-- SW Teofani
MENJADI rahasia yang sangat rahasia kapan kita selesai mengarungi waktu. Seberapa banyak gugusan masa itu berpihak pada kita, seberapa lama lagi napas bersetia pada fisik. Tersebab keterbatasan itu, ada rest area yang disediakan Sang Mahatahu untuk kita berjeda mengistirahatkan jiwa. Mengaja yang kini dan yang nanti, yang lalu dan yang selalu. Di tempat peristirahatan sementara itulah kita diingatkan kembali dari mana dan hendak ke mana kita.
Setelah cukup waktu tafakur, kita akan melanjutkan kembali perjalanan, yang tak kita ketahui kapan berakhirnya dengan energi lebih mendidih, gegas lebih cergas, juga pilihan-pilihan hidup lebih cerdas.
Ramadanlah rest area jiwa kita. Di sana kita melapangkan lambung, memberi ruang pada hati untuk lebih banyak bertafakur, mengajak jiwa bertamasya pada jalan-jalan kebaikan yang telah dibentangkan Ramadan dan terlalaikan di bulan lain.
Selama sebulan penuh nafsu-nafsu kita dibelenggu agar tak semakin liar dalam menempuh perjalanan selanjutnya. Selama sebulan juga kita sebisa-bisa meluruskan niat-niat yang bengkok, menyisir kembali
kebaikan-kebaikan yang terlupa kita kerjakan di waktu lain, agar setelahnya kita terbiasa menjaga sebentuk energi yang mengalir dari mata air jiwa; kesucian.
Sebulan proses pembakaran angkara, membuat kita terlahir kembali menjadi jiwa yang suci, di antara gempita kemenangan Idulfitri. Meskipun semua tak menang sebenarnya, setiap jiwa ingin menang, dan rindu akan kemenangan, yang direfleksikan dengan keingingan kembali ke tanah kelahiran, pun ke jalan muasal jiwa mengada; jiwa sang bunda. Maka tak ada yang mampu mencegah semangat jiwa berjejalan di jalan-jalan untuk sampai ke kampung halaman. Tak ada yang mampu membendung arus mudik yang malampaui derasnya air terjun. Karena jiwa merekalah yang merindu kembali. Tak diperhitungkan segala ruah yang menyangkut fisik; tak hirau berapa uang yang dihabiskan untuk mencapai kampung halaman. Karena di sana ada katarsis pada kerinduan kesucian jiwa yang direfleksikan pada jalan-jalan kembali. Tak dihitung lagi tingginya risiko perjalanan, yang kadang harus mengorbankan nyawa, karena pengorbanan pulang adalah pengorbanan hidup itu sendiri. Siapa yang mampu membendung rasa rindu pada wanita yang melahirkan kita, siapa yang mampu memampatkan keinginan mencecap ramah kampung halaman yang telah mengiringi jiwa pun raga bertumbuh. Dan siapa yang bisa mencegat keinginan kiwa bertemu dengan Jiwa. Karena tak ada yang lebih agung dari pertemuan jiwa dengan Sang Penggenggam Jiwa. Sebagaimana panggilan mesranya: Hai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan rida dan kegembiraan.
Tak hanya jiwa-jiwa yang melakukan tapa brata pada Ramadan, jiwa yang lalai pun turut merindu tempat muasalnya sebagai refleksi kerinduan pada fitrahnya pada kesucian jiwa yang lama tak terawat. Jiwa-jiwa itu sejenak tetap meluangkan waktu untuk mencecap kasih terhangat dari orang tua yang “ditinggalkan” karena jarak pun ditinggalkan karena kesibukan.
Pada Ramadan kita dibekali sabar, dengan menahan hawa nafsu, pada Ramadan kita dibekali ketakwaan dengan menjaga ibadah-ibadah, pada Ramadan juga kita dilatih untuk melakukan kesalehan sosial dengan banyak bersedekah dan diwajibkan membayar zakat pada ujung Ramadan. Perbekalan ini harus kita gunakan hingga mencapai Ramadan selanjutnya, agar jiwa kita tak telantar di tengah perjalanan karena kehabisan bekal. Sebagaimana firman-Nya: Berbekallah kami, dan sebaik-baik perbekalan adalah takwa.
Maka menjadi sangat disayangkan jika kita melewatkan Ramadan tanpa makna, dan menjadikan Idulfitri sebagai seremoni kegembiraan belaka.
Idulfitri adalah penanda kita akan segera meninggalkan rest area dan berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Tapi kali ini dengan bekal yang telah kita dapat di tempat peristirahatan jiwa. Seberapa pun bekal kita, itulah yang akan kita pergunakan untuk menghadapi segala drama kehidupan di masa nanti.
Kita menginjak pada Syawal, sebagai bulan peningkatan amal, setelah kita mendapatkan bekal dari Ramadan. Di Syawal ini kita berkemas perlahan-lahan dengan pasti menyingkap lembar demi lembar hari. Di Syawal ini sayap-sayap mulai kita kepakkan untuk terbang tinggi menggapai apa yang telah kita rencanakan. Tapi Sang Mahaagung tidak membiarkan kita liar terlepas dari busur waktu tanpa kendali, di bulan peningkatan ini kita tetap dikawal dengan perisai yang puasa selama enam hari untuk menjaga semangat Ramadan kita. Selepas Syawal pun kita tidak dibiarkan melesat tanpa kendali, selaksa tuntunan langkah diberikannya agar kita tak sampai kehabisan bekal. Semoga kita mampu manjaga perbekalan kita, hingga rest area selanjutnya. Mari kemasi jiwa menuju Pemiliknya. Karena kita tak tahu kapan akhir perjalanan kita, tapi kita tahu Penggenggam jiwa itulah tujuan kita. Waallahualambissawab.
SW Teofani, Cerpenis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Agustus 2012
MENJADI rahasia yang sangat rahasia kapan kita selesai mengarungi waktu. Seberapa banyak gugusan masa itu berpihak pada kita, seberapa lama lagi napas bersetia pada fisik. Tersebab keterbatasan itu, ada rest area yang disediakan Sang Mahatahu untuk kita berjeda mengistirahatkan jiwa. Mengaja yang kini dan yang nanti, yang lalu dan yang selalu. Di tempat peristirahatan sementara itulah kita diingatkan kembali dari mana dan hendak ke mana kita.
Setelah cukup waktu tafakur, kita akan melanjutkan kembali perjalanan, yang tak kita ketahui kapan berakhirnya dengan energi lebih mendidih, gegas lebih cergas, juga pilihan-pilihan hidup lebih cerdas.
Ramadanlah rest area jiwa kita. Di sana kita melapangkan lambung, memberi ruang pada hati untuk lebih banyak bertafakur, mengajak jiwa bertamasya pada jalan-jalan kebaikan yang telah dibentangkan Ramadan dan terlalaikan di bulan lain.
Selama sebulan penuh nafsu-nafsu kita dibelenggu agar tak semakin liar dalam menempuh perjalanan selanjutnya. Selama sebulan juga kita sebisa-bisa meluruskan niat-niat yang bengkok, menyisir kembali
kebaikan-kebaikan yang terlupa kita kerjakan di waktu lain, agar setelahnya kita terbiasa menjaga sebentuk energi yang mengalir dari mata air jiwa; kesucian.
Sebulan proses pembakaran angkara, membuat kita terlahir kembali menjadi jiwa yang suci, di antara gempita kemenangan Idulfitri. Meskipun semua tak menang sebenarnya, setiap jiwa ingin menang, dan rindu akan kemenangan, yang direfleksikan dengan keingingan kembali ke tanah kelahiran, pun ke jalan muasal jiwa mengada; jiwa sang bunda. Maka tak ada yang mampu mencegah semangat jiwa berjejalan di jalan-jalan untuk sampai ke kampung halaman. Tak ada yang mampu membendung arus mudik yang malampaui derasnya air terjun. Karena jiwa merekalah yang merindu kembali. Tak diperhitungkan segala ruah yang menyangkut fisik; tak hirau berapa uang yang dihabiskan untuk mencapai kampung halaman. Karena di sana ada katarsis pada kerinduan kesucian jiwa yang direfleksikan pada jalan-jalan kembali. Tak dihitung lagi tingginya risiko perjalanan, yang kadang harus mengorbankan nyawa, karena pengorbanan pulang adalah pengorbanan hidup itu sendiri. Siapa yang mampu membendung rasa rindu pada wanita yang melahirkan kita, siapa yang mampu memampatkan keinginan mencecap ramah kampung halaman yang telah mengiringi jiwa pun raga bertumbuh. Dan siapa yang bisa mencegat keinginan kiwa bertemu dengan Jiwa. Karena tak ada yang lebih agung dari pertemuan jiwa dengan Sang Penggenggam Jiwa. Sebagaimana panggilan mesranya: Hai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan rida dan kegembiraan.
Tak hanya jiwa-jiwa yang melakukan tapa brata pada Ramadan, jiwa yang lalai pun turut merindu tempat muasalnya sebagai refleksi kerinduan pada fitrahnya pada kesucian jiwa yang lama tak terawat. Jiwa-jiwa itu sejenak tetap meluangkan waktu untuk mencecap kasih terhangat dari orang tua yang “ditinggalkan” karena jarak pun ditinggalkan karena kesibukan.
Pada Ramadan kita dibekali sabar, dengan menahan hawa nafsu, pada Ramadan kita dibekali ketakwaan dengan menjaga ibadah-ibadah, pada Ramadan juga kita dilatih untuk melakukan kesalehan sosial dengan banyak bersedekah dan diwajibkan membayar zakat pada ujung Ramadan. Perbekalan ini harus kita gunakan hingga mencapai Ramadan selanjutnya, agar jiwa kita tak telantar di tengah perjalanan karena kehabisan bekal. Sebagaimana firman-Nya: Berbekallah kami, dan sebaik-baik perbekalan adalah takwa.
Maka menjadi sangat disayangkan jika kita melewatkan Ramadan tanpa makna, dan menjadikan Idulfitri sebagai seremoni kegembiraan belaka.
Idulfitri adalah penanda kita akan segera meninggalkan rest area dan berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Tapi kali ini dengan bekal yang telah kita dapat di tempat peristirahatan jiwa. Seberapa pun bekal kita, itulah yang akan kita pergunakan untuk menghadapi segala drama kehidupan di masa nanti.
Kita menginjak pada Syawal, sebagai bulan peningkatan amal, setelah kita mendapatkan bekal dari Ramadan. Di Syawal ini kita berkemas perlahan-lahan dengan pasti menyingkap lembar demi lembar hari. Di Syawal ini sayap-sayap mulai kita kepakkan untuk terbang tinggi menggapai apa yang telah kita rencanakan. Tapi Sang Mahaagung tidak membiarkan kita liar terlepas dari busur waktu tanpa kendali, di bulan peningkatan ini kita tetap dikawal dengan perisai yang puasa selama enam hari untuk menjaga semangat Ramadan kita. Selepas Syawal pun kita tidak dibiarkan melesat tanpa kendali, selaksa tuntunan langkah diberikannya agar kita tak sampai kehabisan bekal. Semoga kita mampu manjaga perbekalan kita, hingga rest area selanjutnya. Mari kemasi jiwa menuju Pemiliknya. Karena kita tak tahu kapan akhir perjalanan kita, tapi kita tahu Penggenggam jiwa itulah tujuan kita. Waallahualambissawab.
SW Teofani, Cerpenis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment