-- Asep Salahudin*
TENTU kita sepakat bahwa tugas para pemimpin sehingga mereka dipilih rakyatnya dengan ongkos pemilihan mencapai triliunan rupiah adalah menciptakan negara kesejahteraan. Sebentuk Negara yang mampu meresapkan rasa keadilan merata kepada semua pihak apapun afiliasi partai, budaya, suku, dan agamanya. Negara(wan) adalah payung yang mesti memberi rasa nyaman bagi siapapun, tenda tempat di mana kontrak sosial diakadkan dengan target utama: membangun kehidupan berkeadaban.
Tujuan bernegara seperti itu dalam praktiknya ternyata kerap mengalami pasang surut. Kadang mendekat (bahkan tempo hari disebut hampir tinggal landas), namun yang sering terjadi justru kian menjauh. Yang terakhir ini biasanya yang sering mengakibatkan masyarakat tertimpa rasa apatis (tidak mau tahu) dan akhirnya tidak sedikit pula yang mengekspresikannya dengan cara "kekerasan".
**
Dalam literasi politik Sunda, sebagaimana terbaca dalam roman Pangeran Kornel (latar cerita sekitar 1773-1828) dan Mantri Jero (berlatar belakang masyarakat Sunda abad 17) yang telah ditelaah Warnaen dkk. (1985) agar target politik itu dapat menciptakan kehidupan berkeadaban (hurip gustina waras abdina rea ketan rea keton rea harta dan rea harti), maka masyarakat dan terutama para pimpinannya yang diberi amanah untuk mengelola negara harus memiliki tiga belas karakter utama. (1) Teu ningkah (tidak bertingkah). ( 2) Teu adigung kamagungan (tidak pongah dan memperlihatkan sikap tinggi hati kepada orang lain). (3) Paya ku katugenahan (tak gampang bersedih). (4) Pinuh ku karumasaan (penuh oleh rasa kekurangan pada diri sendiri). (5) Teu paya diagreng-agreng (tidak suka dimeriahkan dengan kemegahan). (6) Nyaah kanu masakat (mencintai yang melarat). (7) Agung maklum sarta adil (arif dan adil). (8) Landung kandungan, laer aisan (memiliki perspektif yang luas). (9) Lemes basana hade lentongna (halus bahasanya, bagus tutur katanya). (10) Peta basajan (hidup sederhana). (11) Bersih manah (hatinya bening). (12) Sinatria. (13) Pinandita.
Dalam roman sejarah itu, Pangeran Kornel alias Pangeran Kusumah Dinata dalam literasi Pangeran Korneal dan Pangeran Yogaswara dalam Mantri Jero adalah sosok yang mampu tampil menjadi pemimpin yang mampu menyelami lubuk terdalam aspirasi masyarakatnya. Aspirasi yang kemudian diartikulasikan dalam serangkaian kebijakan yang memihak khalayak.
Model pemimpin yang pada gilirannya dapat menjadi tempat masyarakat menyandarkan semua harapan dan cita-cita dengan kepercayaan yang penuh (jadi gunung pananggehan), tempat di mana rakyat kecil hak-haknya terjaminkan, dan menjadi langit di mana manusia yang berada dalam "udara" panas menjadi dingin dan damai (pangauban anu leutik panyalindungan nu kapanasan), menjadi ruang sosial di mana segala keluhan tersalurkan (tempat panyaluuhan) sekaligus juga dia mengelola kekuasaannya dengan kekikhlsan (ngawula ka wayahna) sebagai satu panggilan hidup, sebagai cermin untuk membalas kepada orang tua, menaikkan taraf hidup rakyat (nampi titilar sepuh makayakeun rakyat turunan).
**
Berbanding terbalik secara diametral adalah perilaku Dalem Patrakusumah alias Dalem Tanubaya dan Demang Dongkol. Perilaku destruktif yang alih-alih mendatangkan rasa sejahtera justru menjadi pemantik bagi munculnya suasana yang saheng harengreng (menggelisahkan) dan werit (ditimpa banyak krisis).
Perilaku politik busuk yang berporos pada semangat, dalam literasi dua roman itu: (1) lampah sasar (sesat). (2) Miceuceub (saling membenci). (3) Sirik pidik (iri hati). (4) Mitnah (merebaknya fitnah). (5) Nu asih di pulang sengit (air susu di balas air tuba). (6) Nyiduh ka langit (pongah). (7) Malar kauntungan jeung kaagungan (selalu bekerja atas nama pamrih dan hanya mengejar popularitas). (8) Ngangsongan kana kaawonan (berkolusi untuk melakukan kejahatan). (9) Ati mungkir beungeut nyanghareup (mengembangkan sikap hipokrit).
Perilaku seperti ini, dalam konteks kontemporer telah menjebak kita menjadi -- istilah Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968)-- negara kleptokrasi: praktik korupsi dilakukan secara terorganisasi yang dimainkan empat aktor: pejabat negara, aparatus birokrasi, anggota parlemen, dan sektor swasta (pengusaha). Padahal tidak ada satu ajaran agama manapun yang membolehkan orang melakukan korupsi atas nama dan motif apapun.
Jangan-jangan politik Dalem Patrakusumah alias Dalem Tanubaya dan Demang Dongkol yang telah menjebak kita menjadi bangsa dengan kekayaan alam yang tak terhingga, namun angka kemiskinan semakin menampakkan grafik menaik, menjadi bangsa yang berada di halaman belakang dari lembaran bangsa-bangsa di Asia,
**
Tentu saja kekayaan literasi negara kesejahteraan yang dimiliki masyarakat Sunda ini mesti dijadikan modal sosial agar menjadi adrenalin bagi manusia Sunda untuk meraih keadaban hidup. Hal ini menjadi penting dan amat mendesak diresapkan justru di tengah suasana kesundaan yang ditenggarai sedang terjangkit penyakit akut budaya jati ka silih junti. Semacam hegemoni budaya (istilah Gramsci) akibat hilangnya orientasi politik, punahnya militansi, dan menguapnya kebanggaan atas budaya sendiri yang dimiliki dan menjadi akar kulturalnya.
Jangan-jangan predikat provinsi terkorup dan hancurnya lingkungan tatar Sunda adalah ilapat (sinyal) dari semakin meruyaknya kebanggaan untuk mewarisi karakter politik Demang Dongkol. Politik destruktif yang menjadi akar dari kehancuran bukan hanya lingkungan namun juga diri sendiri! Sebentuk politik yang semakin membuat manusia dan alam Sunda ngarangrangan. Termasuk ngarangrangan ketika melihat fenomena absennya ca(wa)pres yang akan bertanding di 2009 yang berasal dari Jawa Barat.***
* Asep Salahudin, Mahasiswa Program Doktor Unpad, Pembantu Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 31 Mei 2009
No comments:
Post a Comment