Sunday, May 17, 2009

Demokrasi Sebelah, Hidup Terbelah (Menanggapi Yasraf Amir Piliang)

-- Setiaji Purnasatmoko

SEBUAH kampung di Tapanuli Utara. Jalur menuju perkawinan kami dicapai melalui hari-hari yang dipenuhi rapat keluarga. Tidak persis antardua keluarga, memang. Sebab saya praktis membawakan diri saya sendiri. Maklum ayah sudah meninggal dan ibu sudah menua. Saya bersendiri dengan bekal restu dari ibunda dan kakak-kakak serta adik-adik. Di Tapanuli itu, saya dipertemukan dengan satu keluarga yang bertindak sebagai orang tua wali untuk saya, dengan itu jalur dan tatacara adat bisa kami jalani untuk sampai ke upacara perkawinan. Demikianlah, Setiaji yang Jawa abangan, si individu dari kancah modernisasi pengkotaan, hatinya bungah nyemplung diterima oleh kampung dengan relasi tali persaudaraan yang rapat antarwarga.

Petikan cerita saya berikutnya guna ancangan menanggapi tulisan "Dosa-dosa Demokrasi" oleh Yasraf Amir Piliang (Khazanah, 19 April 2009) adalah betapa bermalam-malam menjelang hari-H rumah kampung di atas bukit tempat kami menginap menjadi sempit. Para kerabat selalu berkumpul membahas persiapan ke acara perkawinan. Mereka menelisik apa yang harus dan belum dilakukan sesuai adat kebiasaan. Nyaris tak ada orang dewasa yang pendiam dalam kolektif ini. Masing-masing berbicara, beropini, dan berurun rembug yang kerap dengan suara yang keras dan urat leher yang tegang, saling menimpali.

Berkelahikah mereka? Tidak, mereka tengah berekspresi apa adanya alias masing-masing bersuara dalam forum demokratis. Samar dibalik sedemikian ngototnya melempar kata-kata, saya menangkap ada keyakinan bahwa yang tengah diperdebatkan adalah guna mengasah kesepakatan yang sudah lama terbentuk sebelumnya. Itulah adat, kebiasaan, dan tradisi berikut tata caranya.

Setelah itu, keesokan paginya, saya praktis hanya tinggal menjalani apa yang dirapatkan sesuai prosedur. Saya menemukan tradisi bertaut ke makna asalinya, tradere, yang kurang lebih berarti transaksional sekaligus pengantar menuju ke sesuatu.

Dalam kasus saya, tradisi adalah pengantar (membahagiakan) perkawinan saya dengan isteri saya. Lalu komunitas-komunitas yang berdaulat pun menyelesaikan urusan-urusannya sendiri demi kenyamanan orang per orang anggota kewargaannya.

"Engkau mengatakan bahwa kesepakatan antarmanusia menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Sebenarnyalah, itu adalah mahluk hidup yang berkata-kata tentang benar dan salah, dan mereka bersepakat dalam bahasa yang mereka gunakan. Itu bukanlah (semata) kesepakatan dalam beropini, melainkan dalam bentuk-bentuk kehidupan," ujar Wittgenstein.

Tetapi mengapa warga Simasom sedemikian ikhlas mengikuti prosedur yang dituntut oleh tradisinya? Chantal Mouffe, teoritisi demokrasi yang mengkritisi arus liberalisme pada ajuan sistem demokrasi kontemporer dari Habermas dan John Rawls, lebih lanjut mengelaborasi Wittgenstein. Dengan penekanan pada soal prosedur tadi, Mouffe menggarisbawahi kebutuhan akan sejumlah "kesepakatan nilai dan penilaian" yang layak ditimbang, yang sudah terlebih dahulu hadir dalam komunitas sebelum paket-paket prosedur dapat bekerja.

**

EKSPLORASI Mouffe atas Wittgenstein, penting saya ajukan sehubungan kegelisahan Yasraf Amir Piliang tentang demokrasi (Indonesia) yang minim regulasi sehingga menggiring ke kondisi serba "melampaui", "berkelebihan", dan "keterlaluan". Dalam amatan saya, justru regulasi dan lantas institusi yang dihasilkan oleh legislatif dan eksekutif periode ini guna memapankan demokrasi perwakilan, sudah banyak. Saya kira dewan legislatif ini termasuk yang produktif menghasilkan undang-undang. Memang beberapa yang penting-penting begitu tersendat, misalnya UU yang mengatur bisnis tentara, sembari begitu ngotot menggolkan UU soal pornografi yang berpotensi "berkelebihan" merambah ranah privat.

Poinnya adalah "berbunyikah" segenap peraturan itu ke hadapan publik? Yang kita alami, tahu-tahu kita sudah harus bergegas ke TPS sambil ditakut-takuti fatwa MUI bahwa golput adalah haram. Kita paham fatwa bukanlah aturan. Menurut teman saya, fatwa sekelas dengan imbauan atau saran. Sialnya, menurut gestur Orba yang belum tentu sudah silam, fatwa dari lembaga keagamaan kerap digunakan sebagai tuntutan yang tak tertolak jika tidak ingin fatal "digebuk" oleh Soehartoisme. Alhasil, yang tengah saya gelisahkan sembari ikutan merujuk Wittgenstein, adalah betapa berjibun aturan dan prosedur yang tampil sebagai politik yang harus dituruti publik, namun cara dan nilai di baliknya serta bagaimana ia digunakan nyaris tidak pernah hadir dalam ruang friksi, ruang pembahasan demokratis.

Dalam kondisi kekosongan kesepakatan "nilai dan penilaian" subyektif seperti demikian, penilaian Yasraf tentang minimnya regulasi dalam demokrasi kita menjadi amat berisiko untuk tidak dikatakan gegabah. Maklum, ini bisa menjadi pembenaran atas stigma bahwa demokrasi memang melulu chaos sehingga diperlukan undangan bagi kuasa-kuasa yang autoritarian.

Anda sekalian boleh jadi berkeberatan dengan cerita saya di awalan tulisan ini. "Itu kan soal kawin, apa hubungannya dengan politik dan demokrasi?" Baiklah kiranya dicermati pilihan kosa kata yang saya operasikan guna menghidupkan cerita saya. Di situ ada kata forum, rapat, debat, friksi, konsensus, regulasi, prosedur, hingga ke istilah komunitas yang berdaulat. Dengan kata lain, itu adalah juga istilah-istilah yang kerap dipakai orang guna mengurai soal-soal politik nasional. Nah, jika mediumnya sama, apakah itu tidak berarti menuju substansi yang serupa? Jika perkawinan adalah urusan menyangkut hidup saya, apalah artinya politik atau pun demokrasi jika ia tidak bersinggungan dengan urusan kehidupan?

Dengan cara pandang ini, kiranya jelas bahwa saya menolak hidup yang terbelah-belah, hidup yang memisahkan perkara kawin dengan (tindakan) politik. Sebaliknya, juga bukan berarti saya kawin semata-mata karena sedang berpolitik. Secara sengaja, saya serta merta berada dalam relasi yang mencakup segenap dimensi sekaligus: ekonomi, politik, sosial, budaya, atau pun apa pun itu namanya... Di zaman dengan segala keserentakan kompleksitasnya ini, siapa bisa mengelak bahwa yang rasional dan yang emosional, yang spiritual dan material toh teraduk sekaligus. Dibaca sebagai mimpi buruk, "Manusia dilahirkan bebas dan saat itu pula dia terbelenggu," ujar Thomas Hobbes.

Celakanya adalah jika kita tak menyadari adanya belenggu itu dan menjalani prosedur-prosedur yang tak karuan ujung-pangkalnya sebagai perayaan kebebasan. Benar kata Yasraf bahwa dunia fantasi khalayak kerap rentan dipermainkan oleh manipulasi imagologi. "Aku pilih dia aja ah, gaya rambutnya keren". Maka ideologi pun tersungkur. Politik aliran surut. Sayangnya, politik visual yang mengapungkan tokoh dan selebritas itu, pun terburu-buru dinilai Yasraf sebagai akibat politik demokrasi yang menekankan individu. Padahal bukankah sudah jelas yang bermain adalah pasar image?

Imagologi tidak memasarkan individu. Tiga Diva, The Changcuters, GIGI, untuk menyebut beberapa nama para penghibur itu, mereka toh jelas-jelas menyatakan menerima orderan meramaikan kampanye lantaran relasi profesional alias bayarannya menggiurkan. Ketokohan, partai, makelar panggung, konsultan (politik) kampanye hingga ke lembaga poling hitung-tangkas, semua semata teraduk dalam rezeki "profesionalitas" momentum bernama pemilu. Sudah itu, lagu-lagu kembali kepada rutinitas irama keterbelengguannya masing-masing.

Nah, apakah kemudian politik dan demokrasi mati dalam rentang waktu antarpemilu kini dan berikutnya? Sial, sudah capai ke TPS tapi anda tidak punya kuasa me-recall anggota dewan yang anda pilih dan mengoreksi kebijakan pemimpin yang anda contreng. Hanya partai, jika partai menanggapi keberatan publik. Jelas itu juga langka terjadi sebab bisa menjatuhkan citra partai. Dengan demikian, demokrasi perwakilan mengandaikan logika rasionalitas bahwa pemilu adalah tindakan pemilihan yang sudah sempurna dan tidak mengizinkan koreksi setelah itu. Dengan kata lain, demokrasi perwakilan ini disuntik oleh rasionalitasnya sendiri untuk kemudian menjadi jumawa dan lalu membunuh ibu kandungnya, yakni demokrasi yang mengandaikan adanya friksi.

Demos dibunuh di antara dua masa pemilu. Sementara hidup tak berhenti hanya di TPS. Selanjutnya, saya tak tahu pasti apakah ini pilihan demokratis atau bukan: Anda memilih politik kematian yang sesekali hidup di TPS atau politik langsung yang menghidupkan keseharian anda?***

* Setiaji Purnasatmoko, penggerak kolektif belajar ekologi-sosial "Hijau Merdeka".

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 17 Mei 2009

No comments: