Monday, May 25, 2009

Kebangsaan Indonesia Memasuki Masa Kritis

[JAKARTA] Kondisi kebangsaan Indonesia saat ini tengah memasuki masayang kritis dan di ambang perpecahan. Berbagai macam konflik di antara sesama anak bangsa terus saja terjadi, karena telah melupakan akan jati diri dan berupaya bersandar pada pengaruh budaya asing.

Ironisnya, segolongan anak bangsa justru sibuk menggadaikan kekayaan alam Indonesia dengan motif-motif ekonomi dan politik sempit yang membutakan mata hati yang lebih mengutamakan kepentingan individu maupun kelompok daripada kepentingan bangsa dan negara.

Demikian disampaikan sebuah gerakan pemuda yang diberi nama Revolusi Pemuda Indonesia melalui juru bicaranya, Tara Pradipta Laksmi, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Gerakan Revolusi Pemuda Indonesia merupakan gerakan moral, budaya, dan spriritual yang sepenuhnya tunduk pada asas Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila yang anggotanya terdiri dari pemuda yang memiliki latar belakang berbeda dalam suku, ras, kepercayaan, agama, profesi, dan pendidikan.

Tata mengatakan, situasi yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok ini sungguh menyedihkan, mengingat Indonesia adalah negara yang kaya, baik dari sumber daya alam maupun budayanya. Dan yang lebih menyedihkan lagi, tambah Tata, adalah saat ini ada sekelompok orang atau organisasi yang menggunakan isu-isu penajaman perbedaan agama sebagai ajang untuk menggalang dukungan politik.

Hal itu tentu saja sangat bertentangan dengan jiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang merupakan wujud nyata kesadaran para pendiri bangsa bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya dapat didirikan di atas landasan Bhinneka Tunggal Ika dan Pembukaan UUD 1945 yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan secara universal dan tidak tunduk pada akidah salah satu agama tertentu.

Pemerintah Lemah

Menurutnya, sikap pemerintah pusat yang lemah sangat disayangkan, karena sering kali mengakomodasi kemauan kelompok-kelompok yang menggunakan isu-isu penajaman perbedaan agama di atas demi kepentingan politik sesaat. "Hal ini tidak bisa terus dibiarkan bila tidak ingin NKRI menjadi terpecah belah dalam konflik politik bernuansa agama seperti yang saat ini tengah melanda Sudan, Somalia, Pakistan, dan Afghanistan," katanya.

Sebelumnya, sejumlah tokoh nasional seperti Nahdlatul Ulama (NU), KH A Mustofa Bisri (Gus Mus), mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan mantan Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Ahmad Syafii Maarif (Buya) dalam sebuah peluncuran buku Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia yang dihadiri tokoh lainnya, seperti mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, mantan Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung, dan Jenderal (Purn) Wiranto, menyayangkan munculnya gerakan radikal tersebut. Dalam buku itu disebutkan, gerakan garis keras transnasional mengatasnamakan agama di Indonesia, terutama yang diketahui memiliki kepentingan dalam kancah perpolitikan nasional, dapat mengancam integritas dan NKRI.

Gerakan yang sudah ada di Tanah Air itu berkedok partai politik (parpol) dan organisasi masyarakat (Ormas) dengan paham ekstrem, dengan upaya-upaya menegakkan idealisme pribadi atau kelompok kepada masyarakat, sehingga menjadi ancaman serius bagi negara Indonesia yang khas dengan pluralitasnya.

Sementara itu, sebelumnya, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Mennegpora), Adhyaksa Dault, dalam Konperensi Mahasiswa se-ASEAN, di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, Rabu (20/5) mengatakan, globalisasi di berbagai bidang yang melanda seluruh negara harus disikapi dengan bijak.

Pemuda sebagai generasi penerus bangsa harus mampu menangkal efek negatif dari dampak globalisasi dengan menjaga terus keluhuran budaya yang dimiliki masing-masing negara.

Konferensi yang mengusung tema "Enriching & Preserving Our Cultural Heritage", itu dihadiri ratusan mahasiswa dari negara-negara ASEAN, seperti Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina, Brunei, Vietnam, Myanmar, Cambodia, dan Laos. Turut hadir pula mahasiswa dari Tiongkok, Jepang, dan Korea.

"Kita tidak bisa menghindari globalisasi. Namun, dapat menghindarinya dengan filter budaya, etika, dan moral yang berkaitan dengan ajaran-ajaran agama. Ini yang mau dibangkitkan melalui persatuan antara negara-negara di Asia tenggara," ujar Mennegpora. [E-7]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 25 Mei 2009

1 comment:

sirpetermarx.blogspot.com said...

Mari kita persatukan kembali semangat Indonesia dengan melakukan pemerataan di segala bidang, berantas korupsi di segala bidang, dan mulai aktif memberantas kebodohan dan memerangi kemiskinan mulai dari diri, sendiri sekalipun dalam hal kecil.