Saturday, August 04, 2012

Pluralisme: Indonesia Majemuk sejak Awal

JAKARTA, KOMPAS--Bangsa Indonesia sejak awal merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya. Kondisi ini merupakan kekayaan berharga dan dapat mendorong berbagai inovasi dan produktivitas jika masyarakat pandai mengelolanya.

Mantan Presiden Indonesia BJ Habibie berbicara di depan para cendekiawan lintas agama di kediamannya di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (3/8). Silaturahim ini dihadiri para pemimpin organisasi lintas agama, di antaranya Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia, Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia, Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia, Kesatuan Cendekiawan Buddha Indonesia, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia, dan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama. (KOMPAS/RIZA FATHONI)

Demikian disampaikan mantan Presiden Indonesia BJ Habibie dalam ”Silaturahmi dan Dialog Cendekiawan Lintas Agama” di Jakarta, Jumat (3/8). Hadir dalam pertemuan itu pimpinan Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI), antara lain Ketua Presidum ICMI tahun 2012 Prof Dr. Nanat Fatah Natsir; Dr. Ing. Ilham Akbar Habibie,  Dr. Marwah Daud Ibrahim, Dr. Priyo Budi Santoso dan Dr. Sugiharto sebagai Anggota Presidium ICMI. Ada juga Ketua Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Muliawan Margadana, Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Ali Masykur Musa, dan pengurus Perwakilan Umat Buddha Indonesia Philip K Wijaya.

Menurut Habibie, Indonesia dibentuk dari beragam kelompok suku di Nusantara. ”Masyarakat plural terjadi di sini karena ada toleransi besar, saling pengertian. Toleransi ini yang memungkinkan Pancasila lahir meski lebih dari 80 persen penduduk kita Muslim,” katanya.

Pancasila


Kondisi ini, kata Habibie, perlu disyukuri karena kemajemukan ini tumbuh sejak awal secara alami. Di bawah dasar negara Pancasila, tak pernah ada perang saudara besar di Indonesia. ”Kita harus kembali ke dasar, yaitu Pancasila,” kata Ketua Dewan Kehormatan Pusat ICMI itu.

Muliawan juga mengatakan, bangsa Indonesia harus berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945. Dasar negara dan konstitusi itu menjadi sarana untuk membangun solidaritas tanpa sekat.

Ali Masykur Musa berharap para cendekiawan mau tampil memberikan pencerahan bagi masyarakat dan bangsa dalam kehidupan yang kian pragmatis dan tersandera oleh berbagai kepentingan. Kolektivitas dalam Indonesia yang pluralis ini perlu dirawat dengan saling menghargai tanpa mempersoalkan latar belakang etnik dan agama.

Untuk membangun kehidupan rukun dalam kemajemukan, menurut Philip, bangsa Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang unggul. Untuk itu, diperlukan pendidikan yang memadai. Berbekal pengetahuan dan kesadaran, tercipta keharmonisan, toleransi, dan saling menghargai perbedaan.

”Kita juga perlu lebih sering berkumpul. Dengan begitu, kita bisa ciptakan saling pengertian satu sama lain,” katanya. (IAM)

Sumber: Kompas, Sabtu, 4 Agustus 2012

No comments: