-- Sumarno
PADA dunia pertunjukan, panggung sangatlah penting. Wajar jika dalang asal Tegal, Ki Enthus Susmono, sangat serius memperhatikan tata panggung. Menjelang pementasan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, awal November 2010, ia sempat marah-marah kepada krunya. Tata panggung yang hampir selesai dikerjakan terlalu tinggi.
Tak segan-segan dalang itu turun ke lapangan dan dengan gusar mengancam tak mau pentas jika panggung tidak diturunkan 50 sentimeter lagi. Kru pun tak bisa berkutik.
Pada saat ditanggap warga yang punya hajatan, kepada tuan rumah yang punya hajat, ia selalu wanti-wanti soal ukuran panggung: ketentuan panjang dan lebar. Lebih penting, panggung jangan terlalu tinggi. Alasannya, panggung terlalu tinggi akan mengganggu kenyamanan penonton, yang harus mendongakkan kepala.
Dulu, belum banyak jasa penyewaan properti keperluan pesta luar ruang seperti sekarang. Untuk pementasan wayang, panggung dibuat dari batang bambu yang dijajar dan diikat, kaki panggung menggunakan gedebok (batang pohon pisang). Agar rata, permukaan panggung ditutup dengan jerami (batang padi kering) dan di atasnya dilapisi tikar pandan.
Kini, hingga ke pelosok desa, sudah ada jasa penyewaan properti keperluan pesta atau hajatan. Mulai tenda, meja-kursi tamu, pelaminan, sampai panggung dengan berbagai bentuk dan ukuran, sesuai kebutuhan.
Menurut Santoso, Eko dkk (2008), pada dunia pertunjukan dikenal tiga jenis panggung. Pertama, panggung arena, yaitu panggung yang penontonnya melingkar atau duduk mengelilingi panggung. Posisi penonton pun sangat dekat dengan pemain.
Kedua, panggung prosenium, atau biasa disebut dengan istilah panggung bingkai, karena penonton menyaksikan pertunjukan melalui sebuah bingkai atau lengkung prosenium yang memisahkan wilayah akting pemain dengan penonton. Penonton menyaksikan pertunjukan dari satu arah.
Ketiga, panggung thrust, menyerupai panggung prosenium, tetapi dua pertiga bagian depannya menjorok ke arah penonton. Pada bagian depan yang menjorok inilah penonton dapat duduk di sisi kanan dan kiri panggung.
Makna filosofis
Secara harfiah, panggung diartikan sebagai tempat berlangsungnya pertunjukan, di mana interaksi antara kerja penulis skenario/lakon, sutradara, dan aktor ditampilkan di hadapan penonton. Berbeda dengan dunia sinematografi atau pertelevisian, sebuah lakon dibuat melalui bantuan teknologi atau teknik manipulasi gambar.
Namun, panggung bukan sekadar urusan teknis dan terkait estetika dalam pementasan. Kata panggung memiliki arti kiasan, seperti ”panggung politik”. Politik merupakan alat perjuangan guna mencapai cita-cita luhur bangsa.
Menurut Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam kegiatan dari suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem Indonesia dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Praktiknya, politik hanya demi kekuasaan, kedudukan, atau posisi lebih tinggi, persis panggung sebenarnya. Lebih-lebih panggung politik Indonesia saat ini, yang lebih ditangkap publik banyak membohongi rakyat dengan berbagai dalih tak cerdas.
Kembali ke Ki Enthus, yang dalam setiap pementasannya panggung dibuat tak terlalu tinggi agar penonton nyaman menyaksikan pementasan wayang. Tak repot harus mendongakkan kepala. Hal ini dapat dimaknai bahwa pemimpin harus mengerti perasaan rakyatnya. Rakyat jangan dibikin susah. Jarang dalang yang memperhatikan panggung sampai sejauh itu. Cara memandang dan mempergunakan panggung demikian dapat dikatakan sebagai pengejawantahan makna panggung secara filosofis.
Selain panggung yang tak terlalu tinggi, umumnya pementasan wayang golek tak dipasang layar sebagaimana pementasan wayang kulit atau ada latar belakang seperti pentas dangdut. Pada empat sisi panggung terbuka begitu saja, penonton dengan leluasa menonton dalam jarak dekat, bahkan bisa menyentuh alat musik gamelan yang biasa berada di tepi panggung, seperti gong atau bonang. Maka, sebagai kesenian rakyat, pemain pada pementasan wayang golek dan penonton membaur. Kerumunan penonton berinteraksi dengan panggung wayang sebagai episentrum.
Sikap dalam Enthus terkait panggung tak lepas dari pengaruh latar belakang kultur daerah asalnya, Tegal. Daerah pantai utara Jawa Tengah merupakan bagian barat yang kultur masyarakatnya cenderung egaliter, terbuka, yang menjadi ciri kultur demokratis. Hal itu diperkuat dari bahasanya yang berdialek ngapak, orang menyebutnya bahasa Jawa kasar. Memang masyarakat Tegal tidak mengutamakan tingkatan bahasa: ngoko, krama madya, atau krama inggil.
Pada panggung politik atau panggung pertunjukan, panggunglah pusat perhatian publik/penonton. Panggung juga merupakan medan laga, tempat orang menghadapi segala tantangan. Bagi orang yang tak gila panggung (gila jabatan, pangkat, dan kedudukan), turun panggung bisa pada waktu yang tepat dan selamat.
Buruknya perilaku para pemimpin bisa mencerminkan masyarakatnya. Perilaku masyarakat terbentuk dari individu-individu. Di sana, panggung kehidupan disaksikan orang lain, bangsa lain, bahkan Tuhan. Apa yang dilakukan Ki Enthus bisa jadi hikmah sederhana bahwa panggung harus diperhatikan. Demi penikmat, demi publik.
Sumarno, Praktisi Pendidikan; Pemerhati Sosial Budaya, Tinggal di Tangerang
Sumber: Kompas, Rabu, 8 Agustus 2012
PADA dunia pertunjukan, panggung sangatlah penting. Wajar jika dalang asal Tegal, Ki Enthus Susmono, sangat serius memperhatikan tata panggung. Menjelang pementasan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, awal November 2010, ia sempat marah-marah kepada krunya. Tata panggung yang hampir selesai dikerjakan terlalu tinggi.
Tak segan-segan dalang itu turun ke lapangan dan dengan gusar mengancam tak mau pentas jika panggung tidak diturunkan 50 sentimeter lagi. Kru pun tak bisa berkutik.
Pada saat ditanggap warga yang punya hajatan, kepada tuan rumah yang punya hajat, ia selalu wanti-wanti soal ukuran panggung: ketentuan panjang dan lebar. Lebih penting, panggung jangan terlalu tinggi. Alasannya, panggung terlalu tinggi akan mengganggu kenyamanan penonton, yang harus mendongakkan kepala.
Dulu, belum banyak jasa penyewaan properti keperluan pesta luar ruang seperti sekarang. Untuk pementasan wayang, panggung dibuat dari batang bambu yang dijajar dan diikat, kaki panggung menggunakan gedebok (batang pohon pisang). Agar rata, permukaan panggung ditutup dengan jerami (batang padi kering) dan di atasnya dilapisi tikar pandan.
Kini, hingga ke pelosok desa, sudah ada jasa penyewaan properti keperluan pesta atau hajatan. Mulai tenda, meja-kursi tamu, pelaminan, sampai panggung dengan berbagai bentuk dan ukuran, sesuai kebutuhan.
Menurut Santoso, Eko dkk (2008), pada dunia pertunjukan dikenal tiga jenis panggung. Pertama, panggung arena, yaitu panggung yang penontonnya melingkar atau duduk mengelilingi panggung. Posisi penonton pun sangat dekat dengan pemain.
Kedua, panggung prosenium, atau biasa disebut dengan istilah panggung bingkai, karena penonton menyaksikan pertunjukan melalui sebuah bingkai atau lengkung prosenium yang memisahkan wilayah akting pemain dengan penonton. Penonton menyaksikan pertunjukan dari satu arah.
Ketiga, panggung thrust, menyerupai panggung prosenium, tetapi dua pertiga bagian depannya menjorok ke arah penonton. Pada bagian depan yang menjorok inilah penonton dapat duduk di sisi kanan dan kiri panggung.
Makna filosofis
Secara harfiah, panggung diartikan sebagai tempat berlangsungnya pertunjukan, di mana interaksi antara kerja penulis skenario/lakon, sutradara, dan aktor ditampilkan di hadapan penonton. Berbeda dengan dunia sinematografi atau pertelevisian, sebuah lakon dibuat melalui bantuan teknologi atau teknik manipulasi gambar.
Namun, panggung bukan sekadar urusan teknis dan terkait estetika dalam pementasan. Kata panggung memiliki arti kiasan, seperti ”panggung politik”. Politik merupakan alat perjuangan guna mencapai cita-cita luhur bangsa.
Menurut Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam kegiatan dari suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem Indonesia dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Praktiknya, politik hanya demi kekuasaan, kedudukan, atau posisi lebih tinggi, persis panggung sebenarnya. Lebih-lebih panggung politik Indonesia saat ini, yang lebih ditangkap publik banyak membohongi rakyat dengan berbagai dalih tak cerdas.
Kembali ke Ki Enthus, yang dalam setiap pementasannya panggung dibuat tak terlalu tinggi agar penonton nyaman menyaksikan pementasan wayang. Tak repot harus mendongakkan kepala. Hal ini dapat dimaknai bahwa pemimpin harus mengerti perasaan rakyatnya. Rakyat jangan dibikin susah. Jarang dalang yang memperhatikan panggung sampai sejauh itu. Cara memandang dan mempergunakan panggung demikian dapat dikatakan sebagai pengejawantahan makna panggung secara filosofis.
Selain panggung yang tak terlalu tinggi, umumnya pementasan wayang golek tak dipasang layar sebagaimana pementasan wayang kulit atau ada latar belakang seperti pentas dangdut. Pada empat sisi panggung terbuka begitu saja, penonton dengan leluasa menonton dalam jarak dekat, bahkan bisa menyentuh alat musik gamelan yang biasa berada di tepi panggung, seperti gong atau bonang. Maka, sebagai kesenian rakyat, pemain pada pementasan wayang golek dan penonton membaur. Kerumunan penonton berinteraksi dengan panggung wayang sebagai episentrum.
Sikap dalam Enthus terkait panggung tak lepas dari pengaruh latar belakang kultur daerah asalnya, Tegal. Daerah pantai utara Jawa Tengah merupakan bagian barat yang kultur masyarakatnya cenderung egaliter, terbuka, yang menjadi ciri kultur demokratis. Hal itu diperkuat dari bahasanya yang berdialek ngapak, orang menyebutnya bahasa Jawa kasar. Memang masyarakat Tegal tidak mengutamakan tingkatan bahasa: ngoko, krama madya, atau krama inggil.
Pada panggung politik atau panggung pertunjukan, panggunglah pusat perhatian publik/penonton. Panggung juga merupakan medan laga, tempat orang menghadapi segala tantangan. Bagi orang yang tak gila panggung (gila jabatan, pangkat, dan kedudukan), turun panggung bisa pada waktu yang tepat dan selamat.
Buruknya perilaku para pemimpin bisa mencerminkan masyarakatnya. Perilaku masyarakat terbentuk dari individu-individu. Di sana, panggung kehidupan disaksikan orang lain, bangsa lain, bahkan Tuhan. Apa yang dilakukan Ki Enthus bisa jadi hikmah sederhana bahwa panggung harus diperhatikan. Demi penikmat, demi publik.
Sumarno, Praktisi Pendidikan; Pemerhati Sosial Budaya, Tinggal di Tangerang
Sumber: Kompas, Rabu, 8 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment