, Kamis (28/5) di tempat tinggalnya, Jln. Tirtasari Bandung.

Paling tidak, pada satu sisi, demikianlah dokumentasi tentang biografi sebuah kota, dalam hal ini Kota Bandung, lebih luasnya Priangan, ditulis para penyairnya, yang dari generasi ke generasinya punya cara pandang dan sejarahnya masing-masing. Lagu malam/ Hutan priangan// yang kita dengar pun, sebagaimana ditulis Rendra, berbagai-bagai pula luka pedihnya yang sampai kepada kita. Setidaknya antologi puisi ini layak untuk diapresiasi, terutama oleh mereka, para politisi, yang sering berkoar-koar atas nama rakyat dalam menyuarakan kepentingan perutnya masing-masing. Dan kini tengoklah rakyat yang telah bersuara itu, dalam puisi yang mereka tulis itu. Adakah kau mengerti bahwa bahaya telah mengancam kita, dari berbagai sisi. (Soni Farid Maulana/"PR")***

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Mei 2009

No comments: