-- Ulil Abshar-Abdalla
SELAMA musim pemilu ini saya terganggu benar oleh sejumlah istilah asing yang menyerbu kita. Baru-baru ini dalam sekali pukul Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan istilah yang dipinjam dari bahasa Inggris: kapabilitas, kompetensi, akseptabilitas, dan loyalitas.
Kapabilitas. Haruskah kita memakai kata itu? Tampaknya ada kecenderungan meminjam kata benda dalam bahasa Inggris yang berakhiran -ty atau -ity ke dalam bahasa Indonesia dengan cara menyerap kedua akhiran itu menjadi -tas. Demikianlah, capability menjadi kapabilitas, acceptability menjadi akseptabilitas. Menurut saya, ini pertanda kemalasan berbahasa (hampir saja, agar tampak keren, saya membubuhkan linguistic laziness seperti kebiasaan penulis kita).
Saya bukan ahli bahasa. Namun, dengan akal sehat saya tahu bahwa kaidah dasar dalam berbahasa adalah usahakan memakai istilah dalam bahasa sendiri selama masih dimungkinkan. Meminjam istilah asing hanya diperlukan dalam keadaan (saya hampir saja memakai istilah situasi, pinjaman dari kata situation) darurat (ini juga istilah Arab; sebaiknya saya katakan terdesak, meskipun kata darurat dalam bahasa Arab lebih tepat diterjemahkan sebagai berbahaya; tetapi akan lucu kalau saya katakan ”boleh meminjam istilah asing hanya dalam keadaan berbahaya”).
Ganti saja kapabilitas dengan kemampuan. Tak ada makna yang hilang di sana. Kapabilitas dan kemampuan berbanding lurus secara makna dan, karena itu, menurut saya yang bukan ahli bahasa ini, tak ada alasan memakai istilah yang berasal dari bahasa Inggris itu dan meninggalkan padanan Indonesianya.
Bagaimana dengan kapabilitas dan kompetensi? Tampaknya memang dua istilah itu memiliki pengertian yang nyaris serupa meski tak sama. Ada beda-halus (ini saya pakai sebagai terjemahan nuance dalam bahasa Inggris) antara keduanya. Saya mengusulkan kebisaan untuk kapabilitas dan kemampuan untuk kompetensi. Terserah kepada para ahli bahasa apakah usulan ini masuk akal atau tidak, atau ada usul lain yang lebih baik? Yang penting, bagi saya, ada kemungkinan memakai padanan Indonesia untuk dua istilah itu.
Loyalitas memang bisa diganti dengan ketaatan. Namun, di telinga kita ketaatan terlalu dibebani oleh makna yang entah berbau feodal entah agama. Agaknya kurang tepat bila loyalitas diganti dengan ketaatan. Bagaimana dengan kesetiaan? Saya kira beban feodal dalam kesetiaan lebih ringan ketimbang dalam ketaatan.
Istilah lain adalah akseptabilitas. Kenapa kita tak memakai padanan Indonesianya saja: keterterimaan, kecocokan, kepantasan? Saya kira kecocokan jauh lebih tepat dipakai di sini.
Saya usulkan kepada Presiden Yudhoyono agar mulai memberi contoh memakai bahasa sendiri dan pelan-pelan membuang jauh-jauh kebiasaan memakai istilah asing. Oleh karena itu, saat mengemukakan kembali syarat bagi siapa pun yang akan mendaftar menjadi wakil presiden, Presiden Yudhoyono hendaknya—sekali lagi mohon hendaknya—memakai istilah ini: kebisaan, kemampuan, kecocokan, dan kesetiaan; tak lagi kapabilitas, kompetensi, akseptabilitas, dan loyalitas.
Saya tidak anti-bahasa asing. Saya tentu menghendaki orang Indonesia bisa berbahasa Inggris dengan baik sebab itulah bahasa pergaulan internasional saat ini. Namun, bila sedang berbahasa Indonesia, silakan memakai bahasa itu dengan baik. Bila mau berbahasa Inggris, silakan memakai bahasa itu dengan baik pula.
* Ulil Abshar-Abdalla, Mahasiswa S-3 di Universitas Harvard
Sumber: Kompas, Jumat, 1 Mei 2009
No comments:
Post a Comment