Sunday, May 03, 2009

Pesta Puisi: Ketika Kerinduan Diletupkan

-- Ardus M Sawega

KEKECEWAAN terhadap hasil Pemilu Legislatif 2009 membuat Agus Fatturohman kembali kepada puisi. Lho, apa hubungannya? Ia mengaku, setiap kali pikirannya buntu, ia melarikan diri pada puisi.

Hanya satu puisi paling mengesan dalam hidup Ketua DPD II Golkar Sragen, Jawa Tengah, yang kini menjabat sebagai Wakil Bupati Sragen itu: ”Doa Perahu” karya Ismed Hadad. Ia pun membaca puisi itu di luar kepala: ”Tuhanku/ Beritahu kini/ kemanakah harus kupergi/ Ke muara menyongsong laut biru/ atau melawan arus menuju hulu.”

Di depan hadirin dalam acara Pesta Puisi 2009 di Balai Soedjatmoko Solo, Rabu (29/4) malam, Agus mengaku tak tahu kenapa puisi ”Doa Perahu” yang mirip haiku itu amat membekas dalam memorinya. Sebagai seorang politikus, katanya, puisi itu bergema setiap kali hatinya galau.

Itulah misteri hubungan antara puisi dan penikmatnya. Puisi adalah jendela untuk mengenal keindahan kata, lantas orang pun mengungkapkan haru biru dalam sanubarinya. Bagi sebagian orang, puisi-puisi tertentu, entah karya sendiri atau orang lain, mampu mengisi relung sanubarinya yang terdalam. Kenangan itulah yang diam-diam menyembulkan kerinduan bagi banyak orang.

Di antara mereka mulai terapresiasi puisi pada usia remaja. Baningsih (50-an) dan Indirawati Soetenggi (40-an), misalnya, mengaku menulis dan membaca puisi sejak duduk di bangku SMP. Baningsih kini sukses sebagai eksportir mebel dan handicraft, sedangkan Indirawati berprofesi notaris. Malam itu masing-masing membacakan puisi ”Aporisma Cinta Kasih” karya Kahlil Gibran dan ”Cintaku Jauh di Pulau”-nya Chairil Anwar.

Sebagian orang mungkin heran, ”Hari gini membaca puisi?” Tetapi, menulis puisi, atau sekadar membacanya—entah di kamar sendiri atau di depan publik, suka atau tidak—bisa membuat seseorang ekstase. Meletupkan emosi ataupun rindu dendam yang tersimpan. Itulah yang tecermin dalam Pesta Puisi 2009 yang digelar 28-29 April 2009 di Balai Soedjatmoko yang menyatu dengan TB Gramedia Solo.

Kegiatan selama dua hari itu membuktikan bahwa puisi adalah milik siapa saja. Terjadi desakralisasi puisi. Kalau pada hari pertama menampilkan para remaja, siswa SMA, dan sebagian mahasiswa, hari kedua diisi oleh kalangan umum, profesional, kelompok seni kampus, penyair, dan seniman. Lebih dari 100 orang terlibat dalam pesta ini.

Diawali pemutaran film dokumenter Aku Ingin yang merekam sepenggal hidup penyair Sapardi Djoko Damono (69), dilanjutkan Ngobrol Bareng Sapardi, peluncuran kumpulan puisi Sapardi terbaru, Kolam, lalu workshop menulis puisi untuk siswa SMA.

Keprihatinan

Beragam gaya dan ekspresi terungkap bebas. Kalangan siswi umumnya tak bisa membedakan antara seni baca puisi dan menumpahkan emosi yang nyaris histeris. Tetapi, itu bukan monopoli remaja karena peserta dewasa pun ada yang seperti itu. Muhadi (30-an) yang sehari-hari berjualan buku bekas, misalnya, membacakan karya yang tidak jelas apakah itu puisi atau sekadar caci maki akibat frustrasi.

Panggung sederhana di teras Balai Soedjatmoko yang berarsitektur kolonial itu serta-merta menjadi ajang tumpahan unek-unek, atau malah mungkin jadi katup pengaman. Bambang ART, penyair yang kini menjadi petugas Satpol PP, membacakan puisinya, ”Siang di Benteng Vastenburg”—yang kebetulan sedang jadi polemik di Kota Solo.

”Joko Wi memanah rembulan bernanah/ Aku mesti menangis lagi, sebelum Magrib/ melihat sandiwara tralala di antara orkestra dan aib/ Aku berharap gerimis datang/ jari jemarinya membuka pintu lemari/ sejarah Benteng Vastenburg yang terpatri.”

Selain kerinduan bisa berekspresi secara bebas, banyak penampil menyiratkan keprihatinan terhadap berbagai gejala yang meruyak di tengah bangsanya. Mereka mencatat semangat nasionalisme yang memudar ataupun gejala pengabaian akan nilai-nilai luhur budaya bangsanya sendiri.

Dedek Witranto menuliskan: ”Di mana negeriku/ negeri yang dilahirkan dengan pengorbanan dan perjuangan/ dari setiap guratan luka/ dari setiap tetesan darah/ dari setiap hilangnya nyawa/ anak-anak negerinya”. Atau pada puisi Hanindawan, ”Ibu Menjahit Peta Indonesia di Pinggir Jendela”, yang satu baitnya berbunyi: ”anak-anak/ tumbuh dan dewasa/ lupa atau sudah tidak suka/ pada bahasa ibumu/ kamu memilih bahasamu sendiri/ bahasa batu, pisau/ dan air mata”.

Lebih dari semangat patriotik yang menyala-nyala, puisi-puisi itu niscaya merefleksikan kesaksian mereka akan lingkungan dan nilai-nilai hidup yang berubah. Meski puisi mereka itu boleh jadi tak layak muat di media atau terseleksi dalam antologi puisi yang bergengsi.

Pesta Puisi ini diperkaya dengan musikalisasi puisi, teaterisasi puisi, hingga pantomim. Banyak yang cukup berhasil mengangkat puisi ke musik, salah satunya ”Krawang Bekasi”-nya Chairil Anwar oleh Kelompok Sound of Poem. Atau ”kenakalan” Himpunan Penulis Karanganyar yang membawakan puisi ”Aku Ingin” dalam versi dangdut. Sementara, Kelompok Tari Sahita meramaikan hari pertama dengan celotehannya yang cerdas sekaligus menghibur; menyentil puisi modern hingga tembang macapat.

Kekayaan puisi pun ditampilkan, seperti puisi Jawa geguritan yang dibawakan Kelompok Arsono lewat musik bergaya kocak. Sepenggal syairnya: ”Mbulane krowak dibrakot buta/ mung kari sekilan/ gobyog titir/ Semut ireng njajah angin/ nganglang jagad, nggoleki neng endi butane/ balekna mbulanku…” Dalam bahasa Jawa kontemporer, Kodok Ibnu Sukodok mengungkapkan keprihatinannya akan hidup, termasuk hidupnya sendiri, dengan gaya improvisasi yang terkesan ”mabuk”, tetapi terasa orisinal. Diiringi petikan gitar sendiri, suaranya yang serak bergaya rock mengingatkan kita pada Kelompok Lemon Tree dan Gombloh pada tahun 1970-an.

”Kami sudah lama merindukan ajang seperti ini, dan terasa ini sebagai suatu kebutuhan,” ungkap Hanindawan. Penyair Wijang Warek juga berharap, hendaknya Pesta Puisi ini bisa dijadikan tradisi.

Sumber: Kompas, Minggu, 3 Mei 2009

No comments: