-- Daisy Priyanti
BEBERAPA waktu lalu, dalam sebuah diskusi tentang televisi, seorang peserta melontarkan pertanyaan yang agak menggelitik. Kegelisahan yang dilontarkan adalah, kenapa belakangan ini, iklan di media massa khususnya televisi mempunyai tren yang sama. Tren dalam mengemas bahasa visual yang sama. Semuanya nampak seragam.
Ujung-ujungnya menyepakati, bahwa iklan televisi yang acapkali muncul belakangan ini, agaknya mengambil teknis tutur gambar yang sama. Pengambilan angle camera, hampir seragam. Memakai idiom-idiom dan teknis penciptaan yang kerap kali muncul dalam film dan iklan-iklan yang pernah dibuat oleh sineas Garin Nugroho. Begitu besar, pengaruh Garin Nugroho dalam industri televisi nasional dari karya-karyanya?
Bisa demikian kuatkah? Yang pasti dalam industri film, Garin Nugroho memang telah diakui berkat sejumlah penghargaan yang diraihnya. Begitu juga dalam bahasa visual iklan perfilmannya, Garin Nugroho mempunyai koleksi karya-karya iklan televisi dengan bahasa gambarnya yang menarik. Bahasa tuturnya yang sangat berbeda tersebut nampak dari iklan film "Soegija", penghematan pemakaian tenaga listrik, iklan mobil, dan iklan layanan masyarakat yang lain.
Dalam perkembangannya, iklan yang diproduksi Garin diadopsi secara ide (bentuk pengambilan gambarnya), oleh iklan lain. Misalkan, iklan rokok, iklan kopi, iklan lembaga perbankan dan masih banyak lagi. Semuanya, mengambil ide dan gaya pengambilan bahasa gambar yang pernah dan sering dilakukan oleh Garin Nugroho.
Sehingga, yang pada akhirnya muncul adalah, gaya iklan dengan gambar-gambar yang sangat seragam. Keseragaman yang terus bertambah, terus menerus. Bahkan, pada akhirnya begitu terasa sulit untuk bisa menemukan mana yang karya Garin Nugroho asli, dan yang palsu. Ketakutannya adalah, beberapa waktu mendatang, akan terjadi booming bahasa gambar Garin di televisi.
Bisa dikatakan, sutradara Garin Nugroho, memang menjadi fenomena. Salah satu tonggak, sutradara unggulan di Asia. Dari karya-karyanya, senantiasa memunculkan keinginan-keinginan yang tak terbendung guna mengadopsinya. Ada kekhasan, spefisikasi penuturan bahasa gambar, yang sebelumnya tidak pernah dikenal. Identifiaksi realitas keseharian yang dimaksudkan di sini adalah, mengangkat nilai-nilai budaya paling kongkret dan riil dari nilai yang ada. Dalam film-film iklannya bias terbaca bahwa nilai kultural yang mengedepan tak lebih dari upaya untuk bias melihat beragam perubahan yang terjadi dalam masyarakat, yang lantas, dikonfrontasikan dengan realitas budaya pop, pendidikan politik dan terciptanya ketimpangan komunikasi.
Pendapat itu mungkin berlebihan. Namun, paling tidak ada perlunya dikedepankan pula, bentuk-bentuk pemikiran yang lebih kritis yang justru melekat dalam industri televisi itu sendiri.
Anatomi industri televisi, memang bisa dibaca dan diterjemahkan dalam beberapa bentuk kecenderungannya yang actual. Pertama, industri televisi akan senantiasa berjalan terus dalam upaya pembaruan. Upaya untuk memperbaiki diri secara bentuk, adalah jalan yang seringkali ditempuh oleh televisi.
Kondisi yang terus menerus berubah tersebut, telah menjadi keharusan yang tak bisa dikesampingkan. Pemirsa memang terus menerus membutuhkan, atau malah menuntut adanya gaya tutur baru yang lebih segar. Terlalu banyaknya bahasa tutur program televisi yang seragam, jelas menciptakan sebuah kejenuhan. Kejenuhan yang akan menciptakan antiklimaks proses komunikasi pesan televisi. Lebih parahnya, antiklimaks tersebut akan menjadi dasar dari serangkaian tudingan yang selama ini diarahkan ke televisi. Upaya untuk bias menemukan bentuk pembaruan, memang sebuah strategi menghindari keseragaman. Homogenitas televisi, akan muncul dengan cepat, dan butuh strategi pengupayaan heterogenitas ide. Ada nilai ekonomi yang tinggi. Kedua, industri televisi pada akhirnya dimaknai sebagai bangun sistem yang terus menerus, menghitung dirinya dengan kalkulasi-kalkulasi ekonomis. Sehingga, hitungan setiap program adalah hitungan ekonomis.
Ketika ada sebuah kecenderungan yang mewabah dalam hal produksi program, maka dengan cepat menjadi bahan pertimbangan dalam setiap penayangan. Produksi program yang dimaksudkan di sini, meliputi gaya penciptaan, pengambilan gambar dalam perspektif dan sudut-sudutnya, serta sistem produksi yang dipakainya. Banyak dari pemilik modal, baik itu pengusaha, yayasan, ataupun departemen-departemen pemerintah yang seringkali menuntut pada banyak sutradara untuk bisa membuat karya seperti yang dikedepankan secara gambar oleh Garin Nugroho.
Dan standarisasi program televisi dengan nilai estetika Garin Nugroho -pun menjadi sebuah patokan. Menjadi satu symbol yang terus menerus mengilhami beragam bentuk program televisi. Terutama menyangkut esensi pesan, bentuk, perspektif gambar dan yang lain. Semuanya ingin disamakan tingkat pencapaiannya.
Ideologi televisi senantiasa bertumbuh pada perspektifnya yang saling terkait, dalam system nilai yang mempengaruhi. Sehingga, ketika pada saat ini banyak dijumpai beragam bentuk karya ala Garin Nugroho secara gambar, maka, bisa diungkap bahwa relasi kreativitas tersebut sebagai proses kreatif yang wajar.
Dalam tradisi berkesenian, sebenarnya tak pernah terdapat satu ide kreatif yang orisinal. Orisinalitas ide mencipta karya visual televisi, juga demikian.
Pada kenyataannya tak ada yang baru. Mungkin bahasa gambar Garin Nugroho pada saat ini boleh dikatakan sebagai sesuatu yang baru. Tetapi, jika ditarik ke belakang, tetaplah juga merupakan ide hasil adaptasi karya yang pernah ada. Tak ada kebaruan yang orisinal.
Ketika banyak bahasa gambar Garin Nugroho yang lantas dijiplak, itu akan menjadi hal yang wajar. Dalam arti, untuk didalam peta karya telvisi, Garin-lah yang memang pertama mengenalkannya. Namun, jika lantas disebut sebagai karya yang sangat orisinal dari bahasa gambarnya, memang patut untuk dikaji ulang.
Pada akhirnya, industri televisipun akan terus bergerak dan memperbarui dirinya dengan idiom dan perspektif yang baru.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 18 Agustus 2012
BEBERAPA waktu lalu, dalam sebuah diskusi tentang televisi, seorang peserta melontarkan pertanyaan yang agak menggelitik. Kegelisahan yang dilontarkan adalah, kenapa belakangan ini, iklan di media massa khususnya televisi mempunyai tren yang sama. Tren dalam mengemas bahasa visual yang sama. Semuanya nampak seragam.
Ujung-ujungnya menyepakati, bahwa iklan televisi yang acapkali muncul belakangan ini, agaknya mengambil teknis tutur gambar yang sama. Pengambilan angle camera, hampir seragam. Memakai idiom-idiom dan teknis penciptaan yang kerap kali muncul dalam film dan iklan-iklan yang pernah dibuat oleh sineas Garin Nugroho. Begitu besar, pengaruh Garin Nugroho dalam industri televisi nasional dari karya-karyanya?
Bisa demikian kuatkah? Yang pasti dalam industri film, Garin Nugroho memang telah diakui berkat sejumlah penghargaan yang diraihnya. Begitu juga dalam bahasa visual iklan perfilmannya, Garin Nugroho mempunyai koleksi karya-karya iklan televisi dengan bahasa gambarnya yang menarik. Bahasa tuturnya yang sangat berbeda tersebut nampak dari iklan film "Soegija", penghematan pemakaian tenaga listrik, iklan mobil, dan iklan layanan masyarakat yang lain.
Dalam perkembangannya, iklan yang diproduksi Garin diadopsi secara ide (bentuk pengambilan gambarnya), oleh iklan lain. Misalkan, iklan rokok, iklan kopi, iklan lembaga perbankan dan masih banyak lagi. Semuanya, mengambil ide dan gaya pengambilan bahasa gambar yang pernah dan sering dilakukan oleh Garin Nugroho.
Sehingga, yang pada akhirnya muncul adalah, gaya iklan dengan gambar-gambar yang sangat seragam. Keseragaman yang terus bertambah, terus menerus. Bahkan, pada akhirnya begitu terasa sulit untuk bisa menemukan mana yang karya Garin Nugroho asli, dan yang palsu. Ketakutannya adalah, beberapa waktu mendatang, akan terjadi booming bahasa gambar Garin di televisi.
Bisa dikatakan, sutradara Garin Nugroho, memang menjadi fenomena. Salah satu tonggak, sutradara unggulan di Asia. Dari karya-karyanya, senantiasa memunculkan keinginan-keinginan yang tak terbendung guna mengadopsinya. Ada kekhasan, spefisikasi penuturan bahasa gambar, yang sebelumnya tidak pernah dikenal. Identifiaksi realitas keseharian yang dimaksudkan di sini adalah, mengangkat nilai-nilai budaya paling kongkret dan riil dari nilai yang ada. Dalam film-film iklannya bias terbaca bahwa nilai kultural yang mengedepan tak lebih dari upaya untuk bias melihat beragam perubahan yang terjadi dalam masyarakat, yang lantas, dikonfrontasikan dengan realitas budaya pop, pendidikan politik dan terciptanya ketimpangan komunikasi.
Pendapat itu mungkin berlebihan. Namun, paling tidak ada perlunya dikedepankan pula, bentuk-bentuk pemikiran yang lebih kritis yang justru melekat dalam industri televisi itu sendiri.
Anatomi industri televisi, memang bisa dibaca dan diterjemahkan dalam beberapa bentuk kecenderungannya yang actual. Pertama, industri televisi akan senantiasa berjalan terus dalam upaya pembaruan. Upaya untuk memperbaiki diri secara bentuk, adalah jalan yang seringkali ditempuh oleh televisi.
Kondisi yang terus menerus berubah tersebut, telah menjadi keharusan yang tak bisa dikesampingkan. Pemirsa memang terus menerus membutuhkan, atau malah menuntut adanya gaya tutur baru yang lebih segar. Terlalu banyaknya bahasa tutur program televisi yang seragam, jelas menciptakan sebuah kejenuhan. Kejenuhan yang akan menciptakan antiklimaks proses komunikasi pesan televisi. Lebih parahnya, antiklimaks tersebut akan menjadi dasar dari serangkaian tudingan yang selama ini diarahkan ke televisi. Upaya untuk bias menemukan bentuk pembaruan, memang sebuah strategi menghindari keseragaman. Homogenitas televisi, akan muncul dengan cepat, dan butuh strategi pengupayaan heterogenitas ide. Ada nilai ekonomi yang tinggi. Kedua, industri televisi pada akhirnya dimaknai sebagai bangun sistem yang terus menerus, menghitung dirinya dengan kalkulasi-kalkulasi ekonomis. Sehingga, hitungan setiap program adalah hitungan ekonomis.
Ketika ada sebuah kecenderungan yang mewabah dalam hal produksi program, maka dengan cepat menjadi bahan pertimbangan dalam setiap penayangan. Produksi program yang dimaksudkan di sini, meliputi gaya penciptaan, pengambilan gambar dalam perspektif dan sudut-sudutnya, serta sistem produksi yang dipakainya. Banyak dari pemilik modal, baik itu pengusaha, yayasan, ataupun departemen-departemen pemerintah yang seringkali menuntut pada banyak sutradara untuk bisa membuat karya seperti yang dikedepankan secara gambar oleh Garin Nugroho.
Dan standarisasi program televisi dengan nilai estetika Garin Nugroho -pun menjadi sebuah patokan. Menjadi satu symbol yang terus menerus mengilhami beragam bentuk program televisi. Terutama menyangkut esensi pesan, bentuk, perspektif gambar dan yang lain. Semuanya ingin disamakan tingkat pencapaiannya.
Ideologi televisi senantiasa bertumbuh pada perspektifnya yang saling terkait, dalam system nilai yang mempengaruhi. Sehingga, ketika pada saat ini banyak dijumpai beragam bentuk karya ala Garin Nugroho secara gambar, maka, bisa diungkap bahwa relasi kreativitas tersebut sebagai proses kreatif yang wajar.
Dalam tradisi berkesenian, sebenarnya tak pernah terdapat satu ide kreatif yang orisinal. Orisinalitas ide mencipta karya visual televisi, juga demikian.
Pada kenyataannya tak ada yang baru. Mungkin bahasa gambar Garin Nugroho pada saat ini boleh dikatakan sebagai sesuatu yang baru. Tetapi, jika ditarik ke belakang, tetaplah juga merupakan ide hasil adaptasi karya yang pernah ada. Tak ada kebaruan yang orisinal.
Ketika banyak bahasa gambar Garin Nugroho yang lantas dijiplak, itu akan menjadi hal yang wajar. Dalam arti, untuk didalam peta karya telvisi, Garin-lah yang memang pertama mengenalkannya. Namun, jika lantas disebut sebagai karya yang sangat orisinal dari bahasa gambarnya, memang patut untuk dikaji ulang.
Pada akhirnya, industri televisipun akan terus bergerak dan memperbarui dirinya dengan idiom dan perspektif yang baru.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 18 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment