-- Bre Redana
KEPADA ”sejarah nilai-nilai” atau history of values catatan ini hendak saya dedikasikan. Istilah sejarah nilai-nilai yang dimaksud di sini untuk membedakan dengan pengertian sejarah yang lain, taruhlah misalnya sejarah kemenangan, sejarah kejayaan, yang melindas dan meniadakan pihak yang dianggap kalah, salah, dan seterusnya.
Paradigma berpikir yang sering muncul dalam berbagai karya novelis Milan Kundera itu tebersit ketika membaca buku Otobiografi Dr Batara Simatupang & Kumpulan Tulisan yang baru saja diterbitkan oleh Yayasan Del tahun 2012 ini. Batara Simatupang adalah seorang eksil. Kelahiran Pematang Siantar tahun 1932—jadi kini usianya 80 tahun—ia adalah intelektual, ekonom, seangkatan Emil Salim semasa kuliah di UI tahun 1950-an.
Bersama Emil Salim dan sejumlah tenaga pengajar di UI, ia waktu itu dikirim tugas belajar ke Amerika. Sementara teman-temannya belajar di Berkeley, karena minatnya yang besar kepada perekonomian sosialis, Batara kemudian meninggalkan Amerika, memperdalam studinya di Yugoslavia dan Polandia.
Sampai kemudian meletus peristiwa G30S tahun 1965. Paspor Batara dicabut dan sejak itu ia terlunta-lunta di negeri orang. Saat ini Batara tinggal di Belanda sebagai warga negara Belanda.
Kuburan sejarah
Dalam buku setebal 462 halaman, Batara mengisahkan riwayat hidup serta menampilkan artikel-artikel ekonominya yang pernah dimuat di berbagai jurnal ilmiah. Di situ tampak sosoknya yang tegar, rasional, santun. Sikap dasar seorang intelektual yang mencari kemuliaan hidup lewat keketatan metode-metode ilmiah tak goyah oleh suatu peristiwa, yang disebut dengan istilah yang sangat bagus oleh Emil Salim: historical twist.
Implikasinya serius. Begitu status resmi kewarganegaraan hilang, sebagai manusia ia juga disingkirkan oleh manusia formal berkewarganegaraan. Pada saat kakaknya sakit dan dioperasi di Belanda—sang kakak adalah jenderal terkenal, yakni TB Simatupang—Batara harus menyingkir dari ruangan tatkala ada warga Indonesia membezoek. Ia mendapati pengalaman, tidak ada orang Indonesia—terutama lingkungan kedutaan—bersedia bersalaman dengannya.
Tahun 1980-an, ketika sudah mendapat kewarganegaraan Belanda, ia pernah pulang ke Indonesia untuk bertemu ibunda dan sanak saudara. Dikenangnya ia harus lapor polisi ke mana pun ia pergi.
Dia pulang waktu itu dalam suasana Lebaran. Ia gunakan kesempatan indah tersebut untuk bersilaturahim dengan para kolega di masa lalu, seperti Emil Salim dan Sadli, yang waktu itu menteri. Tergambar di sini kehangatan Emil Salim. Di rumah Emil Salim ia bertemu seorang menteri berlatar belakang militer. Emil Salim memperkenalkannya. Sang menteri ini, seperti diceritakan Batara, menariknya ke tempat yang tak terlalu ramai.
”Kalau Batara komunis, Anda adalah musuh saya,” kata beliau tegas, begitu kutipan Batara dalam bukunya. Saya menjawab, ”Kita masing-masing adalah ’anak dari zamannya’.” Pembicaraan berhenti di situ dan pertemuan pun berakhir, dan kami bersalaman dengan mengucapkan selamat Lebaran dan maaf lahir batin.
Batara menutup otobiografinya dengan pernyataan bahwa dia menulis otobiografi itu pada usia menjelang 80 tahun. Diakuinya, daya ingat telah mundur, catatan tertulis terbatas, dan masa lalu katanya telah banyak yang ditutupi oleh kabut waktu yang tebal.
Itulah sejarah. Sejarah kemenangan dan kejayaan tersebar di mana-mana catatannya. Sementara sejarah nilai-nilai? Ketika kehidupan bersama semakin merosot kualitasnya, sejumlah orang bertanya, di mana nilai-nilai yang dulu? Yang ada pada para tokoh pendiri bangsa ini dan para politisi di masa lalu?
Kalau kuburan ada sektor-sektornya, nilai-nilai hidup, ketabahan, kerja keras, kebersamaan, penghargaan terhadap persahabatan, masuk ke kuburan sejarah di sektor lupa.
Sumber: Kompas, Minggu, 5 Agustus 2012
KEPADA ”sejarah nilai-nilai” atau history of values catatan ini hendak saya dedikasikan. Istilah sejarah nilai-nilai yang dimaksud di sini untuk membedakan dengan pengertian sejarah yang lain, taruhlah misalnya sejarah kemenangan, sejarah kejayaan, yang melindas dan meniadakan pihak yang dianggap kalah, salah, dan seterusnya.
Paradigma berpikir yang sering muncul dalam berbagai karya novelis Milan Kundera itu tebersit ketika membaca buku Otobiografi Dr Batara Simatupang & Kumpulan Tulisan yang baru saja diterbitkan oleh Yayasan Del tahun 2012 ini. Batara Simatupang adalah seorang eksil. Kelahiran Pematang Siantar tahun 1932—jadi kini usianya 80 tahun—ia adalah intelektual, ekonom, seangkatan Emil Salim semasa kuliah di UI tahun 1950-an.
Bersama Emil Salim dan sejumlah tenaga pengajar di UI, ia waktu itu dikirim tugas belajar ke Amerika. Sementara teman-temannya belajar di Berkeley, karena minatnya yang besar kepada perekonomian sosialis, Batara kemudian meninggalkan Amerika, memperdalam studinya di Yugoslavia dan Polandia.
Sampai kemudian meletus peristiwa G30S tahun 1965. Paspor Batara dicabut dan sejak itu ia terlunta-lunta di negeri orang. Saat ini Batara tinggal di Belanda sebagai warga negara Belanda.
Kuburan sejarah
Dalam buku setebal 462 halaman, Batara mengisahkan riwayat hidup serta menampilkan artikel-artikel ekonominya yang pernah dimuat di berbagai jurnal ilmiah. Di situ tampak sosoknya yang tegar, rasional, santun. Sikap dasar seorang intelektual yang mencari kemuliaan hidup lewat keketatan metode-metode ilmiah tak goyah oleh suatu peristiwa, yang disebut dengan istilah yang sangat bagus oleh Emil Salim: historical twist.
Implikasinya serius. Begitu status resmi kewarganegaraan hilang, sebagai manusia ia juga disingkirkan oleh manusia formal berkewarganegaraan. Pada saat kakaknya sakit dan dioperasi di Belanda—sang kakak adalah jenderal terkenal, yakni TB Simatupang—Batara harus menyingkir dari ruangan tatkala ada warga Indonesia membezoek. Ia mendapati pengalaman, tidak ada orang Indonesia—terutama lingkungan kedutaan—bersedia bersalaman dengannya.
Tahun 1980-an, ketika sudah mendapat kewarganegaraan Belanda, ia pernah pulang ke Indonesia untuk bertemu ibunda dan sanak saudara. Dikenangnya ia harus lapor polisi ke mana pun ia pergi.
Dia pulang waktu itu dalam suasana Lebaran. Ia gunakan kesempatan indah tersebut untuk bersilaturahim dengan para kolega di masa lalu, seperti Emil Salim dan Sadli, yang waktu itu menteri. Tergambar di sini kehangatan Emil Salim. Di rumah Emil Salim ia bertemu seorang menteri berlatar belakang militer. Emil Salim memperkenalkannya. Sang menteri ini, seperti diceritakan Batara, menariknya ke tempat yang tak terlalu ramai.
”Kalau Batara komunis, Anda adalah musuh saya,” kata beliau tegas, begitu kutipan Batara dalam bukunya. Saya menjawab, ”Kita masing-masing adalah ’anak dari zamannya’.” Pembicaraan berhenti di situ dan pertemuan pun berakhir, dan kami bersalaman dengan mengucapkan selamat Lebaran dan maaf lahir batin.
Batara menutup otobiografinya dengan pernyataan bahwa dia menulis otobiografi itu pada usia menjelang 80 tahun. Diakuinya, daya ingat telah mundur, catatan tertulis terbatas, dan masa lalu katanya telah banyak yang ditutupi oleh kabut waktu yang tebal.
Itulah sejarah. Sejarah kemenangan dan kejayaan tersebar di mana-mana catatannya. Sementara sejarah nilai-nilai? Ketika kehidupan bersama semakin merosot kualitasnya, sejumlah orang bertanya, di mana nilai-nilai yang dulu? Yang ada pada para tokoh pendiri bangsa ini dan para politisi di masa lalu?
Kalau kuburan ada sektor-sektornya, nilai-nilai hidup, ketabahan, kerja keras, kebersamaan, penghargaan terhadap persahabatan, masuk ke kuburan sejarah di sektor lupa.
Sumber: Kompas, Minggu, 5 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment