Sunday, August 12, 2012

Jangan Lupa, ’’Yong Dollah’’ Masih Hidup... (2)

-- Marhalim Zaini


Stigma Negatif dan Penciptaan Kembali

MESKIPUN demikian, di sisi lain, berkembang satu fakta di lingkungan masyarakat Bengkalis sendiri bahwa karena cerita-cerita Yong Dollah yang memang bersifat rekaan, yang kerap tak bisa diterima secara logika umum, maka kemudian sosok Yong Dollah pun distigmatisasikan sebagai tokoh ‘pembengak’ (pembohong). Hal ini terungkap dari hasil wawancara penulis dengan beberapa informan, termasuk informan kunci, H Zakaria (70) di Selat Baru. Zakaria sangat menyayangkan stigma negatif atas diri orangtua angkatnya itu. Selain itu, jauh sebelum penelitian ini dilakukan secara lebih intensif, penulis juga telah banyak mendengar ejekan orang-orang bagi mereka yang suka berbohong, yang diidentikkan dengan sosok Yong Dollah.

Namun, penting untuk ditegaskan bahwa cerita-cerita Yong Dollah memang diciptakan dari hasil rekayasa, imajinatif, fiktif, dengan efek humor ditekankan pada sesuatu (tokoh, tema, alur) yang hiperbolik, untuk menghibur, yang kemudian memang dikesankan sebagai sesuatu yang bengak (bohong). Tapi, pembengak Yong Dollah tak bersifat negatif (tidak untuk merugikan orang lain), sebab bukankah siapapun pendengar/audiens-nya pasti tak merasa ‘dibohongi’ karena sejak awal memang tahu bahwa demikianlah ciri khas dari cerita tersebut.

Stigma tersebut tak serta-merta membuat tingkat popularitas Yong Dollah menurun. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangannya, bahwa berbagai variasi cerita terus saja lahir dari generasi setelahnya, baik dari bentuk lisan dengan para penutur baru, maupun dari para penulis (sastrawan) yang melakukan penciptaan-penciptaan kembali melalui tulisan (buku), bahkan juga dalam bentuk film. Proses penciptaan dalam tiga bentuk ini, tampak seperti mengamini apa yang digariskan oleh Walter J Ong (1982), yang menunjukkan periode perkembangan sebuah peradaban masyarakat. Ong memprediksi bahwa peradaban secara teratur berkembang dari mulai ‘era lisan’ (lisan primer), menuju ke ‘era cetak’ (kapitalisme cetak), dan ke ‘era lisan dengan media modern’ (kelisanan sekunder).

Dalam penelusuran saya, ketiga bentuk penciptaan kembali cerita-cerita Yong Dollah ini segera dapat ditemukan. Bentuk lisan, setidaknya lebih dari sepuluh penutur cerita Yong Dollah dapat menceritakan kembali dengan versi mereka masing-masing. Hasil analisis saya menggunakan teori ‘formula’ Albert B Lord dan mensinergikannya dengan teori ‘skema’ Amin Sweeney, menunjukkan bahwa para penutur ini mengingat skema-formulaik dari cerita Yong Dollah dalam tema, perwatakan dan alur cerita. Ketiga unsur ini, dalam berbagai versi cerita para penutur menunjukkan formula-formula yang sama, cenderung tetap, terdapat sejumlah pengulangan, untuk mempermudah dalam proses mengingat cerita ketika dituturkan.

Sementara penciptaan kembali cerita Yong Dollah dalam bentuk tulisan (cetak) dapat kita baca dalam buku yang ditulis oleh Hang Kafrawi berjudul Wawancara Khayal dengan Yong Dollah (Yayasan Pusaka Riau, 2002). Kafrawi telah mengolah cerita-cerita Yong Dollah sedemikian rupa, dalam konteks kreativitas penciptaan sastra modern. Analisis saya menunjukkan setidaknya ada dua bentuk kreativitas yang dilakukan Kafrawi, yakni dalam aspek bahasa dan aspek alur cerita. Selain itu, cerita-cerita Yong Dollah versi Kafrawi lebih menyuguhkan berbagai pesan moral yang lebih bersifat ‘ideologis’, terutama sikap orang Melayu dalam melakukan upaya resistensi. Hal ini tampak misalnya dalam sebagian besar cerita menyebut negara-negara luar Indonesia, seperti Belanda, Singapura, Amerika, Jepang, Afrika dan sebagainya.

Selain Kafrawi, di sosial-media facebook, seorang anak Bengkalis bernama Yuli Pandi juga terus memproduksi (menulis) kembali cerita-cerita Yong Dollah versi dia sendiri. Sehingga, saya kira, lebih dari seratus cerita yang telah ia tulis. Terlepas soal bagaimana ‘mutu’ cerita tersebut, saya lebih melihatnya bahwa Yong Dollah memang ‘masih hidup’ dalam pikiran generasi terkini. Yong Dollah, adalah inspirator bagi para penutur, penulis, pembuat film, di zaman kini. Yong Dollah, pada gilirannya, tak lagi semata merujuk kepada sebuah nama seseorang, tapi telah menjadi style (kalau boleh disebut ‘genre’) tersendiri dalam cerita jenaka Melayu-Riau.

Dalam bentuk film, penciptaan kembali cerita Yong Dollah sempat diproduksi Selodang Production yang ditayangkan di Riau Televisi (2002), berjudul Kelakar Yong Dollah, yang disutradarai Jefry Al Malay, dkk. Meski tampak digarap sederhana, dengan menampilkan kembali peristiwa penurutan cerita-cerita Yong Dollah oleh para penutur dan dikelilingi oleh beberapa pendengar (yang kerap disebut sebagai ‘Tukang Ogam’) dengan dibumbui  beberapa adegan ‘penyedap’, film ini cukup memberi gambaran bahwa cerita-cerita Yong Dollah masih tetap memikat penonton. Satu hal yang terpenting adalah bahwa film ini telah kemudian memperluas penyebaran cerita-cerita Yong Dollah melalui media televisi. Memperluas para audiens dan tak menutup kemungkinan akan pula memperluas para penutur baru.

Tentu saja, ke depan, cerita-cerita Yong Dollah dapat digarap dengan lebih profesional dan dikembangkan dalam adegan-adegan yang lebih luas. Terutama dalam konteks bagaimana kekayaan tradisional kita dapat digali dari berbagai potensinya untuk kemudian menciptakan karya-karya kebudayaan yang baru. Apalagi misalnya perkembangan ‘industri kreatif’ di Indonesia dewasa ini cukup menggairahkan, yang telah banyak menggali wilayah nilai-nilai local wisdom dari berbagai daerah. Fenomena semacam ini, seolah membenarkan apa yang sempat ditegaskan Sweeney (2011: 7), bahwa bagaimanapun di hampir seluruh dunia pada akhir abad kedua puluh ini rasanya sukar menjumpai suatu masyarakat yang wacananya tak terdampak oleh tulisan, apalagi media elektronika.

Orientasi Kelisanan

Lahirnya berbagai kreativitas penciptaan kembali cerita-cerita Yong Dollah tersebut menunjukkan, keberadaan tradisi lisan memang terus mengalami perubahan seiring dinamika perubahan masyarakat pendukungnya. Banyak pihak yang memang mengkhawatirkan bahwa dampak dari perubahan-perubahan yang tak terelakkan tersebut membuat tradisi lisan makin tergeser eksistensinya. Globalisasi, adalah satu kekuatan besar yang ditakutkan itu, yang menurut Giddens (2003: 67), telah membawa prinsip modernitas yang memunculkan berbagai permasalahan sosial, menimbulkan konflik, kesenjangan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru. Dalam konteks sejarah tradisi lisan misalnya, kehadiran peradaban cetak melalui revolusi kapitalisme cetak (print capitalism) telah mampu mengubah komunitas tradisi lisan menjadi komunitas yang mendadak bisu, dengan sastra yang tak bersuara, yang oleh Anderson (1990) disebut sebagai ‘komunitas imajiner’.

Benar, jika ketergeseran itu dilihat dari kehadiran berbagai kekuatan global yang tampak mendominasi, sehingga bentuk-bentuk representasi tradisi lisan yang selalu diidentikkan dengan unsur-unsur tradisional seolah tenggelam. Dalam konteks cerita-cerita Yong Dollah, kekhawatiran itu mungkin perlu ditampik, dengan melihat kembali sejauhmana tradisi lisan itu tergeser. Apa yang akan ditunjukkan dalam penelitian saya ini adalah bagaimana proses penciptaan kembali dalam tiga bentuk (lisan, tulisan dan film) tersebut justru lebih berorientasi pada kelisanan. Orientasi kelisanan semacam ini pada akhirnya seolah hendak meneguhkan sebuah kesimpulan bahwa kekuatan lisan dalam masyarakat kita (khususnya masyarakat Melayu Bengkalis) masih tetap mendominasi dan tetap turut berperan dalam fungsi-fungsi transformatifnya. Sehingga, keyakinan bahwa tradisi lisan memang terus dapat hidup dalam ‘ingatan kolektif’ (collective remembering) masyarakat, yang merupakan pengalaman hidup bersama yang disebut social memory itu, patut dibenarkan.

Dengan demikian, orientasi tulisan ini juga sekaligus akan memberi pandangan lain bahwa sejarah perkembangan peradaban masyarakat tak selamanya linier sebagaimana yang diprediksi  Ong di atas. Bahwa periode tersebut, dari lisan ke tulisan dan ke bentuk film, boleh jadi tumpang tindih dan tarik-menarik dalam upaya saling memosisikan kekuatannya masing-masing. Apa yang terjadi kemudian, mayoritas masyarakat justru seolah sedang melakukan lompatan dari tradisi lisan langsung ke era ‘kelisanan kedua’. Fakta lain menunjukkan, bahwa dalam bentuk tulisan, teks-teks tersebut juga kerap kembali dilisankan (dibacakan), yang tak hanya terjadi zaman klasik dengan pembacaan syair, tapi juga terjadi dalam sastra modern dengan pembacaan puisi, cerpen, drama, juga kutipan novel.

Fenomena ini, selanjutnya juga membuat apa yang diistilahkan sebagai ‘komunitas imajiner’ oleh Anderson di atas, perlu didiskusikan kembali. Tak sepenuhnya benar komunitas tradisi lisan kita mendadak berubah menjadi komunitas yang bisu dan tak bersuara. Pada kenyataannya, unsur-unsur lisan itu masih tetap terus hidup dan bertahan, bahkan menyelinap dalam berbagai produk budaya kekinian kita di zaman elektronik ini. Di sinilah sesungguhnya istilah Ong dengan ‘kelisanan kedua’ seperti menemukan signifikansinya, meskipun telah hidup di zaman serba canggih dengan berbagai peralatan modern, kata ‘lisan’ dan ‘kelisanan’ tak bisa dilepaskan. n

Marhalim Zaini, SSn MA, Sastrawan, dosen Sekolah Tinggi Seni Riau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 12 Agustus 2012

No comments: