-- Iman Muhtarom*
TEMA memiliki konsekuensi yang serius dalam sebuah novel. Konsekuensi ini tidak hanya pada cara novel tersebut menyampaikan materi ceritanya, tetapi juga menyangkut bagaimana akhirnya novel tersebut diterima dan ditafsirkan pembaca. Tema merupakan pusat dari struktur cerita. Tema merupakan inti dari seluruh elemen intrinsik dan ekstrinsik dari karya tesebut. Oleh karena itu, sebuah novel bisa dilacak pada tema ini jika ingin mengetahui lebih mendalam sisi intrinsik maupun ekstrinsiknya.
Bagaimana sebuah novel mengalami masalah dalam begitu kuatnya peran pencerita hingga mengganggu jalannya cerita dicari permasalahannya pada tema ini. Begitu juga ketika kecenderungan pilihan politik sebuah karya yang terbaca dari motif tokoh-tokohnya, bisa dicari penjelasannya dalam tema novel tersebut. Dengan kata lain, tema memegang peran sentral bagaimana teks dan konteks yang terbayang dalam novel tersebut mendapatkan pengorganisasiannya.
Dalam kaitannya dengan novel yang berupaya mengangkat sejarah yang terpinggirkan, gagasan dasar ini semakin jelas posisinya. Ini berkaitan dengan fakta sejarah resmi yang telah diterima dan bagaimana novel tersebut melakukan pembacaan ulang. Sebuah novel yang menggunakan latar waktu yang jelas dengan konteks sosial-kulturalnya, selalu dibayangi antara sejarah yang telah beku dengan berbagai penafsiran atasnya. Jika tidak melakukan penafsiran, risikonya novel akan terjebak pada praktik afirmatif. Novel demikian tidak bisa menghindar dari klise.
Apa yang dilakukan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Arok Dedes adalah radikal jika diperbandingkan dengan Ken Arok versi sejarah resmi. Bukan Arok versi Pramoedya berhasil menggulingkan Tunggul Ametung, tetapi yang penting Arok digambarkan seorang yang mahir dalam mengorganisasi massa untuk melakukan pemberontakan pada Tunggul Ametung. Ini berbeda dengan Arok versi Pararaton karya Mpu Prapanca yang digunakan untuk banyak orang dan berbagai orde pemerintahan dalam memahami Ken Arok. Sejarah yang kemudian menjadi demikian terpatri dalam benak banyak orang Indonesia, terutama untuk menyimpulkan pengkhianatan di ranah politik atau ranah sehari-hari. Di titik ini Pramoedya berhasil memasukkan gagasan yang cukup subversif dalam melihat fakta sejarah. Tampaknya Pramoedya meyakini sejarah akan menemui kesimpulan final dan selesai sebab sejarah adalah sesuatu yang tidak dialami oleh orang yang hidup di masa kini. Sejarah adalah usaha manusia untuk mereka-reka masa lalunya. Persoalannya siapa yang mereka-reka itu? Di sini argumentasi tentang sejarah sebagai sebuah kebenaran final merupakan tindakan yang sulit dimaafkan.
Seseorang boleh menggunakan argumentasi bahwa nilai lokal yang dikandungnya merupakan bagian dari strategi menahan gerusan zaman yang disebut global ini. Akan tetapi, apakah kemudian bisa diterima secara argumentatif pula jika kemudian justru gagasan untuk melindungi nilai lokal tersebut justru memosisikan kelokalan dan kesilaman tersebut beku. Sementara zaman global dan kapitalistik ini terus menderu menerjang apa saja yang tiada mau beradaptasi. Sebuah novel akan menjadi inspirasi terus-menerus bagi zamannya maupun zaman sesudahnya ketika ia memperhitungkan arus zaman yang sedang bergolak. Ketika ia terbuai dengan nilai yang tidak relevan pada saat itulah ia terancam bukan dengan pengaruh dari dunia luar tapi cara berpikirnya yang tidak berpijak dari waktu dan tempat.
Dalam penulisan novel saat ini kecenderungan seperti telah diutarakan di atas tampaknya tak bisa dihindari. Ada kecemasan untuk keluar dari cangkang kultural yang dianggap berterima. Perubahan sebagai sesuatu yang menakutkan. Misal dalam novel Mutiara Karam (2008) karya Tusiran Suseno. Novel ini sangat menjanjikan dengan menimbang bahannya yang unik serta konteks sejarahnya yang dilematis. Keunikan ini pada kehidupan bajak laut yang digambarkan secara detail. Dari sisi ini, keunikan terasa menonjol sebab jarang menjadi garapan novelis. Latar darat cenderung mendominasi dalam penulisan novel di Indonesia.
Sementara sisi dilematisnya ada pada sejarah latar sosial dari Kerajaan Riau-Lingga (1824-1911). Berdirinya Kerajaan Riau-Lingga ini tidak lepas dari adanya kolonialis Belanda dan Inggris. Melalui Traktat London yang ditandatangi 17 Maret 1824 dua kolonialis tersebut membagi Melayu sebagai jajahan Inggris, sementara Jawa dan Sumatera menjadi jajahan Belanda. .
Dalam novel Mutiara Karam dengan protagonis Sahar, Suri, dan Panglima Kaman meletakkan pilihan politik-sosial-kultural-ekonomi pada Kerajaan Riau-Lingga. Sekalipun sebelumnya mereka menjalin kerja sama yang baik dengan kelompok bajak laut yang dipimpin Marasan dan Markong. Panglima Kaman berpikir bahwa ia merasa berutang sekali pada Kerajaan Riau-Lingga sekalipun ia membenci rajanya sebab rajanya justru menyingkirkan dia walaupun telah bersusah payah membela sang raja.
Namun, Panglima Kaman harus mati sebelum berhasil mewujudkan cita-cita terakhir hidupnya. Namun anaknya, Sahar, meneruskan cita-cita ayahnya sekalipun tujuan utamanya bukan demi kedaulatan kerajaan, tetapi agar hidup bahagia bersama ng.
Apa yang krusial dalam novel ini dalam latar sejarah yang dilematis tersebut ada pada pilihan politiknya yang membela kedaulatan Kerajaan Riau-Lingga sebagaimana tergambar dalam tokoh Sahar. Hasrat novel ini untuk mengarahkan seluruh elemen cerita ke arah sebagaimana yang diperturutkan Sahar tampak jelas dalam mengerahkan aspek intrinsiknya. Pencerita dalam novel ini selalu hadir dalam banyak adegan untuk menjelaskan peran dan fungsi tindakan tokoh, khususnya tokoh Sahar.
Ada semacam keraguan bila keterangan dari pencerita dalam novel ini tidak muncul. Pembaca akan kehilangan konteks dari setiap adegan yang terpapar. Ketika kehilangan konteks adegan tersebut terjadi, ada kekhawatiran pembaca akan kehilangan pijakan sekalipun pembaca secara implisit sudah tahu posisi Sahar dalam adegan tersebut.
Sikap untuk tidak "tega" membiarkan pembaca terkatung-katung dalam lautan cerita ini, barangkali sebuah kesengajaan yang dilakukan penulisnya. Artinya, penulis memang menginginkan kepastian dari ketidakpastian nasib tokoh. Kepastian untuk menempatkan posisi tokoh Sahar dalam ukuran moral ideal yang diketengahkan secara hitam-putih dalam perbandingannya dengan kelompok bajak laut. Bahwa pilihan Sahar sebagai sebuah tindakan yang memenuhi aspek moral ideal.
**
DARI sini menjadi jelas "pesan" yang tersirat dari Mutiara Karam dalam kaitannya dengan tema. Sesuatu yang dianggap benar, yaitu kerajaan dan bukannya kelompok bajak laut, mesti dibela sampai akhir hayat. Sebab di sanalah kehidupan yang damai terpapar. Sementara di kampung bajak laut di Retih dan Enok yang terpapar hanya perilaku pengkhianatan, seks bebas, saling bunuh, dan tipu. Gambaran kampung bajak laut itu tak ubahnya sarang binatang berwujud manusia kecuali Si Sahar, ayahnya, dan Suri.
Mutiara Karam menengahi situasi dilematis yang dialami tokoh Sahar dengan kematian agung. Kematian agung dengan membela kedaulatan kerajaan. Demikianlah gambaran seorang pahlawan atau mutiara karam itu agar dirinya menjadi seorang sosok agung, sebagaimana pandangan itu juga masih melekat kuat pada benak banyak orang dan mereka yang berkuasa pada zaman sekarang.
Namun, kematian semacam ini menjadi tidak bermakna sekalipun kedamaian dan kenyamanan yang Sahar bela itu merupakan gambaran puak kultural yang secara tidak langsung ingin ia bela. Kedaulatan yang ia bela justru dipimpin raja yang hidup foya-foya, tidak peduli pada kedaulatan kerajaannya sebab daulat berada di tangan Belanda.
Di sini, pilihan kultural berupa hidup damai yang dicita-citakan Sahar berbanding terbalik dengan pilihan politiknya dengan melawan kelompok bajak laut. Ia tidak sadar ketika ia berbalik ke kerajaan dengan kontrol Belanda, bukankah ia akan masuk pada kedamaian semu, kultural yang semu? Bukankah ia bisa melakukan kesepakatan dengan para bajak laut dengan memberi semacam "suaka kultural" agar bisa hidup damai dengan Suri di tengah komunitas bajak laut lewat kemampuan strategisnya sehingga bajak laut yang berdaulat tersebut tetap eksis?***
* Iman Muhtarom, Bergiat di FS3LP (Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar), Surabaya.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 3 Mei 2009
No comments:
Post a Comment