Sunday, May 31, 2009

Dewan Kesenian Indonesia di Depan Mata

-- Henri Nurcahyo

PERTEMUAN Dewan Kesenian Tingkat Provinsi se-Indonesia di Malang, 21-23 Mei lalu sepakat untuk menindaklanjuti keputusan Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia di Papua 2005 tentang pembentukan Dewan Kesenian Indonesia (DKI). Keputusan itu lahir dari perdebatan panjang para delegasi dari 17 provinsi yang hadir dalam pertemuan tersebut.

Gagasan pembentukan DKI memang kontroversial. Sejumlah penolakan sudah muncul di arena kongres di Papua. Ketika dilangsungkan Kongres Kesenian II di Jakarta pada 2005, juga muncul unjuk rasa para seniman yang menolak pembentukan DKI.

Suara penolakan makin keras ketika dilangsungkan Pertemuan Dewan Kesenian se-Indonesia akhir 2008. Tidak berhenti di situ, menjelang pertemuan di Malang kemarin, suara-suara penolakan masih terus beredar lewat SMS, e-mail, telepon, bahkan di arena pertemuan.

Pertanyaannya, apakah hal itu lantas diartikan pembentukan DKI memang tidak dikehendaki seniman? Menurut Marco Kusumawijaya, ketua umum Dewan Kesenian Jakarta, ''Perbedaan pendapat itu jangan lantas membuat kita makin terpisah, tapi justru harus menjadi dekat.''

Setuju dan tidak setuju itu biasa. Kalau menelaah suara-suara penolakan DKI, rata-rata mereka mengkhawatirkan adanya sentralisasi Dewan Kesenian sehingga menjadi semacam pemerintahan pusat yang membawahi DK seluruh Indonesia. Itu sebabnya ketika mendengar adanya pertemuan DK Provinsi se-Indonesia di Malang, muncul suara-suara yang menolak dan menganggap bahwa DK provinsi mengklaim suara DK kabupaten/kota. Bahwa DK kabupaten/kota bukanlah bawahan DK provinsi, sehingga seharusnya mereka berhak ikut.

Sampai di sini dapat ditangkap adanya standar ganda dalam memahami DK itu sendiri. Di satu sisi DK kabupaten/kota menganggap dirinya bukan bawahan DK provinsi (kenyataannya memang begitu). Logikanya, apa salahnya DK-DK provinsi melakukan pertemuan sendiri? DK kabupaten/kota tidak perlu merasa sewot dengan pertemuan tersebut, sepanjang kehadiran DK provinsi tidak membuat kesepakatan yang mengikat dan mengatasnamakan DK kabupaten/kota. Hal itu tentunya sudah disadari oleh DK provinsi sendiri.

Analog dengan hal itu, menjadi sah juga kalau misalnya DK kabupaten/kota mengadakan pertemuan sendiri tanpa melibatkan DK provinsi. Bisa saja digelar pertemuan antar DK se-Jatim, se-Jawa, bahkan se-Indonesia. Sejak semula sudah sama-sama menyadari, bahwa tidak ada hubungan hirarkis struktural di antara Dewan Kesenian.

Jadi, kalau di Papua muncul gagasan pembentukan DKI, dan kemudian ditindaklanjuti pertemuan di Malang, sepanjang tidak menjadi lembaga yang hirarkis struktural, apa yang salah? Kalau mau menang-menangan, pembentukan DKI tidak membutuhkan pengakuan de jure dari DK provinsi, ataupun DK kabypaten/kota. Bukankah ketika dibentuk DK provinsi juga tidak membutuhkan pengakuan formal dari DK kabupaten/kota? Mengapa DK kabupaten/kota dapat menerima begitu saja pembentukan DK provinsi? Hal ini tidak lain karena kehadiran DK provinsi memang tidak menjadi atasan langsung DK kabupaten/kota.

Nah, kalau persoalan ini diberlakukan dengan pembentukan DKI, apa yang perlu diributkan? Masing-masing DK provinsi tentu sangat yakin bahwa mereka tidak mau menjadi underbouw DKI. Sebagaimana DK kabupaten/kota selama ini juga tidak menjadi underbouw DK provinsi.

Memang, ada juga suara yang mengkritisi bahwa kelahiran DKI nanti akan menjadi birokrasi baru yang didominasi orang-orang Jakarta. Justru Marco sendiri yang menawarkan gagasan bentuk lain dari DKI. Misalnya, semacam Federasi Dewan Kesenian se-Indonesia. Kalau itu yang dikhawatirkan, maka format DKI nanti tinggal dibuat sedemikian rupa agar tidak Jakarta Centris, melainkan menjadi semacam federasi.

Posisi Tawar

Lepas dari kontroversi itu, sebetulnya sudah lama disadari adanya semacam institusi DK di tingkat nasional agar memiliki posisi tawar yang seimbang dengan pemerintah pusat. Kalau DK kabupaten selevel dengan bupati, DK kota dengan wali kota, DK provinsi dengan gubernur, nah institusi apa yang selevel dengan presiden? Itu sebabnya pada 1990-an pernah dibentuk Badan Kontak Dewan Kesenian Indonesia dengan menunjuk Salim Said, ketua DKJ waktu itu, sebagai ketua Badan Kontak.

Hasil kongkritnya, lahir Instruksi Mendagri No 5A tahun 1993 tentang pembentukan DK provinsi di seluruh Indonesia, menyusul turunnya bantuan presiden untuk pengembangan kesenian sekitar 1998 dan 1999 yang dinikmati DK-DK se-Indonesia.

Lagi-lagi muncul pertanyaan, kalau Badan Kontak sudah dianggap dapat menjadi solusi institusi DK secara nasional, mengapa harus ada DKI? Jawabannya juga sama dengan di atas, format DKI nanti dapat mengadopsi bentuk Badan Kontak itu. Jadi, federasi, Badan Kontak atau DKI, sebetulnya hanya persoalan nama belaka. Substansinya sama saja. Hal-hal yang merugikan disingkirkan, dan yang menguntungkan diadopsi. Sebisa mungkin menghindari konflik.

Kabar terakhir, ternyata DKI selama ini sudah menggelinding. Kongres DK di Papua sudah membentuk tim formatur yang terdiri dari 15 orang dengan ketua Ratna Sarumpaet (saat itu ketua DKJ, namun bertindak atas nama pribadi). Pertemuan DK provinsi di Malang kemarin yang mencoba menindaklanjuti kerja tim formatur Papua itu, yang kebetulan 7 dari 15 anggotanya hadir di Malang.

Pertemuan di Malang itu juga menghasilkan sejumlah rekomendasi. Pertama, untuk memfasilitasi kerja koordinatif di tingkat nasional, Pertemuan Nasional Dewan Kesenian Provinsi se-Indonesia di Malang sepakat dan mendorong terbentuknya Dewan Kesenian Indonesia sebagai tindak lanjut keputusan Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia di Papua 2005 dan pernyataan Presiden Republik Indonesia melalui telekonferensi pada acara penutupan Kongres Dewan Kesenian se- Indonesia di Papua itu. Kedua, mengharapkan tim formatur Kongres DK di Papua agar segera menyampaikan capaian-capaian tugas dan proses pembentukan Dewan Kesenian Indonesia kepada seluruh DK se-Indonesia. Hal itu mengingat bahwa Dewan Kesenian Indonesia menjadi kebutuhan mendesak untuk berperan dalam proses pembangunan kesenian di Indonesia.

Ketiga, proses pembentukan Dewan Kesenian Indonesia harus mempertimbangkan dan mengkaji segala masukan yang berkaitan dengan pembentukan Dewan Kesenian Indonesia.

Keempat, mendesak pemerintah untuk membuat regulasi terhadap penguatan institusi DK sebagai lembaga publik dalam hal posisi, peran, dan fungsinya agar mampu secara optimal berpartisipasi dalam proses pembangunan. Untuk itu perlu meningkatkan Instruksi Mendagri No. 5A Tahun 1993 ke dalam bentuk landasan hukum lebih tinggi yang diakui sebagai peraturan di Indonesia.

Kelima, menugaskan kepada Dewan Kesenian Jakarta sebagai Badan Kontak Dewan Kesenian se-Indonesia untuk melakukan langkah-langkah strategis. Yakni, mengundang dan berdialog dengan tim formatur pembentukan Dewan Kesenian Indonesia; menyampaikan hasil pertemuan kepada pemerintah dan ketiga calon presiden RI; dan menjadi mediator pertemuan ketua dewan kesenian provinsi se-Indonesia dan tim formatur dengan presiden untuk mewujudkan terbentuknya Dewan Kesenian Indonesia. (*)

* Henri Nurcahyo, Anggota Pleno Dewan Kesenian Jawa Timur

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 31 Mei 2009

No comments: