-- Munawir Aziz*
MOMENTUM pilpres 8 Juli 2009 ini, akan semakin ramai dengan perang jargon, kompetisi simbol, dan kontestasi legitimasi diri antarsetiap pasangan. Setelah melewati detik-detik saling menutup diri, saling mengintip strategi, akhirnya ketiga pasangan capres-cawapres hadir merebut simpati pemilih. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpasangan dengan Boediono (SBY-Boediono), Jusuf Kalla (JK)-Wiranto (JK-Win), dan Megawati Soekaarnoputri-Prabowo Subianto (Mega-Pro), sepakat bertarung untuk menjadi pemimpin negeri ini.
Luka dan dendam selepas pemilu legislatif, yang bermuara pada eksistensi partai, bercampur dengan hasrat serta fokus memperebutkan kursi presiden-wakil presiden. Catatan dan riwayat hidup ketiga pasangan capres-cawapres mulai ramai menyesaki halaman koran, menghidupkan perbincangan di televisi, maupun obrolan ringan di media internet. Riwayat SBY sebagai presiden 2004-2009, dengan setumpuk catatan atas prestasi, musibah, dan kebimbangan untuk mengartikulasikan sosok santun dan hati-hati. Boediono, dengan kapasitas sebagai ekonom tangguh, diperbincangkan dengan pertarungan karakter yang dahsyat; antara pendekar ekonomi dan antek asing. Jusuf Kalla, hadir dengan karakter tegas, gaya ucap ceplas-ceplos, namun bertindak cekatan. Wiranto mulai membangun stigma kalem, santun, dan baik hati, namun tak bisa menghindari catatan buram atas riwayat militer yang menjadi tangga kariernya.
Megawati, sebagai tokoh oposisi, mewarisi daya juang Bung Karno, walaupun tak bisa mengakomodasi semua nilai dan praktik perjuangan ayahnya. Sosok mantan presiden selepas Gus Dur ini, masih terkesan "pendiam" dan belum mengartikulasikan kecerdasan dan ketegasan Soekarno dalam strategi politik yang dibangun. Wakilnya, Prabowo Subianto, belum bisa melepaskan diri dari noktah hitam pelanggaran HAM, ketika berkuasa sebagai tokoh militer. Namun belakangan, citra Prabowo sudah didongkrak habis dengan iklan, gerakan politik dan laju partainya yang didukung beragam tokoh. Pertarungan karakter tiga pasangan ini, saling melawan, kadang menjaga jarak, membangun benteng pribadi, dan menyusun stigma diri.
Namun, yang penting diamati dalam kompetisi politik di pilpres 2009, adalah pertarungan bahasa untuk menyusun legitimasi diri. Ruang politik riuh dengan kompetisi bahasa, yang menohok, menyindir, namun kadang dilapisi selaput untuk pertahanan diri. Sindiran kerap muncul di seminar, rapat partai, maupun di sela-sela menghadiri hajatan publik. Media mengukuhkan pertarungan bahasa dalam jejaring kata dan berita. Pertarungan simbol dan citra saling melengkapi diri untuk membangun legitimasi.
SBY-Boediono memanggungkan jargon "bekerja keras untuk rakyat". Kerja pemerintah difokuskan sebagai usaha untuk kesejahteraan rakyat semata. Rakyat hadir sebagai tujuan, namun kerap dikesampingkan.
JK-Wiranto hadir dengan jargon "lebih cepat, lebih baik". Kecepatan ditempatkan sebagai prasyarat untuk mengukuhkan diri yang lebih baik. Istilah "cepat" hadir untuk memukul "lambat serta hati-hati", yang selama ini disandang SBY. Sindiran hadir untuk menggoyang citra lawan, sambil terus berlari menyusun legitimasi diri.
Pasangan Megawati-Prabowo, menahbiskan diri dengan berjuang "membangun ekonomi kerakyatan". Isu yang kerap berdengung ini, merupakan modal penyusun karakter prorakyat. Dimensi ekonomi menguatkan jejaring tanda yang hadir dengan sekian catatan, perenungan dan tujuan untuk menggapai simpati. Jargon-jargon saling berlawanan, menggoyang, merobohkan, namun tetap saja berusaha serius membangun legitimasi dirinya sendiri.
Perang jargon akan semakin riuh, seiring dekatnya gerbang Pemilu Presiden (Pilpres) 2009. Panggung politik ramai dengan perang bahasa, citra, dan pesona, namun absen dari kegigihan memperjuangkan ideologi. Tiga pasangan capres-cawapres juga memakai jurus komunikasi agar dekat dengan telinga konstituen, dengan istilah ringkas dan bernas. Istilah ini menunjukkan optimisme, pesona, citra, namun juga harapan.
SBY Berboedi, muncul dalam deklarasi pasangan SBY-Boediono, di Bandung, 15 Mei lalu. Walaupun cepat-cepat diganti, karena desakan partai pendukung serta pertaruhan politis, namun istilah ini menghadirkan jejak di ring kompetisi pilpres. JK-Wiranto memunculkan harapan kemenangan lewat "JK-Win". Optimisme ditebarkan dengan permainan tanda untuk merengkuh kuasa. Mega-Pro, menjadi tanda komunikasi efektif bagi tim kemenangan Megawati-Prabowo Subianto. Pemilihan istilah ini tentu untuk menarik garis simpati agar mendukung pasangan capres-cawapres dari PDIP-Gerindra.
Pertarungan bahasa akan terus memanas dengan lahirnya jargon dan tanda baru yang disematkan untuk membangun cita diri. Inilah kompetisi politik yang disesaki dengan bahasa yang menyusun legitimasi diri.***
* Munawir Aziz, pemerhati bahasa, peneliti di Cepdes, Jakarta
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Mei 2009
No comments:
Post a Comment