-- Misbahus Surur
“... dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan/ sebelum pada akhirnya kita menyerah” -- Chairil Anwar
Terkadang desakan ide-ide yang menyeruak ke dalam pikiran, sulit diungkap dalam bahasa; sukar sekadar dituang ke dalam kata-kata yang memang dianggap sebagai –salah satunya- piranti untuk menampung ungkapan pikiran dan perasaan manusia. Dan sepertinya, memang akan selalu ada hal-hal yang ingin sekali dituliskan, namun dengan sebab teknis maupun ontologis, kita tak begitu saja gampang mengungkapkannya. Searus dengan hal di atas, adalah kata-kata Robert Frost: “Separuh dari dunia terdiri dari orang-orang yang memiliki sesuatu untuk dikatakan, tetapi tidak bisa mengatakannya...” Sungguh terpampang dilema (ber)bahasa dalam ungkapan tersebut, antara niat berbahasa yang tak lagi ”ramah” bagi kehendak merumahkan makna dan suara-suara. Sedang pada lain sisi, juga betapa masih kentalnya desakan (kalau tak boleh dibilang beban) pencarian pola ungkap melalui strategi jitu yang menggoda. Kasus pertama adalah ikhtiar mengatasi bahasa yang hendak menaklukkan makna, sementara yang kedua, lebih ke upaya merambah ”jalan lain” dalam berbahasa.
Pada mulanya manusia mengetahui lebih banyak dari yang bisa ia ucapkan. We know more than we can say, ungkap Michael Polanyi (The Study of Man, 1959). Bagi Polanyi, dari kenyataan yang hampir tak terbatas ini, sebagian kecil merupakan kenyataan yang diketahui (the known reality) oleh manusia, yang dapat melahirkan pengetahuan (knowledge). Meski porsi terbesar tetap merupakan pengetahuan yang belum terbahasakan (pre-articulated knowledge). Atau, hanya sebagian kecil saja yang telah menjadi pengetahuan terbahasakan (articulated knowledge). Persoalannya, melalui seperangkat bahasa yang baku dan formal pun, kita kerap terg(er)agap dan tak bisa mengungkap-tuliskan apa yang telah tergambar atau terabstraksi dalam otak kita. Belum lagi ketika realitas berhasil ditandai (terartikulasi), teknologi bahasa pada gilirannya melulu siap mereduksi.
Saat gagasan tak tersampaikan dalam praktis bahasa, senyatanya gagasan (juga pengalaman) akan tetap tinggal menjadi pengetahuan pribadi (personal knowledge) tiap-tiap manusia yang bisa jadi tak terjamah. Di aras inilah sastra, terutama melalui puisi, didorong kembali menunjukkan kemampuan asalinya. Setidaknya, melalui suatu cara yang menyerpih dan kadang melawan formalitas bahasa, ia berada dalam posisi dan karakteristik ini: puisi dengan cara ungkap arkaik dan tak biasa, disinyalir sanggup “membahasakan” apa yang kerap tak terbahasakan. Selain juga dapat membikin model korespondensinya sendiri yang khas. Suatu korespondensi yang bisa saja dibentuk misal, dari cara yang sederhana hingga yang mewah. Dari yang romantik hingga simbolik. Dari model tutur lirik hingga epik. Bahkan dari bahasa sadar hingga tak sadar.
Ketika standar bahasa normatif sering hanya mengungkap hal yang inderawi; apa yang hanya mampu ditangkap indera. Tradisi puitik jamak tak hanya piawai mengungkai yang inderawi, namun juga berusaha menangkap-bahasakan apa yang kognisi dan intuisi. Pengetahuan manusia, yang umumnya berangkat dari hasrat pengalaman pribadi, di dalam puisi disuling sekaligus ditranformasikan melalui cara yang unik. Dan pada tahap-tahap tertentu seolah menjauhi konsensus. Bahkan ia identik dengan pola ungkap parole, untuk meminjam konsep kebahasaan Ferdinand de Saussure. Bahasa parole ini sering ada dan dipunyai puisi. Wajar saja misalnya, bila kita temui pengalaman bathin terartikulasi dalam tanda verbal, via puisi, sulit kita raba dan cerna. Tapi ia bukan semata nomenklatur.
Yang Diam, yang Puisi
Ketika realitas terlalu rentan dan pelik diekspresikan dalam bahasa harafiah, upaya penggambaran secara metaforis adalah sejumput jalan lain. Ludwig Wittgenstein pernah menyinggung ihwal ini. “What we can be said at all can be said clearly, and what we cannot speak about we must pass over in silence” (Apa yang memang dapat dikatakan katakan dengan jelas, dan apa yang tidak dapat dikatakan, sebaiknya diam). Ya, bisa jadi melalui ranah puisilah, sedikitnya, frasa ”we must pass over in silence” itu mau menyibak tabirnya. Ungkapan Wittgenstein di atas, seolah menunjuk dan mengafirmasi apa yang memang ”metarealitas” dalam bahasa. Maka, luapan pengalaman religius, perasaan jatuh cinta, komunikasi dalam do’a, -kalau boleh saya menduga beberapa di antaranya-, adalah prototipe-prototipe artikulasi ini. Ya, varian bahasa yang kerap tergulir hanya melalui ungkapan-ungkapan subjektif yang ekstrem dan akut, semisal pada puisi.
Betapa sering pula kita membaca gagasan lewat analogi-analogi. Ini adalah cara artikulasi bagi ihwal, katakanlah realitas, yang tak bisa atau pelik jika harus ditangkap dalam kata-kata normatif. Dan analogi menjadi satu upaya yang niscaya bagi penciptaan bahasa metafora, entah dalam bentuk aforisma, adagium, penggalan kata atau ungkapan puitik lainnya. Nietzsche misalnya, tokoh yang berpengaruh besar pada Heidegger ini memilih menuang gagasan melalui aforisma, dengan alasan tak percaya lagi pada bentuk-bentuk tulisan sistematis. Hal yang juga dilakukan Iqbal. Ia melihat keterbatasan bentuk tulisan sistematis untuk mengikat gagasan. Hanya saja Iqbal tak menolak tulisan sistematis, seperti kadang sebagian tampak dalam filsafat. Tetapi melengkapi tulisan-tulisan itu dengan puisi (St. Sunardi, Nietzsche, hlm 239). Dan jauh sebelumnya, Plato juga menyimpan gagasannya dalam ungkapan metafora. Ide-ide Plato yang banyak tertuang dalam dialog-dialog, padat dengan perumpamaan dan metafora. Sesuatu yang juga banyak tersurat pada frasa-frasa pujangga besar, Kahlil Gibran.
Kita tahu, betapa sulit mengungkapkan hal ideal atau perasaan ganjil lewat bahasa sehari-hari. Di antara para filsuf, bahkan ada yang menganggap bahasa sehari-hari kurang memadai, misalnya saja untuk berfilsafat. Bertrand Russell menduga bahwa bahasa sehari-hari tak dapat digunakan untuk berfilsafat karena sekian kelemahan; kabur, makna taksa, kata-kata kerap bergantung pada konteks dan beberapa kelemahan yang lain. Problem filsafat kerap muncul didasari atas terbatasnya bahasa sehari-hari serta menyimpangnya penggunaan bahasa. Russell kemudian banyak membangun pikiran filsafatnya dengan sintesa dan analisa. Baginya, struktur gramatikal saja belum tentu menentukan struktur logis ungkapan bahasa (Kaelan, 1998: 97).
Walhasil, gagasan yang ditangkup bahasa, hakikatnya memang adalah akumulasi pengetahuan yang dulu cuma sempat dipikirkan. Ia kemudian dibaku-bukukan dengan tetap merujuk dan menunjuk pada entitas atau unsur di luar bahasa. Di dalam puisi, tentu banyak tersimpan arketipe pengetahuan, nilai-nilai dan formula. Bahasa sungguh punya peran menjaga secara turun temurun dengan berbagai kekuatan metaforanya dalam literasi dan inskripsi. Bahkan darinya, tak jarang terpendam ajaran dan pesan adiluhung, yang antara lain, berguna untuk membendung bahasa yang bergulir semata jadi ”obyek pasar” atau medium ”menjalankan modal.” Pendeknya, bahasa (puisi) selaiknya juga bernyali melawan produk dan tipe bahasa ”klise” yang melulu terhasilkan dari, -meminjam parafrase Frost dari sambungan kalimat di awal paragrap esai ini-, “ ...orang-orang yang tidak punya apapun untuk dikatakan, akan tetapi terus saja mengatakannya.”
Misbahus Surur, esais, tinggal di Malang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Agustus 2012
“... dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan/ sebelum pada akhirnya kita menyerah” -- Chairil Anwar
Terkadang desakan ide-ide yang menyeruak ke dalam pikiran, sulit diungkap dalam bahasa; sukar sekadar dituang ke dalam kata-kata yang memang dianggap sebagai –salah satunya- piranti untuk menampung ungkapan pikiran dan perasaan manusia. Dan sepertinya, memang akan selalu ada hal-hal yang ingin sekali dituliskan, namun dengan sebab teknis maupun ontologis, kita tak begitu saja gampang mengungkapkannya. Searus dengan hal di atas, adalah kata-kata Robert Frost: “Separuh dari dunia terdiri dari orang-orang yang memiliki sesuatu untuk dikatakan, tetapi tidak bisa mengatakannya...” Sungguh terpampang dilema (ber)bahasa dalam ungkapan tersebut, antara niat berbahasa yang tak lagi ”ramah” bagi kehendak merumahkan makna dan suara-suara. Sedang pada lain sisi, juga betapa masih kentalnya desakan (kalau tak boleh dibilang beban) pencarian pola ungkap melalui strategi jitu yang menggoda. Kasus pertama adalah ikhtiar mengatasi bahasa yang hendak menaklukkan makna, sementara yang kedua, lebih ke upaya merambah ”jalan lain” dalam berbahasa.
Pada mulanya manusia mengetahui lebih banyak dari yang bisa ia ucapkan. We know more than we can say, ungkap Michael Polanyi (The Study of Man, 1959). Bagi Polanyi, dari kenyataan yang hampir tak terbatas ini, sebagian kecil merupakan kenyataan yang diketahui (the known reality) oleh manusia, yang dapat melahirkan pengetahuan (knowledge). Meski porsi terbesar tetap merupakan pengetahuan yang belum terbahasakan (pre-articulated knowledge). Atau, hanya sebagian kecil saja yang telah menjadi pengetahuan terbahasakan (articulated knowledge). Persoalannya, melalui seperangkat bahasa yang baku dan formal pun, kita kerap terg(er)agap dan tak bisa mengungkap-tuliskan apa yang telah tergambar atau terabstraksi dalam otak kita. Belum lagi ketika realitas berhasil ditandai (terartikulasi), teknologi bahasa pada gilirannya melulu siap mereduksi.
Saat gagasan tak tersampaikan dalam praktis bahasa, senyatanya gagasan (juga pengalaman) akan tetap tinggal menjadi pengetahuan pribadi (personal knowledge) tiap-tiap manusia yang bisa jadi tak terjamah. Di aras inilah sastra, terutama melalui puisi, didorong kembali menunjukkan kemampuan asalinya. Setidaknya, melalui suatu cara yang menyerpih dan kadang melawan formalitas bahasa, ia berada dalam posisi dan karakteristik ini: puisi dengan cara ungkap arkaik dan tak biasa, disinyalir sanggup “membahasakan” apa yang kerap tak terbahasakan. Selain juga dapat membikin model korespondensinya sendiri yang khas. Suatu korespondensi yang bisa saja dibentuk misal, dari cara yang sederhana hingga yang mewah. Dari yang romantik hingga simbolik. Dari model tutur lirik hingga epik. Bahkan dari bahasa sadar hingga tak sadar.
Ketika standar bahasa normatif sering hanya mengungkap hal yang inderawi; apa yang hanya mampu ditangkap indera. Tradisi puitik jamak tak hanya piawai mengungkai yang inderawi, namun juga berusaha menangkap-bahasakan apa yang kognisi dan intuisi. Pengetahuan manusia, yang umumnya berangkat dari hasrat pengalaman pribadi, di dalam puisi disuling sekaligus ditranformasikan melalui cara yang unik. Dan pada tahap-tahap tertentu seolah menjauhi konsensus. Bahkan ia identik dengan pola ungkap parole, untuk meminjam konsep kebahasaan Ferdinand de Saussure. Bahasa parole ini sering ada dan dipunyai puisi. Wajar saja misalnya, bila kita temui pengalaman bathin terartikulasi dalam tanda verbal, via puisi, sulit kita raba dan cerna. Tapi ia bukan semata nomenklatur.
Yang Diam, yang Puisi
Ketika realitas terlalu rentan dan pelik diekspresikan dalam bahasa harafiah, upaya penggambaran secara metaforis adalah sejumput jalan lain. Ludwig Wittgenstein pernah menyinggung ihwal ini. “What we can be said at all can be said clearly, and what we cannot speak about we must pass over in silence” (Apa yang memang dapat dikatakan katakan dengan jelas, dan apa yang tidak dapat dikatakan, sebaiknya diam). Ya, bisa jadi melalui ranah puisilah, sedikitnya, frasa ”we must pass over in silence” itu mau menyibak tabirnya. Ungkapan Wittgenstein di atas, seolah menunjuk dan mengafirmasi apa yang memang ”metarealitas” dalam bahasa. Maka, luapan pengalaman religius, perasaan jatuh cinta, komunikasi dalam do’a, -kalau boleh saya menduga beberapa di antaranya-, adalah prototipe-prototipe artikulasi ini. Ya, varian bahasa yang kerap tergulir hanya melalui ungkapan-ungkapan subjektif yang ekstrem dan akut, semisal pada puisi.
Betapa sering pula kita membaca gagasan lewat analogi-analogi. Ini adalah cara artikulasi bagi ihwal, katakanlah realitas, yang tak bisa atau pelik jika harus ditangkap dalam kata-kata normatif. Dan analogi menjadi satu upaya yang niscaya bagi penciptaan bahasa metafora, entah dalam bentuk aforisma, adagium, penggalan kata atau ungkapan puitik lainnya. Nietzsche misalnya, tokoh yang berpengaruh besar pada Heidegger ini memilih menuang gagasan melalui aforisma, dengan alasan tak percaya lagi pada bentuk-bentuk tulisan sistematis. Hal yang juga dilakukan Iqbal. Ia melihat keterbatasan bentuk tulisan sistematis untuk mengikat gagasan. Hanya saja Iqbal tak menolak tulisan sistematis, seperti kadang sebagian tampak dalam filsafat. Tetapi melengkapi tulisan-tulisan itu dengan puisi (St. Sunardi, Nietzsche, hlm 239). Dan jauh sebelumnya, Plato juga menyimpan gagasannya dalam ungkapan metafora. Ide-ide Plato yang banyak tertuang dalam dialog-dialog, padat dengan perumpamaan dan metafora. Sesuatu yang juga banyak tersurat pada frasa-frasa pujangga besar, Kahlil Gibran.
Kita tahu, betapa sulit mengungkapkan hal ideal atau perasaan ganjil lewat bahasa sehari-hari. Di antara para filsuf, bahkan ada yang menganggap bahasa sehari-hari kurang memadai, misalnya saja untuk berfilsafat. Bertrand Russell menduga bahwa bahasa sehari-hari tak dapat digunakan untuk berfilsafat karena sekian kelemahan; kabur, makna taksa, kata-kata kerap bergantung pada konteks dan beberapa kelemahan yang lain. Problem filsafat kerap muncul didasari atas terbatasnya bahasa sehari-hari serta menyimpangnya penggunaan bahasa. Russell kemudian banyak membangun pikiran filsafatnya dengan sintesa dan analisa. Baginya, struktur gramatikal saja belum tentu menentukan struktur logis ungkapan bahasa (Kaelan, 1998: 97).
Walhasil, gagasan yang ditangkup bahasa, hakikatnya memang adalah akumulasi pengetahuan yang dulu cuma sempat dipikirkan. Ia kemudian dibaku-bukukan dengan tetap merujuk dan menunjuk pada entitas atau unsur di luar bahasa. Di dalam puisi, tentu banyak tersimpan arketipe pengetahuan, nilai-nilai dan formula. Bahasa sungguh punya peran menjaga secara turun temurun dengan berbagai kekuatan metaforanya dalam literasi dan inskripsi. Bahkan darinya, tak jarang terpendam ajaran dan pesan adiluhung, yang antara lain, berguna untuk membendung bahasa yang bergulir semata jadi ”obyek pasar” atau medium ”menjalankan modal.” Pendeknya, bahasa (puisi) selaiknya juga bernyali melawan produk dan tipe bahasa ”klise” yang melulu terhasilkan dari, -meminjam parafrase Frost dari sambungan kalimat di awal paragrap esai ini-, “ ...orang-orang yang tidak punya apapun untuk dikatakan, akan tetapi terus saja mengatakannya.”
Misbahus Surur, esais, tinggal di Malang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment