Sunday, August 05, 2012

Keliek Siswoyo (1955-2012): Sumbangan Doyok bagi Jakarta

-- Seno Gumira Ajidarma

BAGI para pembaca setia koran Pos Kota, kepergian Keliek Siswoyo (56) yang terasa mendadak pada Jumat, 3 Agustus 2012, niscaya meninggalkan perasaan yang kosong. Bagaimana jika tokoh gubahannya, Doyok, yang biasa muncul setiap hari, tidak akan pernah tampak lagi dengan segala komentarnya yang sinis, bahkan sarkastis?

Kartun Doyok di Harian Pos Kota (poskotanews.com)

Komentar yang tampaknya pantas saja hadir dalam dunia bebal yang sudah tidak mempan disindir, sebagai katarsis bagi para pembacanya yang setiap hari menjalani kenyataan hidup nan berat.

Memang, Doyok, tokoh baris komik (comic strip) di lembaran bergambar Pos Kota, selama ini muncul dari hari ke hari nyaris tanpa putus untuk menemani masyarakat urban kelas bawah Jakarta, yang disebutkan oleh Ashadi Siregar sebagai lapisan sosial yang mendapatkan dan mengetahui fakta-fakta sosial yang berlangsung di lingkungan yang dikenalinya, tetapi tidak dapat sepenuhnya berada di dalamnya. Adalah Pos Kota yang telah menjadikan kehidupan di bawah garis tetap aktual bagi lapisan ini (Siregar, 2000). Keberadaan Doyok sebagai bagian Pos Kota membuat Keliek Siswoyo berpeluang memberinya peran yang penting.

Subyek yang tertatap

Nama tokoh Doyok didapatkan Keliek Siswoyo karena dirinya selalu dipanggil, ”Yok!”. Doyok muncul pertama kali tahun 1978, ketika para redaktur menginginkan lembaran kartun muncul setiap hari, yang baru tercapai setahun kemudian, dan karena itu merekrut Siswoyo sebagai salah satu ”pasukan kartunis” harian Pos Kota. Waktu itu, Doyok semula hanya berisi semacam pelesetan. ”Kayak dari film Kramer Vs Kramer itu saya pelesetkan jadi Kromo Vs Kromo,” ujarnya pada 2008 kepada Intisari.

Namun, popularitasnya tercapai (disukai 74,9 persen pembaca pada riset 1993) justru karena komentar sosial politiknya yang terbuka. Maka dalam koran Pos Kota yang tidak dikenal memiliki karikatur yang menyuarakan opini redaksi, Doyok seolah-olah menggantikan fungsi kartun-editorial, tempat pembaca mencari opini tersebut sebagai kompas penilaian keadaan.

Faktor apa saja yang membuat Doyok teridentifikasi oleh pembaca Pos Kota sebagai bagian diri mereka?

Pertama, busana Doyok yang mengacu pada budaya Jawa, khususnya Yogyakarta (berdasarkan mondolan pada belangkonnya), ternyata selalu berbahasa Jakarta, sesuai dengan karakter urban yang mencari akar kedaerahan meski sudah bertransformasi menjadi warga Jakarta.

Kedua, meski berbahasa Jakarta, lingkungan fisik Jakarta dalam kartun Doyok sungguh mengasingkan warga kelas bawahnya itu, dari cara penggambarannya yang meski penuh gedung dan mobil lebih sering sepi tak bermanusia.

Ketiga, topik perbincangannya, yang mengaitkan peranan peristiwa nasional terhadap nasib mereka sebagai rakyat kelas bawah Jakarta, sering berakhir dengan pandangan mata tokohnya menatap kepada pembaca—seperti menariknya ke dalam bingkai untuk terlibat. Keunikan ini ternyata kemudian banyak ditiru.

Sumbangan Doyok

Dalam makalah Being-in-The-World According to Doyok: A Study of Humor in Cartoon Comics, pakar filsafat Toeti Heraty Noerhadi dalam sebuah simposium di London pada 1990 memanfaatkannya untuk memahami pandangan dunia rakyat dan bagaimana suatu kritik mendapat toleransi dalam masyarakat (masih Orde Baru) yang aspirasi nasionalnya mengutamakan harmoni dan konsensus.

Berdasarkan 114 kartun, Toeti juga menggunakannya sebagai cara menemukan koroborasi teori Arthur Koestler perihal humor sebagai bentuk kreativitas, yang berlatar teori Aristoteles dan Henri Bergson. Waktu saya kasih unjuk makalah tersebut, Keliek hanya berkomentar, ”Bahasa Inggris begini, saya juga enggak mudheng!”

Betapa pun, dengan menghadirkan pengamatan atas Indonesia melalui Doyok setiap hari, dari tahun 1979 sampai 2012, sumbangan Keliek Siswoyo sebagai warga negeri ini tidak usah diragukan. Dalam Pos Kota edisi Sabtu, 4 Agustus, masih muncul karya ”antisipasi 17 Agustus”-nya, dan pada halaman 1 terlihat Doyok berkata, ”Saya akan terus menghibur pembaca Pos Kota.” Mungkinkah semacam re-run karya-karyanya yang kini klasik? Terima kasih, Mas Keliek, dan selamat jalan!

Seno Gumira Ajidarma, Wartawan

Sumber: Kompas, Minggu, 5 Agustus 2012

No comments: